Lom Plai: Wujud Interaksi Manusia dan Alam pada Tradisi Masyarakat Dayak Wehea

By National Geographic Indonesia, Selasa, 11 Juni 2024 | 17:00 WIB
Naq Jengea (persiapan satu hari sebelum acara puncak Embob Jengea) - Enjiak Tembambataq tarian ungkapan rasa syukur dan gembira masyarakat Dayak Wehea atas hasil panen padi. (Sandy Leo)

Oleh Sandy Leo (National Geographic Explorer, National Geographic Indonesia Hub)

Nationalgeographic.co.id—Masyarakat Dayak dikenal sebagai salah satu kelompok masyarakat adat besar di Indonesia yang mendiami Pulau Kalimantan/Borneo.

Diketahui bahwa Masyarakat Dayak dikelompokkan menjadi tujuh (7) rumpun berdasarkan pembagian dan persebaran wilayahnya, kemudian terbagi lagi menjadi sekitar 405 sub-suku.

Tujuh rumpun besar Suku Dayak meliputi Iban, Klemantan, Ngaju, Ot Danum, Apo Kayan, Punan, dan Murut. Dayak Wehea merupakan salah satu sub-suku Dayak dari rumpun Apo Kayan.

Salah satu komunitas Dayak Wehea yang cukup terkenal kini berada di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Terdapat enam (6) desa yang didominasi oleh komunitas Dayak Wehea di Muara Wahau, yaitu Desa Nehas Liah Bing, Desa Long Wehea, Desa Liaq Leway, Desa Dea Beq, Desa Diaq Lay, dan Desa Bea Nehas.

Komunitas Dayak Wehea yang berada di Desa Nehas Liah Bing merupakan komunitas Dayak Wehea tertua yang ada di Muara Wahau. Seperti masyarakat Dayak pada umumnya, kehidupan masyarakat Dayak Wehea sangat bergantung terhadap keberadaan sumber daya alam yang berada di sekitarnya, baik hasil hutan, sungai, maupun hasil ladang/pertanian.

Sifat-sifat dan interaksi komunitas Dayak Wehea dengan alam bahkan tergambar jelas pada tradisi dan ritual mereka yang masih dengan giat dan gigih dilestarikan hingga hari ini. Salah satunya adalah perayaan syukur terhadap hasil panen padi Lom Plai (pada komunitas Dayak lain dikenal sebagai gawai / erau).

Asal Usul

Tradisi Lom Plai berangkat dari cerita legenda pengorbanan nyawa Putri Long Diang Yung agar masyarakat Dayak Wehea dapat selamat dari bencana kekeringan dan kelaparan yang melanda di masa lalu.

Kisah ini bermula pada masa kepemimpinan Hepui Ledoh (Ratu) Diang Yung, di mana ketika itu komunitas Dayak Wehea mengalami bencana kekeringan luar biasa. Semua hasil bumi dan apapun yang ditanam mengalami gagal panen, sehingga komunitas pun dilanda kelaparan, sakit, dan tidak sedikit juga yang akhirnya meninggal.

Pada suatu waktu, dalam mimpinya Hepui Ledoh didatangi oleh Dohton Tenyiei (entitas Tuhan YME) yang meminta pengorbanan dari putri semata wayangnya agar bencana kekeringan ini dapat segera berakhir. Pilihan terberat pun diambil setelah bermusyawarah dengan para tetua adat, yaitu mengorbankan sang putri untuk menyelamatkan seluruh komunitas.

Baca Juga: Kenapa Pengobatan Alternatif Seperti Ida Dayak Masih Dipercaya?

Seluruh anggota komunitas kemudian berkumpul dan sebelum sang putri dikorbankan mereka bersumpah untuk:

1. Setiap orang harus menyayangi padi seperti ibu yang menyayangi anaknya dan jangan bertindak kasar terhadap padi-padi yang tumbuh.

2. Padi yang merupakan penjelmaan Putri Long Diang Yung harus di-erau-kan/dipestakan.

3. Orang yang memiliki padi dan menikmatinya serta taat dengan sumpah ini, maka akan aman, panjang umur, makmur, dan sejahtera.

4. Bagi mereka yang melanggar sumpah akan celaka, menderita karena sakit, dan tidak berumur panjang.

Tarian kolosal Long Diang Yung (Sandy Leo)

Seketika, setelah sang putri dikorbankan, hujan turun dengan derasnya, kemudian tumbuh serumpun padi yang dipercaya merupakan penjelmaan dari Putri Long Diang Yung. Padi tersebut tidak habis meskipun dituai berkali-kali hingga seluruh masyarakat mendapatkan benih padi tersebut dan menanamnya di ladang masing-masing.

Dengan cara ini masyarakat Dayak Wehea dapat bertahan hidup dan terus mengadakan pesta panen Lom Plai setiap tahunnya. Berdasarkan penanggalan adat Dayak Wehea, pesta panen ini biasanya diadakan antara bulan April – Mei setiap tahunnya.

”Tradisi Lom Plai terus diadakan setiap tahunnya dan bahkan akan terus diadakan sampai anak cucu kami nanti kelak, ketika hasil panen sedang baik ataupun tidak. Jika tidak, maka kami akan melanggar sumpah dan akan celaka ataupun mengalami kemalangan,” tutur salah satu tetua adat Dayak Wehea, Ledjie Taq.

Tarian Hudoq/Hedoq

Tarian Hudoq (Enjiak Hedoq) menjadi salah satu bagian ritual terpenting yang hanya dilakukan dalam acara puncak Lom Plai (Embob Jengea). Kemunculan tarian ini berawal dari legenda perkawinan Heleang Hebeung dari alam manusia dengan Selau Sen Yeang yang berasal dari kerajaan di dasar pusaran sungai.

Baca Juga: Orang Dayak Iban Tahu Pohon Terap Ada Dua Jenis, Kini Terbukti Ilmiah

Dari perkawinan tersebut lahirlah sang anak yang bernama Buaq Selo. Saat Heleang Hebeung tinggal di dasar sungai, ia menyaksikan makhluk dasar sungai menari dengan maksud untuk menghiburnya.

Namun, semakin lama wujud asli makhluk tersebut semakin menakutkan dan menimbulkan trauma bagi Heleang Hebeung. Trauma tersebut menjadikan Heleang Hebeung ingin kembali ke alam manusia dan dengan berat hati Selau Sen Yeang melepas suaminya tersebut untuk kembali ke alam manusia.

Nekeang / Nluei Hedoq (Memberi persembahan kepada Hedoq yang merupakan jelmaan roh-roh leluhur) (Sandy Leo)

Selau Sen Yeang kemudian berkata ”Dengan rela aku melepas kepergianmu. Kita memang hidup di alam yang berbeda, namun kasih sayangku tidak terhalang oleh alam yang berbeda ini.”

Kemudian Selau Sen Yeang melanjutkan ”Bila ingin kembali berhubungan dengan kami, maka panggil dan buatlah upacara adat. Hubungan ini tidak akan terputus sampai kapanpun dan Buaq Selo dan keturunannya akan terus memelihara hubungan ini dan tidak akan pernah berakhir.”

Enjiak Hedoq / Tarian Hudoq (Sandy Leo)

Setelah kembali ke alam manusia, Heleang Hebeung kemudian menceritakan apa yang dialaminya di alam lain kepada masyarakat Dayak lainnya. Sejak saat itu Heleang Hebeung dikenal sebagai pencetus Tarian Hedoq.

Secara simbolik, Tari Hudoq memiliki makna mendalam, terutama bagi masyarakat Dayak Wehea dan rumpun Apo Kayan. Tarian Hudoq dipercaya sebagai tarian jin yang berasal dari kahyangan, bawah tanah dan atas air.

Enjiak Hedoq / Tarian Hudoq (Sandy Leo)

Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Wehea, Tarian Hudoq dilakukan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah, memberi makan roh leluhur melalui ritual Nekeang / Nluei Hedoq, melindungi komunitas, dan mengusir hama penyakit. Selain itu, Tarian Hudoq juga dapat diartikan sebagai pemulihan atau pembersihan dari hal-hal buruk yang masih tersisa setelah ritual Embos Min.

Karakter Hudoq terlihat dari berbagai jenis topeng yang digunakan, ada yang menyerupai hewan tertentu, bahkan ada yang menyerupai naga dan manusia.

Baca Juga: Hutan Suci Dayak Ngaju: Pesan Pelestarian Alam Berbasis Kearifan

Pertunjukkan lain dalam Embob Jengea

Beberapa pertunjukkan dilakukan di atas aliran Sungai Wahau. Pertunjukkan ini disajikan untuk menghibur tamu dan warga, sementara pada waktu yang bersamaan dilakukan ritual Embos Min (pembersihan kampung dari hal-hal buruk) yang dilakukan oleh beberapa perempuan yang telah dipilih oleh para tetua adat.

Para perempuan tersebut kemudian akan berkeliling kampung melakukan ritual. Sementara seluruh warga dan tamu diharapkan untuk Tiaq Diaq Jengea (turun ke bawah jengea atau pondok darurat) yang berada di pinggiran Sungai Wahau dan menyaksikan pertunjukkan yang disajikan.

Plaq Saey (Sandy Leo)

Pertunjukkan yang dimaksud antara lain Plaq Saey (lomba dayung perahu), tarian di atas rakit yang dibawakan oleh Sanggar Tari Keleng Tegai, dan Seksiang (perang-perangan di atas perahu).

Hal ini dimaksudkan agar tidak ada yang mengganggu prosesi ritual Embos Min karena tidak ada manusia atau hewan sekalipun yang diizinkan melintas di depan rombongan perempuan yang sedang melakukan ritual Embos Min. Jika hal ini dilanggar, tentu sanksi adat yang berat sudah menanti.

Embos Paq Plai (Sandy Leo)

Terdapat juga ritual Ngeldung dan Embos Paq Plai yang dilakukan setelah perayaan Embob Jengea. Ritual Ngeldung ini memiliki makna, larangan dan sanksi yang serupa dengan ritual Embos Min, yakni membersihkan kampung dari hal-hal buruk yang masih tersisa setelah Embob Jengea. Ritual Embos Paq Plai sendiri adalah prosesi terakhir dari Lom Plai untuk membersihkan diri dari hal-hal buruk dan memulai musim tanam baru.

Enjiak Tembambataq (Tarian massal Tembambataq)

Enjiak Tembambataq dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen padi yang telah diperoleh. Biasanya tarian ini dilakukan pada malam hari sebelum acara puncak dan sebagai penutup dari acara Embob Jengea.

Enjiak Tembambataq (Sany Leo)

Tarian ini dapat diikuti oleh seluruh warga desa dan tamu yang berkunjung yang biasanya diadakan di lapangan yang luas. Dengan alunan gong dan gendang tradisional, seluruh warga baik tua, muda, laki-laki dan perempuan berkumpul bersama dengan pakaian adat lengkap dan kemudian menari dari malam hingga pagi. Tarian ini juga dapat dengan bebas diikuti oleh siapapun yang hadir di tengah perayaan tersebut.

Makna dan Pesan Festival Lom Plai

Adanya festival Lom Plai ini menggambarkan makna yang sangat mendalam bagaimana interaksi orang Dayak Wehea terhadap lingkungan di sekitarnya. Selain, tentu saja, sebagai perwujudan sumpah kepada Putri Long Diang Yung di masa lalu.

Festival ini juga menyampaikan pesan bahwa masyarakat Dayak Wehea dan Dayak pada umumnya sangat menghargai dan bergantung terhadap sumber daya alam di sekitarnya. Mereka hanya memanfaatkan seperlunya, dan turut andil berkontribusi menjaga lingkungannya. Apabila kondisi alamnya rusak, maka masyarakat Dayak Wehea tentu akan kembali merasakan penderitaan seperti yang terjadi di masa lalu.

Pesan-pesan untuk menjaga alam sudah sejak dahulu diturunkan oleh nenek moyang orang Dayak melalui berbagai bentuk tradisi dan kebudayaan, salah satunya melalui festival Lom Plai/Erau/Gawai.

Ungkapan syukur terhadap hasil panen padi, baik saat melimpah ataupun saat sedang sedikit, memberikan pesan kepada generasi muda bahwa orang Dayak itu perlu dan harus berladang untuk dapat menumbuhkan padi yang menjadi sumber makanan pokok orang Dayak dan bersyukur atas pemberian Tuhan terlepas dari banyak atau sedikitnya hasil panen yang diperoleh.

Selama masih mempertahankan tradisi dan kebudayaannya, maka masyarakat Dayak akan terus berladang dan mengucapkan syukur melalui perayaan seperti Lom Plai, sehingga masyarakat Dayak dapat mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Festival Lom Plai pada tahun 2024 ini diadakan selama satu bulan (15 Maret – 24 April 2024) dan acara puncaknya (Embob Jengea) diadakan pada 20 April 2024, bertempat di Desa Nehas Liah Bing, Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur.