Nationalgeographic.co.id—Masyarakat adat, dengan pengetahuan dan kearifan lokalnya, memainkan peran penting dalam melindungi 80 persen bioidiversitas atau keanekaragaman hayati di Bumi.
Mereka telah hidup berdampingan dengan alam selama berabad-abad, dan telah mengembangkan praktik berkelanjutan yang menjaga keseimbangan ekosistem.
Namun, keberadaan masyarakat adat dan biodiversitas yang mereka lindungi terancam oleh berbagai faktor, termasuk deforestasi dan alih fungsi lahan.
Penting bagi kita untuk mengakui peran penting masyarakat adat dalam menjaga biodiversitas dan mendukung upaya mereka untuk melestarikan pengetahuan dan praktik mereka.
Penjaga Biodiversitas yang Terpinggirkan
Menurut World Bank, Masyarakat Adat adalah kelompok unik yang terikat secara sosial dan budaya melalui warisan bersama atas tanah dan sumber daya alam. Mereka hidup, menetap, atau terkadang terpaksa pindah dari tempat asal mereka.
Tanah dan sumber daya ini tidak hanya penting untuk identitas dan budaya mereka, tetapi juga untuk mata pencaharian dan kesejahteraan fisik serta spiritual.
Dalam menavigasi hubungan mereka dengan dunia luar, mereka sering kali diwakili oleh pemimpin dan organisasi tradisional mereka, yang berdiri terpisah dari masyarakat dan budaya mainstream.
Saat ini diperkirakan ada sekitar 476 juta Masyarakat Adat, yang meskipun hanya mencakup 5-6 persen dari total populasi dunia. Namun mereka mewakili hampir 19 persen dari kelompok orang miskin ekstrem.
Mereka menghadapi kesenjangan yang signifikan dalam hal harapan hidup. Bahkan bisa lebih rendah hingga 20 tahun dibandingkan dengan Masyarakat Non-Adat.
Seringkali, Masyarakat Adat tidak diakui secara formal atas hak atas tanah dan sumber daya alam mereka. Mereka juga biasanya menjadi yang terakhir mendapatkan investasi publik untuk layanan dasar dan infrastruktur.
Baca Juga: Tanggapan AMAN tentang Janji Pilpres 2024 untuk Masyarakat Adat
Berbagai rintangan juga harus mereka hadapi dalam berpartisipasi penuh di ekonomi formal, mendapatkan akses ke sistem peradilan, serta terlibat dalam proses politik dan pengambilan keputusan.
Masyarakat Adat, yang menguasai, menempati, atau memanfaatkan sekitar seperempat dari permukaan bumi, memainkan peran penting dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Mereka menjaga 80 persen dari biodiversitas yang tersisa di dunia.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa hutan yang dikelola secara kolektif oleh Masyarakat Adat dan komunitas lokal berkontribusi dalam menyimpan sedikitnya seperempat dari total karbon di hutan tropis dan subtropis.
Kekayaan pengetahuan dan keterampilan turun-temurun mereka adalah aset yang tak ternilai dalam beradaptasi dan mengurangi risiko yang berkaitan dengan perubahan iklim dan bencana alam.
3 Contoh Masyarakat Adat Melindungi Alam
Berikut ini tiga cerita tentang masyarakat adat yang berada di garis depan dalam melindungi alam yang mereka andalkan, seperti dilansir dari Conservation News:
1) Para Perempuan Amazon Pelindung Lebah
Lebah Melipona, yang kecil dan tidak menyengat, memegang peran istimewa dalam warisan komunitas adat Amazon. Madu mereka, yang telah digunakan selama berabad-abad sebagai obat tradisional, adalah kunci dalam melawan infeksi dan mendukung penyerbukan serta regenerasi hutan.
Generasi demi generasi, manusia bergantung pada lebah ini, namun sekarang lebah Melipona yang membutuhkan bantuan. Terancam oleh deforestasi, penggunaan pestisida, dan perubahan iklim, perempuan adat berupaya agar pengetahuan turun-temurun mereka dapat melindungi spesies ini.
Program Beasiswa Perempuan Adat Amazonia dari Conservation International mendukung upaya ini dengan menyediakan dana, pelatihan, dan jaringan bagi perempuan untuk memimpin inisiatif konservasi.
Baru-baru ini, enam perempuan dari Bolivia, Kolombia, dan Ekuador berkumpul untuk bertukar pengetahuan tentang perlindungan lebah dan mempelajari lebih lanjut tentang manajemen sarang dan dinamika koloni.
Baca Juga: Debat Keempat: Cawapres Tanggapi Isu Lingkungan, Agraria, dan Adat
Katty Guatatoca, seorang peternak lebah dari komunitas Kichwa di Ekuador, mengungkapkan, “Lebah mengajarkan kita tentang pentingnya hidup berdampingan dengan alam, menghormati dan berkontribusi pada keseimbangan ekosistem, sambil menerima apa yang diberikan alam kepada kita.”
2) Proyek Karbon Hutan Suku Maasai
Mutarian Ntanin tumbuh di bukit Chyulu, Kenya, di mana padang rumput luas, hutan, dan hutan awan menjadi rumah bagi ternak yang digembalakan oleh suku Maasai selama generasi.
Namun, perubahan besar telah terjadi sepanjang hidupnya. Hutan yang dulu lebat kini berubah menjadi lahan pertanian, merusak sumber air vital untuk jutaan orang dan satwa liar, termasuk spesies yang terancam seperti badak hitam dan gajah.
Untuk menjaga kelestarian tanah ini, komunitas setempat bekerja sama dengan Conservation International dan Maasai Wilderness Conservation Trust, dalam sebuah program yang didukung oleh PBB, yang memberikan insentif finansial untuk mempertahankan hutan.
Ntanin, seorang tetua suku, mengajarkan nilai penting pelestarian: "Menyelamatkan lingkungan berarti menyelamatkan diri kita sendiri," katanya. Dia yakin bahwa alam memiliki kemampuan untuk pulih, tetapi hanya jika kita bekerja bersama, bukan secara individual.
Proyek karbon hutan ini tidak hanya membantu melestarikan 404.000 hektar tanah, tetapi juga membawa investasi penting ke komunitas lokal, mendukung segalanya dari program makanan darurat di sekolah hingga peningkatan layanan kesehatan dan penciptaan peluang pendapatan baru.
"Bukit Chyulu adalah warisan kami untuk masa depan," ujar Ntanin. "Ini menunjukkan bahwa ada harapan dan masa depan yang berkelanjutan dalam lingkungan kita."
3) Penjaga Laut dari Fiji
Di Fiji, masyarakat adat hanya menyusun 1 persen dari total populasi. Namun, mereka telah memainkan peran kunci dalam memulai sebuah inisiatif besar untuk mengawetkan lebih dari seperempat wilayah laut negara tersebut.
Wilayah ini, yang terancam oleh dampak perubahan iklim dan penangkapan ikan secara berlebihan, kini mendapat perhatian serius.
Baca Juga: Perempuan, Anak, dan Masyarakat Adat Berperan dalam Pembangunan Lestari di Kabupaten Sigi
Melalui kerjasama antara pemimpin adat, pemerintah, dan organisasi seperti Conservation International, ada usaha gigih untuk menciptakan keseimbangan antara kehidupan komunitas dan perlindungan laut di provinsi Lau, yang terdiri dari lebih dari 60 pulau terpencil. Tujuannya adalah untuk menjaga ekosistem yang rentan ini, sambil juga mendukung ekonomi lokal yang lestari.
Kepulauan ini menjadi rumah bagi spesies migran seperti paus dan merupakan habitat penting bagi penyu hijau dan penyu sisik yang terancam punah. Terumbu karang di sini tidak hanya penting bagi kehidupan laut, tetapi juga bagi masyarakat Lau, yang kebudayaannya erat kaitannya dengan laut.
Roko Josefa Cinavilakeba, pemimpin suku Totoya di kepulauan Lau, menekankan pentingnya inisiatif ini: "Kami mengakui setiap pulau dan terumbu sebagai bagian dari upaya ini, yang dilandasi oleh semangat kasih dan kebaikan. Kami berkomitmen untuk tidak meninggalkan siapapun atau apapun—agar generasi yang akan datang juga dapat menikmati masa depan yang cerah."
Tanah Adat yang Minim Perlindungan
Sayangnya, meski peran mereka sudah terbukti nyata dan sebagian besar wilayah yang dihuni Masyarakat Adat diakui sebagai milik adat, tetapi sering kali hanya sebagian kecil yang diakui secara resmi oleh pemerintah.
Meskipun ada pengakuan atas tanah Adat, perlindungan dan pengelolaan sumber daya alamnya masih sering kali kurang memadai.
Ketidakpastian hak atas tanah ini sering memicu konflik, kerusakan lingkungan, dan hambatan dalam pembangunan ekonomi dan sosial, yang pada gilirannya mengancam kelangsungan budaya dan pengetahuan penting.
Kehilangan dalam aspek ini dapat meningkatkan kerentanan, kehilangan biodiversitas, dan merusak sistem One Health yang esensial bagi layanan ekosistem yang bergantung kita semua.
Dengan kearifan dan dedikasi mereka, masyarakat adat terus menjadi garda terdepan dalam menjaga biodiversitas. Kita semua berhutang pada upaya mereka yang tak kenal lelah dalam melindungi warisan alam yang tak ternilai ini.