Nationalgeographic.co.id—Ketika Kekaisaran Ottoman membuka pintunya, sebuah babak baru dimulai bagi Yahudi yang mencari perlindungan. Mereka menemukan lebih dari sekadar tempat berlindung; mereka menemukan kesempatan untuk berkembang.
Di sini, di antara keagungan arsitektur dan kekayaan budaya, komunitas Yahudi mekar dengan tradisi dan inovasi mereka sendiri. Mereka mengukir cerita keberhasilan yang masih dikenang hingga hari ini.
Penuturan ini bukan hanya tentang masa lalu; ini adalah pengingat akan ketahanan dan kontribusi sebuah komunitas. Temukan lebih lanjut dalam artikel yang menghidupkan kembali sejarah.
Bangkitnya Kekuatan Kekaisaran Ottoman
Dari awal abad ke-14, Kekaisaran Ottoman mulai menapak sebagai kekuatan yang diperhitungkan. Hal tersebut terjadi baik dalam politik maupun militer.
Didirikan oleh Osman Ghazi atau Osman I, sebuah kesultanan Turki yang tadinya tidak begitu dikenal, perlahan-lahan berkembang menjadi imperium yang mengagumkan.
Pedang pimpinan para penggantinya mengakhiri dominasi Yunani yang telah berlangsung ribuan tahun di Mediterania selatan. "Di sisi lain, era baru di bawah pengaruh Islam pun mulai diperkanalkan," tulis Eli Barnavi di laman My Jewish Learning.
Dengan ekspansinya yang terus meluas ke Eropa, batas-batas Ottoman hampir menyentuh Wina, menjadikannya garis depan pertahanan Kekristenan.
Komunitas Yahudi yang berbahasa Yunani sendiri telah berada di bawah naungan Ottoman sejak penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453. Di wilayah yang kemudian dikenal sebagai Istanbul tersebut, mereka dikenal sebagai "Romaniot" atau "Grego" oleh para imigran dari Spanyol dan Portugal.
Sementara itu, kelompok Yahudi berbahasa Arab, atau "Mustarab," merupakan komunitas penting lainnya yang hidup di wilayah yang disebut "Arabistan." Mereka tinggal di “Arabistan”–negara-negara yang terutama ditaklukkan selama pemerintahan Selim I (1512‑1520) dan putranya Suleiman yang Agung (1520‑1566).
Bagi banyak Yahudi, penaklukan ini merupakan penyelamatan dari kondisi sulit yang mereka alami di bawah Bizantium dan Mamluk pada abad ke-14 dan 15.
Baca Juga: Tak Hanya 'Taman Bermain Seksual Sultan', Ini Peran Harem Era Ottoman
Oasis Bernama Kekaisaran Ottoman
Gelombang besar pengungsi Yahudi Iberia menemukan perlindungan di bawah naungan Kekaisaran Ottoman. Terutama setelah pengusiran massal dari Spanyol pada tahun 1492 dan konversi paksa di Portugal lima tahun kemudian.
Dengan syarat yang relatif sederhana—membayar pajak kepala dan mengakui supremasi Islam—imperium ini menjadi oasis bagi mereka yang terusir.
Pada awal abad ke-16, komunitas Yahudi di wilayah Ottoman telah berkembang menjadi yang terbesar di dunia. Konstantinopel dan Salonika sendiri masing-masing menjadi rumah bagi sekitar 20.000 orang Yahudi.
Imigrasi berkelanjutan dari Semenanjung Iberia tidak hanya membawa jumlah yang besar tetapi juga mengubah dinamika sosial dan budaya Yahudi Ottoman. Para imigran Spanyol dan Portugis, dengan cepat dan secara signifikan, mengatasi jumlah Romaniot lokal. Hal ini membuat budaya dan komunitas asli terasimilasi ke dalam tradisi baru yang mereka bawa.
Di sisi lain, Sultan Mehmed II berupaya untuk memperkaya dan memperluas ibu kotanya. Untuk itu, dia memindahkan banyak orang dari berbagai provinsi ke Konstantinopel setelah penaklukannya.
"Migrasi ini memberikan dampak yang mendalam pada komunitas Yahudi," ungkap Barnavi. Sebab peristiwa tersebut pada akhirnya mengubah karakteristik yang telah terbentuk selama era Bizantium.
Meskipun kondisi ekonomi dan kebebasan beragama membaik secara signifikan, banyak kongregasi (perkumpulan) Romaniot yang lebih tua menghilang. Mereka hanya meninggalkan jejak dalam nama-nama sinagoga tertentu di Istanbul.
Mereka digantikan oleh kongregasi baru yang sepenuhnya berbahasa Spanyol. Hal tersebut terjadi baik di ibu kota maupun di kota-kota seperti Salonika atau Tiriya di Anatolia barat.
Masa-masa Indah Komunitas Yahudi
Dalam keragaman komunitas Yahudi di Kekaisaran Ottoman, kongregasi dibentuk berdasarkan asal-usul geografis anggotanya. Berpusat di sinagoga, organisasi-organisasi ini menyediakan layanan yang lengkap. Di mulai dari keagamaan hingga sosial, organisasi ini membentuk masyarakat yang nyaris mandiri.
Hingga akhir abad ke-16, struktur institusi ini cukup lentur. "Kondisi tersebut, pada akhirnya memungkinkan mobilitas sosial yang tinggi," jelas Barnavi.
Namun, lama-kelamaan, asal-usul geografis menjadi kurang relevan. Dinamika kongregasi pun lebih banyak dipengaruhi oleh persaingan antara individu atau kelompok berpengaruh yang memiliki kepentingan berbeda.
Era abad ke-16 merupakan masa keemasan bagi Yahudi di bawah Ottoman. Dengan imperium yang terus berkembang, kebutuhan ekonomi pun meningkat, Yahudi diberi peluang untuk terjun dalam perdagangan dengan Eropa dan industri baru seperti tenun wol.
Tokoh-tokoh seperti Don Joseph Nasi dan Solomon ibn Yaish memimpin dengan memanfaatkan jaringan keluarga internasional dan pengetahuan tentang Eropa untuk tidak hanya mendukung Sublime Porte tetapi juga melindungi komunitas mereka.
Di samping kemakmuran ekonomi, budaya Yahudi juga mengalami masa kebangkitan. Shulchan Aruch karya Joseph Caro menjadi kode hukum Ibrani yang dihormati. Sementara itu Lurianic Kabbalah dari Safed di Palestina menandai salah satu aliran mistisisme Yahudi yang paling berpengaruh.
Masa-masa ini seolah menjadi pengejawantahan dari potensi budaya yang selama ini terpendam akibat berabad-abad penindasan. Seakan-akan komunitas pengasingan ini mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan diri sepenuhnya.
Dalam lipatan sejarah, Kekaisaran Ottoman menawarkan babak baru bagi "Yahudi". Mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga mekar dalam cahaya toleransi dan kemakmuran.