Di alam liar, sangat jarang kuda dewasa yang bermain. Namun, dalam kondisi yang dikekang, bermain menjadi salah satu cara mereka mengatasi stres akibat pembatasan tersebut.
Penelitian dan pengamatan Hausberger memberikan wawasan penting mengenai bagaimana kesalahpahaman terhadap perilaku hewan dapat mem
engaruhi pemahaman kita tentang emosi dan kesejahteraan mereka.
Pendekatan Evolusioner dalam Memahami Emosi Hewan
Selama sebagian besar dua milenium terakhir, pemikir Barat secara umum menolak gagasan bahwa hewan memiliki kapasitas untuk merasakan emosi.
Namun, Charles Darwin tidak setuju dengan pandangan ini. Dia berpendapat bahwa berbagai spesies memiliki kemampuan untuk merasakan emosi, seperti yang dijelaskan dalam bukunya yang terbit pada tahun 1872, The Expression of the Emotions in Man and Animals.
"Pada semua atau hampir semua hewan, bahkan pada burung, Teror menyebabkan tubuh bergetar," ungkap Darwin.
Teori behaviorisme yang populer di awal abad ke-20 menolak penelitian tentang emosi hewan karena dianggap tidak dapat diukur secara objektif. Namun, pada akhir abad ke-20, pemikiran ini mulai berubah.
Marian Stamp Dawkins dari Universitas Oxford memelopori studi tentang bagaimana hewan menunjukkan preferensi mereka. Penelitiannya memberikan kesempatan kepada kita untuk memahami apa yang benar-benar diinginkan oleh hewan dan seberapa penting hal tersebut bagi mereka.
Pendekatan lainnya adalah dengan menyelidiki perasaan hewan melalui lensa psikologi manusia.
"Mencari kesamaan dalam cara manusia dan hewan lain memproses pengalaman adalah masuk akal karena otak dan perilaku kita mencerminkan sejarah evolusi yang sama," kata Michael Mendl, seorang peneliti kesejahteraan hewan di University of Bristol di Inggris.
Baca Juga: Dunia Hewan: Aurochs, 'Raksasa' yang Jadi Nenek Moyang Sapi Modern