Nationalgeographic.co.id—Apakah anjing peliharaan Anda benar-benar merasa gembira saat mengibaskan ekornya? Atau, apakah kucing yang menggosokkan tubuhnya pada kaki Anda benar-benar menunjukkan kasih sayang?
Kita seringkali memproyeksikan emosi manusia pada hewan, menafsirkan perilaku mereka berdasarkan pengalaman kita sendiri. Namun, benarkah demikian?
Seperti yang dikatakan oleh jurnalis sains independen, Alla Katsnelson, "Kita mengambil pengalaman hidup kita sendiri dan mengisinya dengan imajinasi untuk lebih memahami dan berhubungan dengan hewan yang kita temui."
Ilmu pengetahuan modern mulai mengungkap tabir misteri emosi hewan, menantang asumsi kita yang telah lama ada. Mari kita telusuri lebih dalam dunia emosi satwa, melampaui batas pemahaman kita yang selama ini terbatas pada perspektif manusia.
Salah Tafsir Tentang Perilaku Hewan
Dalam memahami perilaku hewan, seringkali kita terjebak dalam pemikiran antroposentris, menginterpretasikan tindakan mereka melalui lensa pengalaman manusia.
Martine Hausberger, seorang ilmuwan hewan dari CNRS di Universitas Rennes, Prancis, telah menghabiskan tiga dekade terakhir dalam meneliti perilaku dan emosi kuda.
Melalui pengalaman di peternakannya, Britagne, ia menyadari banyaknya kesalahan penafsiran perilaku kuda oleh para pemiliknya.
Hausberger menyoroti perilaku bermain pada kuda dewasa sebagai contoh. Kebanyakan orang menganggap perilaku ini sebagai tanda kebahagiaan atau hiburan, padahal kenyataannya sering kali berbeda.
"Kuda dewasa yang bermain sering kali merupakan kuda yang telah dikekang," kata Hausberger. Bermain tampaknya melepaskan stres dari pembatasan itu.
"Ketika mereka memiliki kesempatan, mereka mungkin menunjukkan permainan, dan pada saat itu juga mereka mungkin lebih bahagia," imbuhnya. Tetapi "hewan yang merasa sehat sepanjang waktu tidak membutuhkan hal ini untuk menghilangkan stres."
Baca Juga: Dunia Hewan: Gajah Miliki Panggilan ‘Nama’ Abstrak Melalui Vokalisasi
Di alam liar, sangat jarang kuda dewasa yang bermain. Namun, dalam kondisi yang dikekang, bermain menjadi salah satu cara mereka mengatasi stres akibat pembatasan tersebut.
Penelitian dan pengamatan Hausberger memberikan wawasan penting mengenai bagaimana kesalahpahaman terhadap perilaku hewan dapat mem
engaruhi pemahaman kita tentang emosi dan kesejahteraan mereka.
Pendekatan Evolusioner dalam Memahami Emosi Hewan
Selama sebagian besar dua milenium terakhir, pemikir Barat secara umum menolak gagasan bahwa hewan memiliki kapasitas untuk merasakan emosi.
Namun, Charles Darwin tidak setuju dengan pandangan ini. Dia berpendapat bahwa berbagai spesies memiliki kemampuan untuk merasakan emosi, seperti yang dijelaskan dalam bukunya yang terbit pada tahun 1872, The Expression of the Emotions in Man and Animals.
"Pada semua atau hampir semua hewan, bahkan pada burung, Teror menyebabkan tubuh bergetar," ungkap Darwin.
Teori behaviorisme yang populer di awal abad ke-20 menolak penelitian tentang emosi hewan karena dianggap tidak dapat diukur secara objektif. Namun, pada akhir abad ke-20, pemikiran ini mulai berubah.
Marian Stamp Dawkins dari Universitas Oxford memelopori studi tentang bagaimana hewan menunjukkan preferensi mereka. Penelitiannya memberikan kesempatan kepada kita untuk memahami apa yang benar-benar diinginkan oleh hewan dan seberapa penting hal tersebut bagi mereka.
Pendekatan lainnya adalah dengan menyelidiki perasaan hewan melalui lensa psikologi manusia.
"Mencari kesamaan dalam cara manusia dan hewan lain memproses pengalaman adalah masuk akal karena otak dan perilaku kita mencerminkan sejarah evolusi yang sama," kata Michael Mendl, seorang peneliti kesejahteraan hewan di University of Bristol di Inggris.
Baca Juga: Dunia Hewan: Aurochs, 'Raksasa' yang Jadi Nenek Moyang Sapi Modern
Para peneliti secara rutin menyelidiki pikiran dan otak hewan pengerat dan hewan lainnya, termasuk lalat, ikan, dan primata, untuk memelajari dan mengembangkan obat untuk gangguan mental manusia seperti depresi dan kecemasan.
Jadi, Mendl menambahkan, "kita seharusnya dapat bekerja mundur dari manusia untuk memelajari perasaan pada hewan lain juga."
Kemajuan Ilmiah dalam Penelitian Emosi Hewan
Perkembangan di bidang ilmu perilaku dan kesejahteraan hewan telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam dekade terakhir. Hal ini memperluas pemahaman kita tentang bagaimana hewan merasakan dan menginterpretasikan dunia sekitar mereka.
"Dalam satu atau dua dekade terakhir, orang menjadi lebih berani dan lebih kreatif dalam mempertanyakan tentang kondisi emosional hewan," kata Georgia Mason, seorang biolog perilaku dan ilmuwan kesejahteraan hewan dari Universitas Guelph di Kanada.
Kemajuan ini mencakup berbagai temuan menarik dari spektrum luas hewan. Sebagai contoh, penelitian terbaru mengisyaratkan bahwa memegang ekor tikus dapat membuat hewan tersebut merasa senang, dan suguhan gula yang tak terduga dapat meningkatkan suasana hati lebah.
Lobster air tawar mungkin mengalami kecemasan; musang bisa merasa bosan; dan gurita, dan mungkin ikan, bisa mengalami rasa sakit.
Pada November 2021, London School of Economics and Political Science menyimpulkan bahwa invertebrata tertentu seperti kepiting, lobster, dan gurita harus dianggap sebagai makhluk berakal–yaitu mampu merasakan pengalaman subjektif seperti rasa sakit dan penderitaan.
Temuan-temuan ini tidak hanya menambah kekayaan pemahaman kita tentang dunia hewan, tetapi juga memiliki implikasi etis yang mendalam.
Jika hewan memiliki kemampuan merasakan emosi yang kompleks seperti manusia, bagaimana seharusnya kita memperlakukan mereka? Apakah praktik-praktik yang selama ini dianggap lumrah, seperti merebus lobster hidup-hidup, masih dapat dibenarkan?
Pertanyaan-pertanyaan etis ini menjadi semakin relevan seiring dengan semakin banyaknya bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa hewan bukan sekadar makhluk tanpa perasaan, melainkan individu yang memiliki kehidupan emosional yang kaya dan kompleks.