Di Balik Surat Wasiat Seorang Pegawai VOC dan Kemerdekaan Depok

By Galih Pranata, Jumat, 21 Juni 2024 | 16:00 WIB
Litograf karya Cornelis de Bruijn melukiskan Cornelis Chastelein di kawasan Seringsing di selatan Batavia. Pegawai VOC ini dikenang warga Depok karena surat wasiatnya. (Historiek)

Nationalgeographic.co.id—Siapa sangka, Kota Depok di Jawa Barat yang terletak di perbatasan selatan ibu kota Indonesia, Jakarta, memiliki sejarah panjang yang sangat unik dan istimewa.

Tokoh sentral dalam sejarah Kota Depok adalah Cornelis Chastelein, salah satu pegawai VOC. Ia lahir pada tahun 1657 di Amsterdam, di Fluwelenburgwal (sekarang Oudezijds Voorburgwal) dalam sebuah keluarga sejahtera.

"Di Amsterdam, ayah Cornelis, Anthonie Chastelein junior bukan seorang pedagang biasa, melainkan direktur Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC)," tulis Ronald Frisart dalam artikelnya.

Ronald menulisnya kepada Historiek dalam artikel berjudul Depok: een opmerkelijk sociaal experiment in Indië: Unieke stuk geschiedenis leeft nog steeds voort yang diterbitkan pada 2 Februari 2024.

Setelah berusia tujuh belas, Cornelis menjadi yatim setelah kehilangan ayah dan ibunya. Setelahnya, ia memulai perjalanan penting ke Hindia. Di sana, Cornelis meneruskan kerja besar ayahnya, memasuki dinas VOC.

"Dia melangkah jauh dalam jajaran 'Perusahaan terpuji'. Akhirnya dia bergabung dengan Dewan Hindia. Dua belas anggota dewan ini, bersama dengan gubernur jenderal, membentuk Pemerintahan Tinggi di Hindia," imbuh Ronald.

Cornelis menjelma menjadi kolonialis sukses dengan kekayaan yang luar biasa. Ia membeli dan mengembangkan tiga perkebunan di kawasan selatan Batavia—Weltevreden, Seringsing dan Depok—dan memiliki banyak budak.

Dia mendapatkan banyak uang dari perdagangan dan mengembangkan perkebunannya yang luas. Meski tergabung dalam VOC, ia juga kerap kali mengkritisi kebijakan perusahaan besar itu.

Tak ayal, ia sempat meninggalkan perusahaan Hindia Timur itu selama beberapa tahun karena merasa tidak nyaman dengan pejabat tingginya. Namun, setelah melihat reformasi besar dalam tubuh VOC, dia kembali bertugas di perusahaan itu pada tahun 1705.

Salah satu gagasan besar Cornelis adalah penduduk asli atau pribumi harus dilibatkan dalam pembangunan. Dalam hematnya, VOC hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak memanfaatkan hal ini, sementara para pangeran dan bupati pribumi kebanyakan mengambil keuntungan dari hal ini.

Selain itu, ia membayangkan sebuah pemerintahan yang lapisan bawahnya akan dibentuk oleh dewan desa terpilih, dan dewan distrik harus dibentuk di atasnya. Ia menghendaki otonomi sendiri yang dibangun dengan fondasi-fondasi yang dibayangkan.

Baca Juga: Tol Cijago Diresmikan, dari Depok ke Bandara Soekarno-Hatta Tidak Lewat Jakarta Lagi

Dengan permohonannya untuk otonomi tertentu bagi penduduk asli, Chastelein tentu saja menghadapi perlawanan besar di kalangan kolonial.

Namun, ia menegaskan lagi kepada para petinggi bahwa Kekaisaran Romawi tidak akan pernah mencapai kemakmuran seperti itu jika Romawi tidak memberikan otonomi kepada masyarakat yang mereka kuasai.

Ia menganjurkan hal yang sama untuk Hindia, karena menurutnya, itulah satu-satunya cara untuk mempertahankan kendali atas koloni dalam jangka panjang. Seperti hegemoni Romawi yang berlangsung lama.

Chastelein dikenal baik terhadap para budaknya. Bagaimanapun, sejauh yang diketahui, dia memperlakukan budaknya sendiri dengan adil dan dia memiliki sesuatu yang istimewa untuk mereka setelah kematiannya.

Orang-orang Depok di Stasiun Depok pada masa Hindia Belanda. (nationalgeographic.nl)

Ketika surat wasiatnya dibuka setelah kematiannya pada usia 56 tahun, dia membebaskan 150-200 budaknya. Kebanyakan dari mereka sebelumnya telah menjadi Kristen (Protestan) atas desakan Chastelein.

Kebanyakan budak Cornelis Chastelein yang mendapatkan kembali kebebasannya berasal dari Bali. Yang lebih istimewa lagi, selain memberikan kebebasan kepada budaknya, Chastelein juga memberikan tanah miliknya di kawasan Depok.

Ini terdiri dari lima bidang tanah yang berdekatan yang dibeli atau diterimanya dari pemerintah di Batavia. Para budak yang dibebaskan menjadi pemilik bersama atas tanah tersebut, hanya (sebagian besar) kemudian bagiannya menjadi milik pribadi.

Sangat istimewanya, "kepemilikan kolektif atas tanah Depok itu berlaku untuk selama-lamanya, termasuk bagi keturunan para budak yang dibebaskan," terus Ronald Frisart. Dapat dikatakan, para budak itu telah merengkuh kemerdekaan lebih awal.

Dalam apa yang disebut 'codicillary disposition', yang ditambahkan dalam surat wasiatnya, Chastelein telah memasukkan segala macam aturan tentang bagaimana budak yang dibebaskan harus hidup bersama dan mengelola perkebunan di Depok.

Misalnya, ia menetapkan bahwa jika salah satu rumah warga di Depok rusak akibat kebakaran, maka rekonstruksi harus dilakukan atas biaya bersama 'pemegang saham' perkebunan tersebut.

Baca Juga: Kisah Orang-Orang Depok yang Terlupakan: Pribumi yang Punya Hak Khusus

Fakta bahwa Chastelein telah menempatkan budak-budaknya secara kolektif di wilayah Depok dan juga menugaskan mereka tugas-tugas dan kekuasaan administratif dan yudisial mendapat penolakan yang tidak dapat diatasi dari pemerintah Batavia.

Kesulitan hukum muncul pada tahun 1844. Kakak laki-laki dan dua saudara perempuan Grovinius, keturunan langsung Cornelis Chastelein, kemudian mengklaim kepemilikan Depok dan menolak hak pakai hasil dari 'pemegang saham' pribumi.

Penolakan Dewan Hindia itu memaksa para pribumi yang sudah mendapatkan haknya atas tanah Depok, harus berkemas dan pergi meninggalkan kampung halaman mereka. Hal ini malah menyulut perhatian pemerintah Hindia.

Pada tahun 1850, Mahkamah Agung Hindia Belanda membatalkan keputusan Dewan Hindia tahun 1714. Keturunan budak Chastelein yang dibebaskan diberi kepemilikan penuh (kolektif) dan kendali administratif atas perkebunan di Depok.

Namun, kenyataan hidup para budak yang dibebaskan tidaklah mudah. Pada akhirnya para budak itu mendapati diri mereka berada dalam keadaan yang sangat miskin. Beruntung, peran gereja di Depok telah meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat.

Seiring waktu, sekolah-sekolah didirikan (termasuk sekolah Eropa dengan pelajaran dalam bahasa Belanda) dan bahkan sebuah seminari, dengan lebih dari lima ratus misionaris pribumi dilatih dari tahun 1878 hingga 1926.

Chastelein telah meletakkan dasar untuk hal ini. Dalam surat wasiatnya ia memberikan segala macam hak kepada mantan budaknya, namun penduduk lainnya, petani Sunda biasa, tetap tidak memiliki hak.