Nationalgeographic.co.id—Komunitas warga Depok Lama memiliki sejarah hidup tersendiri di Jawa Barat. Leluhur mereka berasal dari luar pulau yang menjadi budak, tapi kemudian menjadi orang-orang merdeka yang punya hak khusus.
Kisah komunitas warga Depok Lama yang kerap disebut sebagai orang-orang Belanda Depok ini bermula saat Cornelis Chastelein, pedagang dan pejabat VOC, mewariskan perkebunannya di Depok di Hindia Belanda kepada 150 budaknya setelah kematiannya pada tahun 1714. Dari pergolakan sejarah yang mengikutinya, sebuah komunitas yang erat kemudian muncul dan bertahan hingga hari ini.
National Geographic Belanda pernah mewawancarai Nonja Peters, sejarawan sekaligus antropolog yang ahli dalam kajian migrasi transnasional dengan fokus khusus pada sejarah Belanda di Asia Tenggara. Dia berafiliasi dengan Institute of Migration and Ethnic Studies (IMES) dari University of Amsterdam (UvA) dan Curtin University di Perth, Australia. Berikut ini petikan jawaban wawancara Nonja Peters.
Siapakah Cornelis Chastelein?
Chastelein tiba di Batavia [Jakarta] pada tahun 1675 dan menjabat sebagai akuntan di Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Dia tinggal di benteng, yang berisi rumah-rumah eselon tertinggi VOC. Dia membeli sebidang tanah di luar kota, yang dia pusatkan sepenuhnya setelah dia mengundurkan diri dari VOC pada tahun 1691. Dia memiliki empat perkebunan: Depok, Serinsing, Weltevree dan Noordwijk.
Pada usia 48 tahun, Chastelein kembali ke VOC dan menjadi Dewan Luar Biasa Hindia. Pada 1714 dia diberi penguburan seremonial. Chastelein menikahi Catharina van Quaelberg, putri seorang pejabat tinggi VOC. Bersama-sama mereka memiliki dua anak, Anthony dan Judith, tetapi istrinya meninggal ketika anak-anaknya masih kecil. Ia juga memiliki dua anak perempuan dari perempuan pribumi: Maria dan Catherina. Dia memiliki Maria dengan Leonora, yang mungkin adalah nyai (selir) pada saat itu. Chastelein memilih untuk secara resmi mengakui Maria. Dia memiliki putri lain dari seorang wanita Bali.
Bagaimana selir dan perbudakan dipandang pada saat itu?
Ketika Belanda mulai menjelajahi dunia seberang laut pada akhir abad ke-16, mereka dihadapkan pada perdagangan budak. Awalnya, gereja yang direformasi melarang perdagangan budak, tetapi kemudian dibenarkan oleh Alkitab. Beberapa misionaris memiliki budak dan selir mereka sendiri. Chastelein juga memiliki budak. Di Depok ada sebanyak 150 orang, antara lain berasal dari Bali, Makassar, Benggala, dan Koromandel.
Setelah kematiannya pada tahun 1714, Chastelein mewariskan Depok kepada para budaknya.
Serinsing, Weltevree dan Noordwijk diberikan Chastelein kepada putranya Anthony setelah kematiannya. Tapi tidak dengan Depok: dia menyerahkannya kepada 150 budak. Perkebunan seluas 1.244 hektare (di Depok) akan menjadi milik bersama (para budak). Dia juga membebaskan (memerdekakan) budak-budak yang dikristenkan, kecuali beberapa. Dia membuat dua budak melayani Leonora selama tiga tahun; beberapa pasangan budak lainnya ditugaskan ke Anthony selama enam tahun.
Namun Depok tidak benar-benar menjadi milik para mantan budak sampai tahun 1850.
Dewan Hindia ditunjuk untuk melaksanakan wasiat Chastelein, tetapi memutuskan untuk tidak mengikuti wasiatnya sebulan setelah kematiannya. Mereka menganggap terlalu jauh bagi Chastelein untuk mau menyerahkan Depok kepada budak-budaknya yang telah dibebaskan, apalagi memberi mereka pemerintahan sendiri. Depok diserahkan kepada sanga putra Anthony --para budak hanya berhak atas hasil (perkebunan).
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR