Hal ini juga dilakukan oleh suku-suku pribumi AS barat daya, seperti Zuni yang disingkap Matilda Coxe Stevenson dalam Ethnobotany of the Zuñi Indians (1915).
Stevenson juga menyingkap, masyarakat suku Zuni menggunakan kecubung datura suci untuk upacara, sihir, dan ramalan.
Young dan Cross dalam Stramonium Psychodelia (1969) menyingkap, penduduk pribumi Amerika Utara menjadikan kecubung sebagai obat meredakan asma. Kecubung biasanya dibakar dan dihisap seperti rokok atau dibakar seperti dupa yang asapnya dihirup langsung.
Masyarakat Aztek menggunakan kecubung sebagai obat penghilang rasa sakit dalam ritual inisiasi dan sebagai narkotika dalam ritual pengorbanan.
Kecubung dalam peradaban Asia kuno
Walter H. Lewis dan P. F. Elvin-Lewis dalam Medical Botany: Plants Affecting Man's Health First Edition mengungkap bahwa peradaban di India percaya akan khasiat kecubung.
Bijinya diolah menjadi bubuk dan dicampur dengan mentega, kemudian disuguhkan sebagai minuman untuk penyakit impoten. Mereka juga mengoleskannya pada alat kelamin untuk mendapatkan gairah seksual laki-laki dewasa.
Selain itu, dalam mitologi Hindu pun meyakini bahwa kecubung adalah tanaman yang menyebabkan dewa Siwa mabuk secara ilahi. Mabuknya dewa Siwa terjadi setelah peristiwa pengadukan susu kosmik Samudramantana yang melibatkan para dewa dan raksasa.
Dari adukan itu muncul tanaman beracun yang diyakini sebagai kecubung. Tidak ada yang bisa menelan racun, kecuali Siwa. Akibatnya, sang dewa mabuk dan lehernya menjadi biru permanen.
Kecubung hadir dalam ragam teks agama Buddha di Asia Selatan dan Tibet. Dalam teks tantra Vajrayana, kecubung disebut sebagai dathura—yang menjadi cikal penyebutan dalam bahasa ilmiah.
Baca Juga: Rentetan Kemalangan yang Mengikuti Batu Kecubung Terkutuk dari Delhi