Sejarah Dunia: Kisah Mao Zedong, Sang Pendiri Republik Rakyat Tiongkok

By Sysilia Tanhati, Jumat, 28 Juni 2024 | 20:05 WIB
Mao Zedong, Bapak Tiongkok modern, dikenang karena pengaruhnya terhadap masyarakat dan budaya Tiongkok. Ia pun memiliki pengaruh besar dalam sejarah dunia. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id – Mao Zedong, Bapak Tiongkok modern, dikenang karena pengaruhnya terhadap masyarakat dan budaya Tiongkok. Dalam sejarah dunia, ia memiliki pengaruh terhadap kaum revolusioner politik di Amerika Serikat dan dunia barat. Mao Zedong secara luas dianggap sebagai salah satu ahli teori komunis paling terkemuka serta penyair hebat.

Masa Muda Mao Zedong

Pada tanggal 26 Desember 1893, seorang putra lahir dari keluarga Mao, petani kaya di Shaoshan, Provinsi Hunan, Tiongkok. Mereka menamai bayi laki-laki itu Mao Zedong.

Mao muda tersebut mempelajari ajaran klasik Konfusianisme di sekolah desa selama 5 tahun. Namun ia meninggalkan sekolah pada usia 13 tahun untuk membantu pekerjaan penuh waktu di pertanian. Pemberontak dan mungkin manja, Mao muda konon dikeluarkan dari beberapa sekolah. “Ia bahkan kabur dari rumah selama beberapa hari,” tulis Kallie Szczepanski di laman Thoughtco.

Pada tahun 1907, ayah Mao menjodohkan putranya yang berusia 14 tahun. Mao menolak mengakui istrinya yang berusia 20 tahun, bahkan setelah dia pindah ke rumah keluarganya.

Pendidikan

Mao pindah ke Changsha, ibu kota Provinsi Hunan, untuk melanjutkan pendidikannya pada 1911. Selama 6 bulan, ia menjabat sebagai tentara di barak di Changsha, selama revolusi yang menggulingkan Dinasti Qing. Mao menyerukan agar Sun Yatsen menjadi presiden dan memotong rambut panjangnya yang dikepang. Pemotongan kepang itu merupakan tanda pemberontakan anti-Manchu.

Antara tahun 1913 dan 1918, Mao belajar di Sekolah Pelatihan Guru. Di sekolah itu Mao mulai menerima ide-ide yang lebih revolusioner. Dia terpesona oleh Revolusi Rusia tahun 1917 dan filsafat Tiongkok abad ke-4 SM yang disebut Legalisme.

Setelah lulus, Mao mengikuti profesornya Yang Changji ke Beijing dan bekerja di perpustakaan Universitas Beijing. Atasannya, Li Dazhao, adalah salah satu pendiri Partai Komunis Tiongkok dan sangat memengaruhi perkembangan ide-ide revolusioner Mao.

Mengumpulkan Kekuatan

Meski sudah menikah sebelumnya, pada 1920 Mao menikahi Yang Kaihui, putri profesornya. Dia membaca terjemahan The Communist Manifesto di tahun yang sama dan menjadi penganut marxisme yang penuh komitmen.

Baca Juga: Four Pests: Kampanye 'Mulia' Mao Zedong yang Memicu Bencana Ekologis

Enam tahun kemudian, Partai Nasionalis, atau Kuomintang, di bawah pimpinan Chiang Kai-shek membantai setidaknya 5.000 komunis di Shanghai. “Peristiwa itu menjadi awal dari Perang Saudara Tiongkok,” tambah Szczepanski. Musim gugur itu, Mao memimpin Autumn Harvest Uprising (Pemberontakan Panen Musim Gugur) di Changsha melawan Kuomintang.

Kuomintang menghancurkan tentara tani Mao, membunuh 90% dari mereka dan memaksa yang selamat keluar ke pedesaan.

Pada bulan Juni 1928, Kuomintang merebut Beijing dan diakui sebagai pemerintahan resmi Tiongkok oleh kekuatan asing. Namun Mao dan komunis terus mendirikan “Soviet” yang beranggotakan petani di selatan Provinsi Hunan dan Jiangxi. Dia meletakkan dasar-dasar Maoisme.

Perang Saudara di Tiongkok

Seorang panglima perang lokal di Changsha menangkap istri Mao, Yang Kaihui, dan salah satu putra mereka pada Oktober 1930. Sang istri menolak untuk mengecam komunisme, sehingga panglima perang tersebut memenggal kepalanya di depan putranya yang berusia 8 tahun. Mao menikahi istri ketiganya, He Zizhen, pada bulan Mei tahun itu.

Pada tahun 1931, Mao terpilih sebagai ketua Republik Soviet Tiongkok, di Provinsi Jiangxi. Mao memerintahkan teror terhadap tuan tanah. Saat itu, mungkin lebih dari 200.000 orang disiksa dan dibunuh. Tentara Merahnya, yang sebagian besar terdiri dari petani yang tidak bersenjata tetapi fanatik, berjumlah 45.000 orang.

Di bawah tekanan Kuomintang yang meningkat, Mao diturunkan dari peran kepemimpinannya. Pasukan Chiang Kai-shek mengepung Tentara Merah di pegunungan Jiangxi, memaksa mereka melarikan diri dengan putus asa pada tahun 1934.

Long March dan Pendudukan Jepang di Tiongkok

Sekitar 85.000 tentara Tentara Merah dan pengikutnya mundur dari Jiangxi dan mulai berjalan sejauh 6.000 kilometer ke provinsi utara Shaanxi. Mereka dihadang cuaca yang sangat dingin, jalur pegunungan yang berbahaya, dan sungai yang tidak memiliki jembatan. Selain itu, panglima perang dan Kuomintang pun menyerang mereka di perjalanan. Hanya 7.000 orang komunis yang berhasil mencapai Shaanxi pada tahun 1936.

“Long March ini mengukuhkan posisi Mao Zedong sebagai pemimpin komunis Tiongkok,” Szczepanski menjelaskan. Dia mampu mengerahkan pasukan meskipun menghadapi situasi yang mengerikan.

Pada tahun 1937, Jepang menginvasi Tiongkok. Komunis Tiongkok dan Kuomintang menghentikan perang saudara mereka untuk menghadapi ancaman baru ini. Perang melawan Jepang berlangsung hingga kekalahan Jepang pada Perang Dunia II pada tahun 1945.

Jepang merebut Beijing dan pesisir Tiongkok, namun tidak pernah menduduki wilayah pedalaman. Kedua tentara Tiongkok terus bertempur; taktik gerilya komunis sangat efektif. Sementara itu, pada tahun 1938, Mao menceraikan He Zizhen dan menikah dengan aktris Jiang Qing. Jiang Qing kemudian dikenal sebagai "Nyonya Mao".

Perang Saudara Terus Berlanjut

Bahkan saat ia memimpin perang melawan Jepang, Mao berencana merebut kekuasaan dari sekutu lamanya, Kuomintang. Mao menyusun ide-idenya dalam sejumlah pamflet. Pada tahun 1944, Amerika Serikat mengirimkan Misi Dixie untuk menemui Mao dan komunis. Amerika menganggap komunis lebih terorganisir dan tidak korup dibandingkan Kuomintang, yang telah menerima dukungan Barat.

Setelah Perang Dunia II berakhir, tentara Tiongkok mulai berperang lagi dengan sungguh-sungguh. Titik baliknya adalah Pengepungan Changchun tahun 1948. Tentara Merah, yang kini disebut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), mengalahkan tentara Kuomintang di Changchun, Provinsi Jilin.

Pada tanggal 1 Oktober 1949, Mao merasa cukup percaya diri untuk mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Pada 10 Desember, PLA mengepung benteng terakhir Kuomintang di Chengdu, Sichuan. Pada hari itu, Chiang Kai-shek dan pejabat KMT lainnya meninggalkan Tiongkok Daratan menuju Taiwan.

Rencana 5 Tahun Mao Zedong

Dari rumah barunya di sebelah Kota Terlarang, Mao mengarahkan reformasi radikal di Tiongkok. Tuan tanah dieksekusi, mungkin sebanyak 2-5 juta orang di seluruh negeri. Ttanah mereka didistribusikan kembali kepada petani miskin. Kampanye untuk menekan kaum kontrarevolusioner merenggut sedikitnya 800.000 nyawa. Sebagian besar dari para korban adalah mantan anggota Kuomintang, intelektual, dan pengusaha.

Dalam Kampanye Five-Anti Campaigns pada tahun 1951-52, Mao mengarahkan penargetan terhadap orang-orang kaya dan tersangka kapitalis. Mereka semua menjadi sasaran sesi perjuangan publik. Banyak orang yang selamat dari pemukulan dan penghinaan kemudian melakukan bunuh diri.

Antara tahun 1953 dan 1958, Mao meluncurkan Rencana Lima Tahun Pertama, yang bertujuan menjadikan Tiongkok sebagai kekuatan industri. Didukung oleh keberhasilan awalnya, Ketua Mao meluncurkan Rencana Lima Tahun Kedua, yang disebut Lompatan Jauh ke Depan. Rencana itu diluncurkan pada bulan Januari 1958.

Mao mendesak para petani untuk melebur besi di pekarangan mereka, alih-alih merawat tanaman. Hasilnya sangat buruk. Diperkirakan 30-40 juta orang Tiongkok kelaparan pada tahun 1958-1960.

Kebijakan Luar Negeri

Tak lama setelah Mao mengambil alih kekuasaan di Tiongkok, ia mengirim "Tentara Relawan Rakyat" ke Korea. Tentara tersebut berperang bersama Korea Utara melawan pasukan Korea Selatan dan PBB. Tentara Relawan Rakyat menyelamatkan pasukan Kim Il-Sung dari serbuan, sehingga mengakibatkan kebuntuan yang berlanjut hingga saat ini.

Pada tahun 1951, Mao juga mengirim PLA ke Tibet untuk "membebaskan" mereka dari kekuasaan Dalai Lama.

Pada tahun 1959, hubungan Tiongkok dengan Uni Soviet semakin memburuk. Kedua kekuatan komunis ini tidak sepakat mengenai beberapa kebijakan. Seperti Lompatan Jauh ke Depan, ambisi nuklir Tiongkok, dan Perang Tiongkok-India (1962). Pada tahun 1962, Tiongkok dan Uni Soviet memutuskan hubungan satu sama lain akibat perpecahan Tiongkok-Soviet.

Mao Zedong Disingkirkan

Pada bulan Januari 1962, Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengadakan "Konferensi Tujuh Ribu" di Beijing. Ketua konferensi Liu Shaoqi dengan keras mengkritik Lompatan Jauh ke Depan. Mao disingkirkan dalam struktur kekuasaan internal Partai Komunis Tiongkok.

Liu dan Deng Xiaoping membebaskan para petani. Mereka pun mengimpor gandum dari Australia dan Kanada untuk memberi makan para penyintas kelaparan.

Selama beberapa tahun, Mao hanya menjabat sebagai tokoh penting dalam pemerintahan Tiongkok. Dia menghabiskan waktu itu untuk merencanakan kembalinya kekuasaan dan membalas dendam pada Liu dan Deng.

Mao berencana untuk menggunakan momok kecenderungan kapitalis di kalangan penguasa, serta kekuatan dan kepercayaan anak muda. Tujuannya adalah mengambil alih kekuasaan sekali lagi.

Revolusi Kebudayaan dalam Sejarah Tiongkok

Pada bulan Agustus 1966, Mao yang berusia 73 tahun berpidato di Sidang Pleno Komite Sentral Komunis. Dia menyerukan para pemuda di negaranya untuk mengambil kembali revolusi dari kelompok sayap kanan.

Para "Pengawal Merah" muda ini melakukan pekerjaan kotor pada masa Revolusi Kebudayaan Mao. Mereka menghancurkan "Empat Prinsip Lama"—adat istiadat lama, budaya lama, kebiasaan lama, dan gagasan lama. Bahkan pemilik kedai teh seperti ayah Presiden Hu Jintao dapat dijadikan sasaran sebagai kapitalis.

Saat Revolusi Budaya, para pelajar sibuk menghancurkan karya seni dan teks kuno, membakar kuil, dan memukuli para intelektual sampai mati. (Public Domain)

Para pelajar sibuk menghancurkan karya seni dan teks kuno, membakar kuil, dan memukuli para intelektual sampai mati. Di saat yang sama, Mao berhasil menyingkirkan Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping dari kepemimpinan partai. Liu meninggal dalam kondisi yang mengerikan di penjara. Deng diasingkan untuk bekerja di pabrik traktor pedesaan. Putra Deng dilempar dari jendela lantai empat dan dilumpuhkan oleh Pengawal Merah.

Pada tahun 1969, Mao menyatakan Revolusi Kebudayaan telah selesai. Padahal, revolusi ini terus berlanjut hingga kematiannya pada tahun 1976. Fase selanjutnya diarahkan oleh Jiang Qing (Nyonya Mao) dan kroni-kroninya, yang dikenal sebagai "Geng Empat".

Kesehatan yang Makin Memburuk

Sepanjang tahun 1970-an, kesehatan Mao terus memburuk. Dia mungkin menderita penyakit Parkinson atau ALS (penyakit Lou Gehrig). Selain itu, Mao juga memiliki masalah jantung dan paru-paru yang disebabkan oleh kebiasaan merokok seumur hidup.

Pada bulan Juli 1976 ketika Tiongkok berada dalam krisis akibat Gempa Besar Tangshan, Mao yang berusia 82 tahun harus dirawat di rumah sakit di Beijing. Dia menderita dua serangan jantung besar pada awal September. Mao meninggal pada 9 September 1976, setelah alat bantu hidupnya dicabut.

Warisan Mao Zedong bagi Tiongkok

Setelah kematian Mao, cabang Partai Komunis Tiongkok yang pragmatis moderat mengambil alih kekuasaan dan menggulingkan kaum revolusioner sayap kiri.

Deng Xiaoping, yang telah direhabilitasi secara menyeluruh, memimpin negaranya menuju kebijakan ekonomi pertumbuhan gaya kapitalis dan mengekspor kekayaan. Nyonya Mao dan anggota Geng Empat lainnya ditangkap dan diadili. Mereka diadili atas semua kejahatan yang terkait dengan Revolusi Kebudayaan.

Warisan Mao saat ini sangatlah rumit. Ia dikenal sebagai "Bapak Pendiri Tiongkok Modern" dan menginspirasi pemberontakan abad ke-21. Seperti gerakan Maois Nepal dan India. Di sisi lain, kepemimpinannya menyebabkan lebih banyak kematian di tengah rakyat. Bandingikan dengan Joseph Stalin atau Adolph Hitler.

Di dalam Partai Komunis Tiongkok di bawah Deng, Mao dinyatakan "70% benar" dalam kebijakannya. Namun, Deng juga mengatakan bahwa Kelaparan Besar adalah "30% bencana alam, 70% kesalahan manusia". Meskipun demikian, Pemikiran Mao terus menjadi pedoman kebijakan hingga saat ini dalam sejarah dunia.