Istilah itu sendiri belum tentu bersifat gender. Sejarawan mencatat bahwa geisha pertama sebenarnya adalah laki-laki yang bekerja di tempat yang dulu disebut Edo, sekarang Tokyo.
“Tergantung pada wilayahnya, geisha biasanya menunjukkan geisha laki-laki. Dan penanda gender diperlukan untuk menandakan geisha perempuan,” kata Isaka.
Kaitannya dengan hiburan dan pertunjukan terlihat jelas bahkan dalam estetika geisha. Riasan cat putih yang begitu mencolok juga ditemukan di teater kabuki dan topeng putih pucat yang digunakan di teater Noh.
“Dalam publikasi terkait teater era Edo dari akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18, geisha biasanya berarti aktor kabuki. Padahal pada saat itu aktor kabuki adalah laki-laki,” kata Isaka.
Dan, seperti rumah pertunjukan tradisional kabuki dan Noh, rumah geisha mengikuti sistem pewarisan pengetahuan dan keterampilan melalui sistem hierarki. Sistem tersebut memandu maiko, geisha-in-training, sepanjang perjalanan mereka.
Para maiko ini, umumnya berusia antara 15 hingga 20 tahun, mempelajari upacara minum teh dan menari. Bahkan musik juga menjadi bagian dari pelatihan mereka. Menjadi geisha adalah proses ketat yang memakan waktu hampir satu dekade.
Proses itu mencakup masa percobaan, magang, dan pelatihan sebelum seorang wanita muda debut sebagai maiko. Setelah menjadi maiko, ada pelatihan lebih lanjut untuk menjadi geisha.
Jumlah geisha agak menurun dalam beberapa tahun terakhir karena pandemi ini. Jumlah geisha di lima distrik Kyoto berkisar sekitar 161 pada tahun 2021, dengan jumlah maiko sebanyak 68. Wanita muda masih bisa melamar menjadi maiko.
Tetapi seperti banyak industri yang terikat dengan budaya tradisional, minat terhadap hal ini tidak berubah. Bahkan beberapa wanita Jepang-Amerika telah melakukannya dan berbagi perjalanan mereka di media sosial
Larangan distrik Gion di Kyoto
Meskipun kota-kota lain di Jepang mempunyai sejarah distrik geisha, Kyoto tetap menjadi pusat utama budaya geisha modern.
Baca Juga: Resep Kecantikan Kuno, Kiat Memiliki Kulit Menawan seperti Geisha