Terdapat lima distrik geisha di Kyoto tempat geisha bekerja. Distrik tersebut menciptakan ekosistem berbasis budaya tradisional yang mencakup bisnis lain yang menyediakan kebutuhan bagi pelanggan. Termasuk kedai teh atau ruang perjamuan.
Tempat-tempat ini membutuhkan bahan-bahan untuk membuat menu lengkap untuk melayani pengunjung tetap dan wisatawan. Selain itu, mereka juga membutuhkan perajin yang dapat membantu pemeliharaan bangunan yang dibuat dengan gaya tradisional. Misalnya pembuat tikar tatami dan tukang kayu yang terampil.
Demikian pula, geisha membutuhkan akses terhadap perajin untuk menyediakan kebutuhan perdagangan mereka. Contohnya kimono yang rumit dan berbagai aksesorisnya.
Namun distrik-ditrik ini juga mencakup penduduk biasa-biasa saja yang sering kali terganggu oleh membanjirnya wisatawan. Khususnya dalam beberapa tahun terakhir.
Sayangnya, sebagian besar wisatawan yang mengunjungi Kyoto tidak mengetahui sejarah geisha. Mereka juga tidak mengetahui etika serta peraturan di distrik tersebut.
Florentyna Leow, penulis, editor, dan konsultan perjalanan yang berbasis di Kyoto memperhatikan peningkatan pariwisata di seluruh Jepang. Khususnya di Kyoto.
“Ada jauh lebih banyak alat untuk berswafoto, lebih banyak pengambilan video di berbagai tempat mulai dari kuil hingga restoran kecil. Juga lebih banyak orang yang berjalan-jalan dan berbicara melalui telepon,” dibandingkan sebelum pandemi, katanya. “Ini semua berarti bahwa orang asing tanpa disadari tertarik pada foto atau video yang sebenarnya tidak diizinkan untuk diambil.”
Larangan wisatawan di Kyoto mungkin tampak ekstrem. Tapi gagasan membatasi siapa yang memiliki akses ke geisha dan ruang mereka bukanlah hal baru. Kedai teh mungkin membatasi pelanggan dan bahkan dapat menerapkan sistem rujukan.
Pelanggan yang pertama kali datang mungkin tidak diizinkan masuk. Kecuali mereka dapat diperiksa oleh pelanggan tetap atau melalui pihak ketiga yang tepercaya.
Geisha dan maiko juga diketahui sangat merahasiakan rahasia profesional mereka. Hal ini menyulitkan akademisi yang bermaksud baik sekalipun untuk mengumpulkan informasi.
Namun larangan tersebut menimbulkan masalah krusial lainnya. Yaitu menentukan siapa yang merupakan penduduk atau turis domestik dan siapa yang merupakan turis asing non-Jepang. Ada banyak penduduk non-Jepang yang mungkin dilarang menjalankan bisnis sah mereka hanya karena penampilan.
Larangan seperti itu tidak akan mudah untuk ditegakkan. Bisa jadi, larangan tersebut malah memberikan pendekatan jangka pendek terhadap masalah yang sangat nyata yang kemungkinan besar tidak akan hilang.