Merumuskan Strategi Inovasi Pemanfaatan Sagu di Indonesia Timur

By Utomo Priyambodo, Senin, 15 Juli 2024 | 13:58 WIB
Pengolahan sagu secara tradisional di Mentawa. (Syofiardi Bachyul Jb/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sagu adalah salah satu pangan lokal yang menjadi makanan pokok di wilayah Indonesia bagian timur. Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia (BRIN), Puji Lestari, mengatakan bahwa BRIN sangat memperhatikan pemanfaatan sagu, sehingga diperlukan strategi inovasi untuk melakukan diversifikasi pemanfaatan sagu.

“Diperlukan kolaborasi penelitian dan inovasi untuk melakukan diversifikasi pemanfaatan sagu," ujar Puji saat membuka webinar ROAFERIAN #6, pada Kamis, 4 Juli 2024.

"Saat ini BRIN telah melakukan upaya penelitian dan pengembangan untuk peningkatan hasil dan kualitas tepung sagu, peningkatan teknologi pengolahan, dan penciptaan produk pangan dan industri baru," paparnya.

"Pendekatan teknologi metabolomik dan omics juga dapat diaplikasikan untuk mengetahui kandungan nutrisi, senyawa bioaktif, keamanan, dan kualitas sagu. Informasi ini untuk mendorong konsumsi beragam jenis sagu, sehingga mengarah pada peningkatan nutrisi, kesehatan, dan keberlanjutan.”

Peneliti Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, Profesor Novarianto Hengky, menyebut riset pemanfaatan plasma nutfah di Indonesia untuk bibit unggul sagu masih sangat perlu dilakukan, termasuk upaya pengembangan varietas jenis sagu.

“Tahun ini kami telah melepas varietas superior sagu baru dari Papua yaitu Sagu Yebha dan Sagu Dowbeta. Kedua sagu tersebut dapat menghasilkan 400 kg lebih sagu kering," terang Hengky.

"Selain kedua varietas tersebut terdapat beberapa varietas unggul sagu lainnya, yaitu Sagu Molat (2010), Sagu Selat Panjang Meranti (2013), Sagu Bestari (2017) dan Sagu Tana Luwu (2022),” imbuhnya lagi.

Hengky juga menambahkan, kebijakan prioritas tanaman lokal juga sangat diperlukan untuk mendukung pengelolaan sagu menjadi lebih optimal karena diperlukan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.

“Dukungan infrastruktur di Papua juga diperlukan untuk menghubungkan area hutan sagu dengan area bisnis. Serta menerapkan model manajemen sagu untuk menyediakan dan menjamin ketersediaan pangan lokal jangka panjang,” urai Hengky.

Memerah dan membilas serbuk sagu. (Wibowo Djatmiko/Wikimedia Commons)

Lebih lanjut Hengky menjelaskan, pembangunan perkebunan sagu yang terintegrasi dengan permukiman dan lahan-lahan produktif lainnya juga dibutuhkan. Menurutnya, model agroindustri sagu di Sulawesi Selatan sangat ideal untuk diterapkan, karena dapat menjamin ketersediaan tanaman induk yang diintegrasikan dengan kolam ikan serta budidaya ternak dalam satu area.

Baca Juga: Tak Hanya Pangan, Sagu Dapat Digunakan untuk Plastik hingga Kosmetik

Inovasi lain untuk pemanfaatan sagu ditawarkan oleh Fitri Nur Kayati, peneliti dari Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN. Menurut Fitri, sagu adalah alternatif sumber karbohidrat yang dapat menjadi pangan fungsional.

“Sagu kaya akan kandungan karbohidrat, kalsium, iron, tinggi serat, dan rendah gula, sehingga cocok untuk makanan diet. Sagu dapat diubah menjadi produk beras artifisial yang dicampur dengan beras coklat ataupun diolah menjadi bentuk pasta maupun mi," papar Fitri.

"Produk berbasis sagu ini kaya akan nutrisi karena rendah gula dan kaya serat. Bahkan indeks glikemik sagomee hanya berkisar 47,16 dibanding mie berbahan terigu yang mencapai 95,51,” jelasnya.

Produk sagu lainnya juga dapat diolah menjadi pati sagu pragelatinisasi. Produk modifikasi tepung sagu ini sebagai bahan pembantu untuk memformulasi makanan olahan. Fungsinya untuk memperbaiki tekstur kekentalan dari produk makanan sebagai bahan pengikat.

“Jenisnya ada dua, yaitu partial pregelatinized starch dengan teknologi twin screw extruder dan jenis fully pregelatinized starch dengan teknologi drum drier. Sebenarnya pemanfaatan sagu untuk diolah menjadi pangan nasional masih banyak variasinya, misalnya diolah menjadi tepung instan dan dextrin. Dextrin ini berfungsi untuk mengatur kekentalan dalam industri kuliner.”

Sementara itu peneliti dari Pusat Riset Agroindustri BRIN, Yanuar Sigit Pramana, menerangkan dirinya bersama tim telah menghasilkan beberapa riset dan inovasi terkait pengolahan sagu. Di antaranya drilling starch, sodium starch glycolate, microcrystalline cellulose, dietary fiber, sago artificial race, partial pregelatinized sago starch, hydroxyproline sago starch, dan bio-ethanol.

“Drilling starch ini diaplikasikan dalam industri minyak dan gas, khususnya dalam bidang pengeboran cairan (lumpur berbahan dasar air). Fungsi pengeboran pati ini untuk pengendalian kehilangan cairan untuk menjaga stabilitas lubang sumur dan mencegah ledakan. Saat ini hasil riset ini telah siap uji lapangan di pengeboran sumur Elnusa-Pertamina,” terang Yanuar.

Sementara itu, sodium starch glycolate berfungsi untuk membantu penghancuran tablet, sehingga dapat larut dengan cepat setelah konsumsi. Adapun selulosa mikrokristalin dalam industri farmasi berfungsi sebagai pengikat dan pengisi dalam formulasi tablet dan dalam industri makanan berfungsi sebagai anti-caking agent, lemak pengganti, penstabil, dan pengental.

“Pengolahan sagu juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan etanol berbahan dasar hayati. Etanol diperoleh akibat proses fermentasi yang melibatkan gula," ucap Yanuar.

"Teknologi fermentasi ini dapat menghasilkan etanol dengan konsentrasi lebih dari 16%. Sementara dengan metode konvensional fermentasi hanya dapat menghasilkan sekitar 10% etanol. Jadi hasilnya bisa lebih optimal."