Sejarah Perang Dunia II: Saat Warga London Hidup di Bawah Bayang-Bayang

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 27 Juli 2024 | 08:03 WIB
Warga London hidup di bawah bayang-bayang saat peristiwa The Blitz dalam sejarah Perang Dunia 2. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Menengok kehidupan warga London saat hidup di bawah bayang-bayang dalam sejarah Perang Dunia 2. Ketika Inggris dibombardir Jerman dan Italia selama 9 bulan.

Inggris dibombardir Jerman dan Italia pada 7 September 1940 hingga Mei 1941. Peristiwa itu nantinya dikenal dengan sebutan The Blitz atau London Blitz.

Selama peristiwa tersebut, warga Inggris harus hidup dalam bayang-bayang dan penuh ketakutan. Mereka bersembunyi di penampungan-penampungan bawah tanah atau yang disebut shelter.

Warga sipil harus menanggung banyak hal bahkan sebelum pengeboman dimulai. Pemadaman listrik diberlakukan, sehingga tidak ada lampu yang tidak penting yang boleh dinyalakan di malam hari karena dapat berbahaya.

Ada ketakutan nyata bahwa bom gas akan digunakan, sehingga setiap orang didorong untuk membawa masker gas.

Perang Palsu, periode tidak adanya aktivitas militer di Inggris antara September 1939 dan musim semi 1940, membawa rasa aman yang palsu, tetapi Luftwaffe (angkatan udara) Jerman mengubah itu semua.

Ratusan ribu anak dievakuasi dari kota-kota, termasuk ibu kota tempat satu juta anak dievakuasi.

Anak-anak muda dievakuasi ke daerah pedesaan yang aman, tetapi perpisahan dari orang tua dan lingkungan yang sudah dikenal terbukti traumatis bagi banyak orang.

Seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan J. Hale: "Pada bulan Januari 1940 sekitar setengah dari semua anak dan sembilan dari sepuluh ibu telah kembali ke rumah lama mereka."

Meskipun demikian, ketika pengeboman dimulai, kebijakan evakuasi resmi tetap dilanjutkan.

Pesawat pengebom Luftwaffe dan Angkatan Udara Italia menjatuhkan bom peledak dan pembakar, jenis pertama untuk menghancurkan bangunan dan yang kedua untuk membakar reruntuhan.

Baca Juga: London Blitz, Ketika Inggris Luluh Lantak dalam Sejarah Perang Dunia II

Memang Inggris memiliki sistem pertahanan udara terpadu, Sistem Dowding, yang memantau pesawat yang datang dan mengirim pesawat tempur untuk mencegat seperti Supermarine Spitfire.

Akan tetapi banyak pesawat pengebom yang berhasil lolos untuk mengirimkan muatan mematikan mereka.

Dalam Pertempuran Inggris, Luftwaffe bertujuan untuk menghancurkan Angkatan Udara Kerajaan (RAF), baik di udara maupun di darat, sementara tujuan sekundernya adalah untuk meneror penduduk sipil.

Ketika Luftwaffe mulai kalah dalam pertempuran , maka ia lebih berkonsentrasi pada target sipil.

Sebagian besar serangan dilakukan pada malam hari karena kegelapan adalah perlindungan terbaik bagi pesawat pengebom Jerman terhadap pesawat tempur dan senjata antipesawat.

Para pengebom dipandu oleh radar ke target mereka, tetapi pemboman tetap sangat tidak akurat sehingga bahkan ketika bangunan-bangunan strategis seperti pabrik menjadi target, biasanya ada kerusakan besar pada wilayah sipil.

London pertama kali dibom pada tanggal 24 Agustus 1940 sebagai balasan terhadap Inggris yang salah melakukan pengeboman ke Jerman.

Para pengebom seharusnya menyerang terminal minyak tetapi secara keliru mengenai wilayah sipil di Jermah.

Hal itu memicu Jerman menyerang balik wilayah sipil Inggris. Kondisi itu meningkat menjadi kengerian yang tak terbayangkan.

Pengeboman sistematis London dimulai pada tanggal 7 September 1940 dan berlanjut hingga pertengahan Mei 1941. Pers Inggris menyebut kampanye ini "Blitz".

Raja George VI dan Ratu Elizabeth di tengah reruntuhan dampak London Blitz dalam sejarah Perang Dunia 2. (Imperial War Museums/Creative Commons)

Tempat Penampungan Komunitas

Inggris memperkirakan akan ada serangkaian serangan bom ke wilayah London. Kengerian perang udara modern telah ditunjukkan dengan sangat jelas dalam Perang Saudara Spanyol (1936-39).

Pada saat itu Luftwaffe secara aktif melakukan pengeboman. Seorang warga London, Tn. Overlander, menjelaskan:

Mereka memperkirakan akan ada banyak sekali korban sipil yang meninggal. Semua sekolah dan taman bermain diubah menjadi kamar mayat darurat dengan tandu dan semacamnya untuk menaruh mayat.

Sementara warga London hidup di bawah bayang-bayang, bersembunyi di bawah tanah. Hidup dalam kegelapan menghindari bom Jerman dan Italia sepanjang sejarah Perang Dunia 2.

Pemerintah Inggris membuat kebijakan bahwa tempat perlindungan masyarakat memang diperlukan. Tapi tidak boleh mengumpulkan banyak orang di satu tempat, karena akan mengakibatkan lebih banyak korban di tempat bom jatuh.

Bahkan ada buklet pemerintah, The Protection of Your Home Against Air Raids, yang mendorong orang untuk membuat 'ruang perlindungan' di rumah, ruang bawah tanah, atau gudang batu bara mereka.

Konsekuensi dari kebijakan ini adalah bahwa pemerintah daerah didelegasikan untuk membangun dan mengatur tempat perlindungan umum.

Ruang Bawah Tanah

Warga London dengan cepat memahami bahwa stasiun bawah tanah London Tube adalah tempat yang aman untuk menghindari serangan udara.

Memang, jaringan bawah tanah tersebut pernah menjadi tempat berlindung selama serangan udara pada Perang Dunia Pertama (1914-1918).

Pemerintah tidak mendukung hal ini karena dapat mengganggu jalannya kereta api, tetapi keinginan rakyat membuat hal itu tak terbendung karena ribuan orang berkumpul di setiap stasiun setiap malam.

Orang harus membawa perlengkapan tidur sendiri, ada banyak kebisingan dari obrolan dan anak-anak berlarian.

Sementara itu, sanitasi sangat terbatas, tetapi hal ini tidak menyurutkan minat lebih dari 150.000 orang (sekitar 4% dari populasi London) yang memilih untuk bermalam di stasiun.

Bahkan kereta bawah tanah pun tak luput dari kerusakan akibat bom. Stasiun Sloane Square terkena bom pada 12 November dan 37 orang tewas.

Pada 11 Januari, tercatat dalam sejarah Perang Dunia 2 sebuah bom menghantam ruang tunggu di Stasiun Bank.

Bom tersebut menyebabkan eskalator runtuh dan gelombang ledakan menyapu orang-orang yang berlindung di peron di bawah ke jalur kereta. Sebanyak 111 orang tewas dalam insiden itu.