Sejarah Dunia: Apa Alasan Sebenarnya Marie Antoinette Dieksekusi?

By Ade S, Minggu, 28 Juli 2024 | 14:03 WIB
Sejarah dunia diwarnai kisah tragis Marie Antoinette. Apa alasan sebenarnya ratu cantik ini dieksekusi? Temukan jawabannya di sini! (Unknown)

Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa sosok selegendaris Marie Antoinette harus mengalami nasib tragis di ujung pisau guillotine?

Kisahnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dunia, namun banyak misteri yang masih belum terpecahkan. Eksekusi sang ratu Prancis ini seringkali dijadikan simbol kekejaman Revolusi Prancis.

Namun, apakah eksekusinya benar-benar dibenarkan? Melalui artikel ini, kita akan mencoba mengungkap kebenaran di balik peristiwa bersejarah tersebut.

Jatuhnya bidadari Versailles

Marie Antoinette tiba di Prancis sebagai seorang putri muda dari Austria. Keanggunan dan pesonanya secara alami memikat hati rakyat Prancis. Namun, seiring berjalannya waktu, reputasinya ternoda oleh berbagai skandal, sebagian benar dan sebagian lagi tidak.

Beberapa faktor berkontribusi terhadap kematian Marie Antoinette. Ada yang disebabkan oleh tindakannya sendiri, namun ada pula yang di luar kendalinya.

Sebagai contoh, suami Marie Antoinette, Louis, secara fisik tidak mampu melakukan hubungan seksual dengannya hingga menjalani prosedur medis ringan, sehingga pernikahan mereka tidak menghasilkan keturunan selama delapan tahun pertama.

Frustasi, Marie Antoinette melarikan diri ke dalam kehidupan yang penuh kesia-siaan, menari, berjudi, dan menghabiskan uang untuk fesyen, untuk menghindari menghadapi masalah perkawinannya. Tentu saja, hal ini tidak membuatnya disukai oleh rakyatnya.

Faktor lain yang membuat Marie Antoinette dibenci di kalangan rakyat adalah fitnah kejam. Persahabatannya dengan perempuan-perempuan lain diputarbalikkan menjadi hubungan lesbian, dan ia bahkan dituduh melakukan inses.

Maka tidak heran ketika Revolusi Prancis pecah, Marie Antoinette menjadi salah satu sasaran utama kemarahan rakyat. Ia dianggap sebagai simbol kemewahan dan kebejatan aristokrasi yang telah menindas mereka. Meskipun ada banyak faktor yang menyebabkan revolusi, sosok Marie Antoinette menjadi kambing hitam yang sempurna.

"Ketika kematian Marie Antoinette terjadi pada tahun 1793, ia adalah wanita yang paling dibenci di Prancis," ungkap Lauren Nitschke di laman The Collector.

Baca Juga: Benarkah Hobi Belanja Ratu Prancis Marie Antoinette Memicu Revolusi?

Skandal kalung berlian

Skandal Kalung Berlian adalah salah satu titik balik dalam kehidupan Marie Antoinette, Ratu Prancis. Skandal ini tidak hanya mencoreng namanya, tetapi juga menjadi salah satu pemicu utama Revolusi Prancis. Meskipun Ratu tidak terlibat langsung dalam penipuan ini, namun reputasinya yang sudah tercoreng semakin terpuruk.

Kisah ini bermula dari sebuah kalung berlian mewah yang dibuat khusus untuk Madame du Barry, selir Raja Louis XV. Namun, sebelum kalung itu sempat dipakai, Raja Louis XV meninggal dunia. Para perajin perhiasan, yang terdesak oleh utang, kemudian mencoba menjual kalung tersebut kepada Marie Antoinette. Sayangnya, Ratu menolak tawaran itu.

Di saat yang bersamaan, seorang wanita licik bernama Comtesse de la Motte menyusun rencana jahat. Pada 1785, ia meminta seorang pekerja seks komersial untuk menyamar sebagai Ratu dan bertemu dengan Kardinal de Rohan, seorang tokoh gereja yang sangat ingin memulihkan hubungan baiknya dengan keluarga kerajaan.

Comtesse meyakinkan Kardinal bahwa jika ia membeli kalung berlian tersebut, maka dukungan kerajaan akan dipulihkan. Terpedaya oleh tipuan itu, Kardinal pun setuju untuk membeli kalung tersebut secara mencicil.

Ketika Kardinal gagal membayar angsuran pertama, rahasia pun terbongkar. Skandal ini menggemparkan seluruh Prancis. Meskipun Marie Antoinette terbukti tidak bersalah, namun publik sudah terlanjur percaya bahwa Ratu terlibat dalam penipuan ini. "Citranya sebagai seorang ratu yang boros dan hidup mewah semakin melekat padanya," papar Nitschke.

Skandal Kalung Berlian pun akhirnya menjadi salah satu faktor yang semakin menjauhkan rakyat dari keluarga kerajaan. Kepercayaan rakyat terhadap monarki semakin terkikis, dan hal ini menjadi salah satu pemicu utama Revolusi Prancis.

Serbuan Versailles

Tanggal 5 Oktober 1789 menjadi tonggak sejarah yang tak terlupakan dalam Revolusi Prancis. Pada hari itu, kemarahan rakyat Paris mencapai puncaknya. Kelangkaan roti yang parah dan desas-desus pesta mewah di Istana Versailles telah memicu kemarahan massa.

Beribu-ribu perempuan, yang merupakan tulang punggung keluarga, berbaris menuju Versailles. Mereka menuntut agar keluarga kerajaan kembali ke Paris. Kemarahan mereka semakin membara ketika mengetahui bahwa sementara rakyat kelaparan, keluarga kerajaan justru hidup bergelimang kemewahan.

Kerumunan 7.000 orang berkumpul di luar istana dan menuntut agar keluarga kerajaan kembali ke Paris. "Sebuah tuntutan yang dengan enggan disetujui oleh raja, jelas Nitschke. Ratu dan keluarganya ditempatkan di bawah tahanan rumah di Tuileries; kematian Marie Antoinette baru akan terjadi empat tahun setelah peristiwa ini.

Baca Juga: Awas! Rambut Memutih Dalam Semalam Karena Sindrom Marie Antoinette

Upaya melarikan diri yang sia-sia

Dalam upaya putus asa untuk menyelamatkan diri dari revolusi yang semakin mengamuk, keluarga kerajaan Prancis mencoba melarikan diri dari Paris pada 20 Juni 1791. Dengan bantuan Count Axel de Fersen, seorang bangsawan Swedia yang setia kepada Ratu Marie Antoinette, mereka menyusun rencana pelarian yang rumit.

Menyamarkan identitas mereka, keluarga kerajaan mencoba melarikan diri menuju Negara Bagian Austria Belanda. Namun, sebuah kesalahan fatal dalam perencanaan menggagalkan upaya mereka. Marie Antoinette, yang begitu menginginkan keluarga tetap bersama, bersikeras agar mereka melakukan perjalanan dalam satu kereta yang besar dan lambat.

"Keputusan ini terbukti fatal, karena kereta tersebut tidak dapat bergerak secepat yang direncanakan dan mereka kehilangan kontak dengan pengawal yang seharusnya melindungi mereka," ungkap Nitschke.

Sementara itu, kabar tentang pelarian keluarga kerajaan telah menyebar dengan cepat. Garda Nasional, yang bertugas menjaga keamanan Paris, segera melakukan pengejaran. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, keluarga kerajaan akhirnya tertangkap dan dipaksa kembali ke Paris.

Perjalanan kembali ke Paris menjadi mimpi buruk bagi keluarga kerajaan. Cuaca yang panas dan kelelahan fisik membuat perjalanan mereka semakin menderita. Namun, meskipun memiliki kesempatan untuk melarikan diri, baik Raja Louis XVI maupun Ratu Marie Antoinette menolak untuk meninggalkan satu sama lain. Mereka memilih untuk menghadapi nasib mereka bersama-sama.

Penangkapan keluarga kerajaan di rumah petugas paspor di Varennes pada malam tanggal 21–22 Juni 1791, oleh Thomas Falcon Marshall, 1854. (Thomas Falcon Marshall)

Hari-hari terakhir di balik tembok penjara

Setelah kegagalan pelariannya, Marie Antoinette dibawa kembali ke Paris dan ditahan di Istana Tuileries. Di tengah penderitaan yang menimpanya, sang ratu tetap berusaha mempertahankan martabatnya.

Sikap anggunnya yang terpancar bahkan di tengah kesengsaraan ini menarik perhatian banyak orang. Namun, ada pula yang menganggap sikapnya tersebut sebagai tanda kesombongan.

Tak lama kemudian, kondisi Marie Antoinette semakin memburuk. Ia dipindahkan ke Menara Kecil Temple, sebuah penjara yang menjadikannya tahanan politik. Meskipun hidupnya penuh keterbatasan, ia masih diperbolehkan menikmati beberapa kemewahan seperti makanan lezat, pakaian bagus, dan buku-buku. Namun, kemewahan ini tak mampu meredam rasa takut dan kesepian yang ia rasakan.

Baca Juga: Kisah Ratu Marie Antoinette yang Dieksekusi Saat Revolusi Prancis

Kekejaman Revolusi Prancis semakin nyata ketika sahabat terdekatnya, Putri de Lamballe, dibunuh secara brutal. Kepala sahabatnya dipamerkan di luar jendela selnya. Tragedi ini menjadi pukulan telak bagi Marie Antoinette. "Ia mengalami syok yang sangat mendalam dan menangis sepanjang malam," jelas Nitschke.

Penderitaan Marie Antoinette belum berakhir. Ia dan keluarganya kemudian dipindahkan ke Menara Besar Temple pada Oktober 1792. Meskipun kondisinya masih lebih baik dibandingkan dengan tahanan lainnya, namun kebebasan yang pernah ia nikmati telah sirna. Kehidupan di balik tembok penjara semakin menyempitkan ruang geraknya.

Puncak penderitaan datang ketika suaminya, Raja Louis XVI, dieksekusi mati pada 20 Januari 1793. Perpisahan terakhir dengan sang raja menjadi momen yang paling menyayat hati dalam hidupnya. Marie Antoinette menyadari bahwa ajalnya pun takkan lama lagi.

Potret Marie Antoinette tahun 1784 bersama dua anak tertuanya, Marie-Thérèse Charlotte dan Dauphin Louis Joseph, di taman Petit Trianon, oleh Adolf Ulrik Wertmüller. (Adolf Ulrik Wertmüller)

Senja sang ratu yang terbuang

Marie Antoinette, yang dulu dikenal sebagai ratu yang anggun dan berkuasa, kini hanya tinggal bayangan dirinya sendiri. Gelar "Ratu Prancis" digantikan oleh sebutan sinis "Janda Capet", sebuah pengingat akan kejatuhannya yang tragis. Usianya baru 37 tahun, namun penderitaan yang dialaminya telah menuakannya jauh di luar usianya.

Penyakit dan kesedihan telah menggerogoti tubuhnya. Rambutnya memutih, tubuhnya kurus kering, dan matanya memancarkan kesedihan mendalam.

Kematian suaminya membuatnya dalam keadaan melankolis yang mendalam; yang tersisa sekarang hanyalah anak-anaknya. Putra tertuanya, Dauphin, meninggal karena tuberkulosis pada tahun Revolusi dimulai, dan salah satu putrinya meninggal saat bayi.

Ini meninggalkan dia dengan putra bungsunya, Louis Charles, dan putri sulungnya, Marie Thérèse. Mantan ratu Prancis itu mendapat pukulan lain ketika putranya Louis Charles dipisahkan darinya, dan sekali lagi ketika dia dipisahkan dari putrinya dan dibawa ke Conciergerie pada 2 Agustus 1793.

Setelah persidangan dua hari, Marie Antoinette dinyatakan bersalah atas pengkhianatan dan dijatuhi hukuman mati dengan guillotine. Sebelum persidangan ini, kebutuhan akan kematian Marie Antoinette telah diperdebatkan, tetapi sekarang diputuskan.

Pada 16 Oktober 1793, ia menuliskan wasiat dan kata-kata terakhirnya, di mana ia menulis: "Saya baru saja dijatuhi hukuman mati, bukan kematian yang memalukan, itu hanya bisa terjadi pada penjahat ... Saya tenang, seperti orang-orang yang memiliki hati nurani yang bersih. Penyesalan terdalam saya adalah harus meninggalkan anak-anak kita yang malang ... Saya hanya hidup untuk mereka..."

Baca Juga: Karya Patung Pertama Marie Tussaud Ialah Penggalan Kepala Bangsawan

Eksekusi Marie Antoinette

Hari-hari terakhir Marie Antoinette diwarnai kesunyian dan kepasrahan. Pagi hari eksekusinya, mantan ratu Prancis itu ditemukan tertidur di tempat tidur, wajahnya tenang namun memantulkan kesedihan mendalam. Ia menolak makanan dan hanya mengenakan gaun hitam sederhana.

Persiapan eksekusi dilakukan dengan cepat dan tanpa belas kasihan. Rambutnya yang indah digunting pendek, dan ia dipaksa mengenakan pakaian putih polos pada pukul 8 pagi. Tangannya diikat di belakang, namun ia tetap menunjukkan keberanian yang luar biasa.

Saat dibawa menuju tempat eksekusi, ia harus menghadapi ejekan dan cacian dari massa. Namun, ia berjalan dengan tegak, kepala terangkat tinggi, menunjukkan martabat seorang ratu hingga akhir hayatnya.

Di Place de la Concorde, tempat eksekusinya, Marie Antoinette secara tidak sengaja menginjak kaki algojo. Dengan sopan, ia meminta maaf. Kata-kata terakhirnya, "Saya tidak sengaja melakukannya," menjadi bukti bahwa bahkan dalam momen-momen terakhirnya, ia tetap menunjukkan kesopanan dan kebaikan hati.

"Mantan ratu Prancis kehilangan kepalanya 15 menit setelah lewat tengah hari. Kematian Marie Antoinette kini telah selesai," jelas Nitschke.

Madame Tussaud berhasil membuat patung lilin wajah Marie Antoinette sementara penggali kubur duduk untuk makan siang mereka. Itu telah ditinggalkan di rumput, bersama dengan tubuhnya. Baik kepala maupun tubuh dimakamkan di kuburan massal.

Baru 22 tahun kemudian, jenazah Marie Antoinette dan Raja Louis XVI dipindahkan ke Basilika Saint-Denis dan dimakamkan kembali dengan upacara keagamaan yang layak. Ini adalah sebuah pengakuan atas martabat mereka sebagai raja dan ratu Prancis, meskipun nyawa mereka telah melayang akibat revolusi yang kejam.