Kemudahan Akses Informasi dalam Genggaman untuk Kesiapsiagaan Bencana

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 30 Juli 2024 | 08:00 WIB
Kondisi rumah warga Desa Bulokerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang hancur akibat terbawa arus banjir bandang, Jumat (5/11/2021). Indonesia lebih sering diterpa bencana hidrometeorologi dari sebelumnya. Perubahan iklim menjadi penyebabnya. (KOMPAS.COM/ANDI HARTIK)

"Musim kemarau bukan berarti tidak ada hujan," terangnya di forum yang sama. Akan tetapi, hujan ekstrem harus diwaspadai karena jumlahnya meningkat. Di musim kemarau ini, hujan ekstrem melanda daerah, sehingga menyebabkan longsor seperti yang terjadi di Gorontalo dan Papua Tengah.

"Peningkatan [intensitas hujan] yang cukup signifikan dari waktu ke waktu, menjadikan alarm bagi kita bahwa harus mulai mewaspada perubahan-perubahan iklim yang terjadi," lanjutnya.

Anomali, atau keanehan fenomena alam, dari perubahan iklim semakin tampak. Ida menjelaskan bahwa siklon tropis seroja pada 2021 adalah salah satu contohnya. Pasalnya, siklon ini  adalah yang pertama menerpa daratan Indonesia, berdasarkan catatan BMKG.

Selain itu, perubahan iklim menyebabkan perbedaan musim di kawasan tertentu di Indonesia.  Dari pemantauan beberapa dekade terakhir, BMKG menyingkap ada tipe zona musim, yakni ekuatorial, lokal, dan monsunal.

Lahan yang terkena bencana longsor pada 1 Januari 2020 di Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Hampir sebagian besar kawasan Indonesia berada di zona monsunal, dengan periode kemarau dari Mei hingga Agustus. Lain halnya dengan tipe zona musim ekuatorial yang memiliki intensitas hujan lebih tinggi pada Agustus. Di waktu yang sama, intensitas hujan justru sangat tinggi pada tipe zona musim lokal, seperti Palu, pesisir timur Sulawesi Selatan, Seram, Sorong, dan Papua Tengah.

Mendapatkan informasi bencana dalam genggaman

Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) menyoroti petingnya telekomunikasi sebagai sistem peringatan bencana. Sejak 2022, negara-negara Uni Eropa mulai menggunakan peringatan publik akan bencana dengan teknologi SMS.

Yayasan Peta Bencana merasa, sistem peringatan seperti ini dapat diaplikasikan di Indonesia. Oleh karena itu, Nashin mengatakan pihaknya mengadopsi sistem ini dengan gabungan teknologi geospasial, kecerdasan buatan, dan kearifan lokal sebagai informasi bencana yang tepat waktu.

Notifikasi laporan bencana ini dihadirkan secara sederhana melalui aplikasi sosial WhatsApp yang dapat diakses masyarakat. 

"Dengan memanfaatkan jaringan ponsel yang kita semua kantongi, kita dapat memastikan bahwa setiap penduduk mendapat informasi dan siap untuk beradaptasi dengan pola cuaca yang semakin tidak menentu. Layanan ini merupakan tonggak penting dalam upaya pengurangan risiko bencana di Indonesia," ujar Nashin.

Baca Juga: Inilah Penyebab Peristiwa Alam Berubah Menjadi Bencana Alam