Kemudahan Akses Informasi dalam Genggaman untuk Kesiapsiagaan Bencana

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 30 Juli 2024 | 08:00 WIB
Kondisi rumah warga Desa Bulokerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang hancur akibat terbawa arus banjir bandang, Jumat (5/11/2021). Indonesia lebih sering diterpa bencana hidrometeorologi dari sebelumnya. Perubahan iklim menjadi penyebabnya. (KOMPAS.COM/ANDI HARTIK)

Nationalgeographic.co.id—Hujan lebat melanda Sumatra Barat pada Jumat, 14 Juli 2023. Saat itu, saya dalam penugasan. Saya tidak menyangka curah hujannya sangat ekstrem, padahal beberapa hari sebelumnya cuacanya sangat cerah dan bersuhu panas. Yang saya tahu, Indonesia seharusnya tengah menghadapi El Nino yang "menambah daya" musim kemarau.

Saking lebatnya, hujan menyebabkan tanah longsor menutup jalan yang menghubungkan Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan. Kuburan di Kota Padang pun sampai terbongkar, menyebabkan 13 mayat keluar dari makam.

Sementara, saya sedang di Alahan Panjang, Solok, menanti penampakan indah Danau Ateh dan Danau Bawah di tengah cuaca cerah. Celakanya, kabut menutupi pandangan hingga tengah hari bersama hujan.

Periode El Nino seharusnya berangsur-angsur netral pada pertengahan tahun ini. Akan tetapi, cuaca justru tidak ditebak di Indonesia. Maret 2024, Sumatra Barat lagi-lagi menghadapi hujan dengan intensitas sedang, tetapi tetap menyebabkan longsor dan terputusnya pelbagai jalan antarkota.

Ketika musim kemarau, kita berada di bawah bayang-bayang kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan laporan SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2023, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia setara dengan 18 kali luas Jakarta, atau sekitar 1,16 juta hektare.

Perubahan iklim yang mengacaukan siklus musim Indonesia

Juli ini, angin monsun timur telah membawa musim kemarau kembali. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kebakaran hutan terjadi, seperti di Aceh, Sumatra Selatan, dan Jawa Timur.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan 95 persen potensi bencana setiap tahunnya mengintai Indonesia. Biasanya potensi ini terjadi pada peralihan musim.

Akan tetapi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan adanya kenaikan jumlah kebencanaan setiap tahunnya. Pada tahun lalu, jumlah bencana alam meningkat 39,39 persen, yakni sebanyak 5.400 bencana. Dengan kata lain, setiap 90 menit terjadi satu bencana di negeri ini.

"Bencana terkait perubahan iklim telah menjadi semakin sering terjadi dan semakin parah, sehingga menimbulkan tantangan yang signifikan di seluruh negeri," kata Nashin Mahtani, Direktur Peta Bencana dalam diskusi diskusi H"ujan di Musim Kemarau: Pentingnya Notifikasi Real-time bagi Masyarakat," pada 29 Juli 2024.

Perubahan iklim mendorong siklus iklim dan cuaca di Indonesia semakin sulit ditebak. Ida Pramuwardani, Ketua Tim Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG, menyebut bahwa hujan terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Baca Juga: Apa Saja Dampak dari Bencana Alam Terhadap Kehidupan Manusia?

"Musim kemarau bukan berarti tidak ada hujan," terangnya di forum yang sama. Akan tetapi, hujan ekstrem harus diwaspadai karena jumlahnya meningkat. Di musim kemarau ini, hujan ekstrem melanda daerah, sehingga menyebabkan longsor seperti yang terjadi di Gorontalo dan Papua Tengah.

"Peningkatan [intensitas hujan] yang cukup signifikan dari waktu ke waktu, menjadikan alarm bagi kita bahwa harus mulai mewaspada perubahan-perubahan iklim yang terjadi," lanjutnya.

Anomali, atau keanehan fenomena alam, dari perubahan iklim semakin tampak. Ida menjelaskan bahwa siklon tropis seroja pada 2021 adalah salah satu contohnya. Pasalnya, siklon ini  adalah yang pertama menerpa daratan Indonesia, berdasarkan catatan BMKG.

Selain itu, perubahan iklim menyebabkan perbedaan musim di kawasan tertentu di Indonesia.  Dari pemantauan beberapa dekade terakhir, BMKG menyingkap ada tipe zona musim, yakni ekuatorial, lokal, dan monsunal.

Lahan yang terkena bencana longsor pada 1 Januari 2020 di Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Hampir sebagian besar kawasan Indonesia berada di zona monsunal, dengan periode kemarau dari Mei hingga Agustus. Lain halnya dengan tipe zona musim ekuatorial yang memiliki intensitas hujan lebih tinggi pada Agustus. Di waktu yang sama, intensitas hujan justru sangat tinggi pada tipe zona musim lokal, seperti Palu, pesisir timur Sulawesi Selatan, Seram, Sorong, dan Papua Tengah.

Mendapatkan informasi bencana dalam genggaman

Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) menyoroti petingnya telekomunikasi sebagai sistem peringatan bencana. Sejak 2022, negara-negara Uni Eropa mulai menggunakan peringatan publik akan bencana dengan teknologi SMS.

Yayasan Peta Bencana merasa, sistem peringatan seperti ini dapat diaplikasikan di Indonesia. Oleh karena itu, Nashin mengatakan pihaknya mengadopsi sistem ini dengan gabungan teknologi geospasial, kecerdasan buatan, dan kearifan lokal sebagai informasi bencana yang tepat waktu.

Notifikasi laporan bencana ini dihadirkan secara sederhana melalui aplikasi sosial WhatsApp yang dapat diakses masyarakat. 

"Dengan memanfaatkan jaringan ponsel yang kita semua kantongi, kita dapat memastikan bahwa setiap penduduk mendapat informasi dan siap untuk beradaptasi dengan pola cuaca yang semakin tidak menentu. Layanan ini merupakan tonggak penting dalam upaya pengurangan risiko bencana di Indonesia," ujar Nashin.

Baca Juga: Inilah Penyebab Peristiwa Alam Berubah Menjadi Bencana Alam

Sejak ribuan tahun lamanya, masyarakat tradisional kita membaca perkiraan cuaca berdasarkan kearifan lokal. Pengetahuan ini pun juga harus dimanfaatkan, ketika data dan laporan perkiraan cuaca dapat mudah diakses masyarakat. Dipermudah dengan teknologi kecerdasan buatan, masyarakat jadi lebih mudah mengantisipasi kemunculan bencana.

Kemudahan mendapatkan pemberitahuan laporan bencana dari ponsel genggam ini juga merupakan cara inklusivitas, supaya data tidak hanya dapat diakses profesional saja. 

Kepala BMKG Dwikorita Karnwati berpendapat, keberhasilan peringatan bencana dapat diukur dari berkurangnya "kesenjangan" antara informasi dan kemampuan masyarakat untuk bertindak cepat dan tepat.

"Perpaduan antara modernisasi alat dan teknologi serta kearifan lokal dapat menjadi langkah yang efektif untuk meminimalisir dampak bencana yang terjadi di Indonesia," ujar Dwikorita.

Sahabat dapat mengakses informasi bencana dengan BencanaBot yang kini tersedia di WhatsApp, setelah menabahkan nomor pada kontak berikut: +62 858-4236-2262.

Untuk mendapatkan informasi, Sahabat dapat mengirimkan "mauinfo" pada kolom percakapan fitur BencanaBot. Sahabat juga dapat menjadi pelopor yang melaporkan kejadian bencana di sekitar dengan mengirim pada kolom percakapan "Report".