Para Pujangga Kerajaan Jawa Meromantisasi Kekaisaran Ottoman

By Muflika Nur Fuaddah, Minggu, 4 Agustus 2024 | 15:00 WIB
Ilustrasi Ranggawarsita. Beberapa pujangga pada era pasca-Dinasti Mataram menggambarkan hubungan erat antara Turki Utsmani dan Jawa. (wikipedia)

Pangeran Diponegoro sendiri dalam perjuangannya selama Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajah Belanda mengadopsi sistem organisasi militer modern Turki Utsmaniyah.

Dia mengadopsi nama-nama unit militer Sultan Utsmaniyah.

Ada 14 unit dalam pasukan Diponegoro, beberapa di antaranya mengadopsi dari Turki, termasuk Bulkiya, Burjumuah, Turkiye, Harkiya, Larban, Nasseran, Pinilih, Surapadah, Sipuding, Jagir, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanangprang.

Sebagian dari hierarki pangkatnya menggunakan aksen Turki, termasuk Ali Basah (Ali Pasha), yang setara dengan komandan divisi, wet, yang setara dengan komandan brigade, dulah setara dengan komandan batalion, dan komandan kopi.

Mengingat hubungan masa lalu yang harmonis antara Indonesia dan Turki, tidak ada salahnya untuk mempertahankan persahabatan masa lalu ini.

Ini adalah bukti bahwa Islam dengan konsep ukhuwahnya telah menyatukan dua bangsa yang terpisah oleh jarak yang pendek.

Ini adalah kekuatan iman yang dapat melintasi daratan dan laut.

Respons terhadap Keruntuhan Kekhalifahan

Pada awal tahun 1920, Kekhalifahan Utsmaniyah memasuki babak baru.

Setelah Mustafa Kemal menguasai Turki, Turki diubah menjadi republik sekuler, dan tidak hanya itu, ia bahkan mengumumkan penghapusan Kekhalifahan Islam di Turki.

Peristiwa ini segera mengejutkan dunia Muslim dan mendapatkan tanggapan dari beberapa umat Islam.

Baca Juga: Bagaimana Ikaria Tundukkan Ottoman dan Jadi Negara Merdeka Terkecil dalam Sejarah Dunia?

Menanggapi keruntuhan Kekhalifahan, sebuah komite didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924, dipimpin oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua K.H.A. Wahab Hasbullah (salah satu pendiri N.U.).

Tujuannya adalah untuk membahas undangan ke kongres khilafah di Kairo.

Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan mengadakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada 24-27 Desember 1924.

Keputusan penting dari kongres ini adalah terlibat dalam gerakan khilafah dan mengirim utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Muslim.

Kongres ini memutuskan untuk mengirim delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (Syarikat Islam), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah), dan K.H.A. Wahab dari kalangan tradisional (N.U.).

Begitulah hubungan antara Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) dengan Nusantara.

Pasukan Turki datang ke Nusantara juga dengan tujuan berdakwah dan membangun persaudaraan di antara umat Islam.

Beberapa pujangga pada era pasca-dinasti Mataram menggambarkan hubungan erat antara Turki Utsmani dan Jawa yang turut membentuk keagungan Nusantara.***

Baca Juga: Mengapa Sultan Selim I Dijuluki Si Bengis di Kekaisaran Ottoman?