Panjat Tebing: Aktivitas Purba yang Menembus Panggung Olimpiade

By Ade S, Jumat, 9 Agustus 2024 | 10:03 WIB
Sejarah panjang panjat tebing dan perjalanannya menuju Olimpiade. Temukan bagaimana olahraga menantang ini berhasil menembus panggung dunia. (Shri ram)

Nationalgeographic.co.id—Dinding-dinding tebing yang menjulang tinggi sejak lama menjadi magnet bagi manusia yang haus akan tantangan.

Jauh sebelum Olimpiade menjadi ajang olahraga paling bergengsi di dunia, manusia telah memanjat tebing sebagai bentuk eksplorasi dan pembuktian diri.

Kini, panjat tebing tidak hanya menjadi aktivitas rekreasi semata, tetapi juga telah resmi diakui sebagai cabang olahraga dalam Olimpiade.

Perjalanan panjang panjat tebing dari sekadar hobi menjadi olahraga prestasi kelas dunia ini menyimpan kisah yang menarik untuk kita telusuri.

Aktivitas purba

Jauh sebelum panjat tebing menjadi olahraga ekstrem yang populer, manusia purba telah menunjukkan ketangguhan mereka dengan menaklukkan tebing-tebing terjal.

Di pegunungan Mustang, Nepal, misalnya, arkeolog menemukan kompleks pemakaman kuno yang hanya bisa diakses dengan memanjat dinding batu yang curam. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba telah memiliki kemampuan memanjat yang luar biasa sejak ribuan tahun lalu.

Tidak hanya di Nepal, di Barat Daya Amerika Serikat pun ditemukan bukti bahwa suku-suku asli telah menjadikan tebing-tebing mesa sebagai rumah mereka. Mereka membangun pemukiman di tempat-tempat yang sulit dijangkau, menunjukkan adaptasi yang luar biasa terhadap lingkungan alam.

"Kemampuan memanjat ini kemungkinan besar didorong oleh kebutuhan untuk bertahan hidup," papar Freddie Wilkinson di laman National Geographic. Mereka mungkin memanjat untuk mencari makanan, menghindari predator, atau sekadar mencari tempat yang aman untuk beristirahat.

Seiring berjalannya waktu, kegiatan memanjat mulai berevolusi menjadi sebuah olahraga. Pada awal abad ke-20, beberapa wilayah di Eropa, seperti Distrik Peak dan Lake di Inggris, wilayah Elbe Sandstone di Jerman Tenggara, dan Dolomites di Italia Utara, menjadi pusat perkembangan panjat tebing modern.

Para pendaki pionir di wilayah-wilayah ini mulai bereksperimen dengan peralatan panjat yang lebih canggih, seperti carabiner baja dan paku besi lunak.

Baca Juga: Jelang Ekspedisi Lima Negara Asia Tenggara, Eiger Jelajahi Nusantara

Debat abadi di dunia panjat tebing

Pernahkah Anda mendengar istilah "panjat bebas"? Mungkin Anda membayangkan seorang pendaki yang nekat mendaki tebing tanpa tali pengaman sama sekali, seperti yang kita lihat dalam film "Free Solo".

Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Panjat bebas, atau dalam bahasa Inggris disebut free climbing, adalah teknik pendakian di mana pendaki hanya mengandalkan kekuatan fisik dan teknik untuk mencapai puncak.

Tali pengaman memang tetap digunakan sebagai alat pengaman jika sampai terjatuh, namun tidak digunakan untuk membantu pendaki naik. Jadi, setiap gerakan yang dilakukan, setiap tarikan tangan dan kaki, sepenuhnya bergantung pada kemampuan pribadi pendaki.

Berbeda dengan panjat bebas, panjat bantuan, atau aid climbing, melibatkan penggunaan berbagai peralatan teknis seperti paku, kawat, dan alat bantu lainnya untuk membantu pendaki naik. Pendaki akan memasang peralatan ini di dinding tebing untuk menciptakan titik-titik pengungkit dan menarik diri mereka sendiri secara perlahan-lahan ke atas.

Perbedaan antara panjat bebas dan panjat bantuan telah memicu perdebatan sengit di kalangan pendaki sejak lama. Salah satu tokoh yang paling vokal dalam menyuarakan pentingnya panjat bebas adalah Paul Preuss, seorang pendaki Jerman yang hidup pada awal abad ke-20.

Dalam sebuah esai yang ia tulis pada tahun 1911, Preuss mengkritik penggunaan paku dalam pendakian. "Paku adalah bantuan darurat dan bukan dasar dari sistem pendakian," tulis Preuss yang memicu salah satu debat besar pertama komunitas tentang gaya.

Debat ini terus berlanjut hingga saat ini. Bagi sebagian pendaki, panjat bebas adalah bentuk pendakian yang paling murni dan menantang. Mereka melihat panjat bantuan sebagai bentuk "kecurangan", karena pendaki seolah-olah "membantu" diri mereka sendiri untuk mencapai puncak.

Namun, bagi pendaki lain, panjat bantuan adalah cara yang sah untuk menaklukkan tebing-tebing yang sangat sulit.

Pada dekade-dekade pertama abad ke-20, teknik dan pengetahuan panjat tebing berkembang pesat. Pendaki dari berbagai negara berlomba-lomba untuk menaklukkan tebing-tebing yang belum pernah didaki sebelumnya.

Periode ini sering disebut sebagai era keemasan panjat tebing. Beberapa pendakian terkenal pada masa itu antara lain pendakian pertama Ship Rock di New Mexico, Devils Tower di Wyoming, dan Walker Spur di Grandes Jorasses di Pegunungan Alpen Prancis.

Baca Juga: Panjat Tebing Makin Populer Tapi Jejak Kapurnya Dikritik Pelestari

Tari bebas di dinding batu

Di dunia panjat tebing, ada sekelompok pendaki yang lebih tertarik pada keindahan gerakan daripada sekadar mencapai puncak tertinggi. Mereka adalah para boulderer, para penari bebas di atas batu.

Bouldering, dalam bahasa sederhana, adalah seni memanjat tebing atau batu kecil tanpa menggunakan tali pengaman. Karena ketinggian yang tidak terlalu ekstrem, risiko jatuh pun relatif lebih kecil. Olahraga ini pertama kali populer di kawasan Fontainebleau, Prancis, pada pertengahan abad lalu.

Mengapa para pendaki tertarik pada bouldering? Jawabannya sederhana: kebebasan bergerak. Tanpa terbebani oleh tali atau peralatan pendakian lainnya, para boulderer bisa fokus sepenuhnya pada mengasah teknik dan kekuatan tubuh mereka. Setiap gerakan, setiap tarikan jari, dan setiap pijakan kaki menjadi sebuah tantangan tersendiri.

Salah satu tokoh penting dalam perkembangan bouldering adalah John Gill, seorang perwira angkatan udara sekaligus ahli matematika. Gill, yang tinggal di Colorado Springs, Amerika Serikat, berhasil membawa bouldering ke level yang baru.

Ia menggabungkan prinsip-prinsip pelatihan senam dengan teknik panjat, menciptakan gaya bouldering yang unik. Selain itu, Gill juga memperkenalkan penggunaan magnesium karbonat untuk menjaga tangan tetap kering saat memanjat.

"Sebuah inovasi yang hingga kini masih digunakan oleh para boulderer di seluruh dunia," terang Wilkinson.

Ilustrasi panjat dinding. (Lukas Prudil)

Lahirnya era baru di Yosemite

Lembah Yosemite, dengan dinding granitnya yang menjulang tinggi, telah lama menjadi arena pertempuran bagi para pendaki yang tak kenal lelah. Setelah Perang Dunia II, lembah ini menjadi saksi bisu lahirnya era baru dalam dunia panjat tebing.

Salah satu tokoh kunci dalam perkembangan panjat tebing di Yosemite adalah John Salathé, seorang imigran Swiss yang memiliki keahlian luar biasa dalam bidang pandai besi. Salathé mengembangkan jenis paku baru yang terbuat dari baja sangat keras.

Baca Juga: Mengenang Joe Brown, Pendaki Legendaris yang Wariskan Jalur Pendakian

Paku ini dirancang khusus untuk dapat ditancapkan pada retakan-retakan tipis di dinding granit Yosemite, lalu dicabut kembali tanpa mengalami kerusakan. Inovasi Salathé ini, bersamaan dengan penemuan alat pendaki mekanis dan hammock khusus yang dapat digunakan di dinding curam, membuka babak baru dalam sejarah panjat tebing.

Dengan peralatan baru yang lebih canggih ini, para pendaki mulai berani menaklukkan dinding-dinding granit yang sebelumnya dianggap mustahil. Tebing-tebing ikonik seperti Half Dome dan El Capitan, yang kini menjadi tujuan impian para pendaki di seluruh dunia, pertama kali didaki menggunakan teknik panjat bantuan pada era ini.

Ketika paku mulai digantikan

Selama lebih dari tujuh dekade, paku besi menjadi sahabat setia para pendaki. Dengan palu, paku-paku ini dengan mudah ditancapkan ke celah-celah batu, menjadi titik-titik pengaman yang krusial dalam setiap pendakian.

Namun, seiring berjalannya waktu, para pendaki mulai menyadari bahwa kebiasaan menancapkan paku ini memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.

Pada awal tahun 1970-an, tiga pendaki berpengaruh—Yvon Chouinard, Tom Frost, dan Doug Robinson—mulai menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh penggunaan paku.

Dalam katalog peralatan mereka, mereka dengan tegas menyatakan bahwa kebiasaan menancapkan paku berulang kali pada rute yang sama dapat merusak keindahan alam.

"Sebagai alternatif, mereka memperkenalkan penggunaan mur dan hexentrics—peralatan yang terbuat dari aluminium dan dirancang untuk dimasukkan ke dalam celah-celah alami pada batu," ungkap Wilkinson.

Lahirnya sport climbing

Selama bertahun-tahun, para pendaki bebas memiliki pandangan yang sangat kuat tentang bagaimana olahraga mereka harus dilakukan. Bagi mereka, panjat tebing adalah tentang mengandalkan kekuatan fisik dan mental semata untuk menaklukkan dinding batu. Penggunaan tali untuk berlatih gerakan sulit dianggap sebagai bentuk "kecurangan".

Namun, pada akhir tahun 1970-an, pandangan ini mulai berubah. Para pendaki mulai bereksperimen dengan teknik baru yang disebut hang-dogging. Teknik ini memungkinkan pendaki untuk berlatih gerakan sulit berulang-ulang dengan bantuan tali pengaman.

Baca Juga: EIGER dan FTPI DKI Kerja Sama Demi Tingkatkan Giat Panjat Tebing

Meskipun terdengar seperti "kecurangan", hang-dogging justru membantu para pendaki untuk menguasai gerakan-gerakan kompleks dan meningkatkan kemampuan mereka secara keseluruhan.

Di saat yang bersamaan, di kawasan Verdon Gorge, Prancis, para pendaki mulai mengembangkan pendekatan baru dalam merancang rute panjat. Mereka mulai memasang baut permanen di dinding tebing sebelum mencoba memanjatnya.

Teknik ini dikenal sebagai top-down atau bolt climbing. Dengan adanya baut permanen, pendaki bisa lebih fokus pada teknik memanjat tanpa perlu khawatir tentang memasang perlindungan sementara.

Perpaduan antara hang-dogging dan bolt climbing melahirkan disiplin baru dalam dunia panjat tebing yang disebut sport climbingSport climbing menawarkan pengalaman yang lebih terstruktur dan memungkinkan pendaki untuk mencoba rute-rute yang sangat menantang dengan tingkat risiko yang lebih rendah.

Sementara itu, gaya panjat tradisional, di mana pendaki memasang dan melepas perlindungan mereka sendiri saat memanjat, tetap populer di kalangan pendaki yang menyukai tantangan dan kebebasan yang lebih besar.

Ilustrasi panjat tebing. (Spencer Stewart)

Skala kesulitan

Bagaimana para pendaki mengukur tingkat kesulitan sebuah rute panjat? Ternyata, ada sistem yang sangat detail untuk itu. Dunia panjat tebing memiliki bahasa sendiri untuk menggambarkan betapa menantang sebuah rute, mulai dari yang paling mudah hingga yang paling ekstrem.

Bagi para boulderer, yang lebih fokus pada gerakan-gerakan pendek namun kompleks, skala kesulitan dimulai dengan huruf "V". Semakin tinggi angka di belakang huruf "V", semakin sulit rutenya.

Jadi, jika Anda melihat rute dengan label "V0", itu artinya rute tersebut cukup mudah untuk pemula. Namun, jika Anda menemukan rute dengan label "V16", bersiaplah untuk menghadapi tantangan yang sangat ekstrem!

Untuk panjat olahraga dan tradisional, skala kesulitannya sedikit berbeda. Kedua jenis panjat ini umumnya menggunakan skala yang dimulai dari angka 5. Misalnya, rute dengan tingkat kesulitan 5.7 dianggap sebagai rute dengan tingkat kesulitan sedang.

Baca Juga: Lomba Marathon dan Panjat Tebing Semarakkan Bangka Tengah Sport Tourism 2017

Semakin tinggi angkanya, semakin sulit pula rutenya. Selain itu, untuk membedakan tingkat kesulitan yang lebih spesifik, seringkali ditambahkan huruf seperti "a", "b", "c", atau "d" di belakang angka.

Panjat bantuan, yang melibatkan penggunaan peralatan untuk membantu pendaki naik, memiliki skala kesulitan yang berbeda lagi. Skala ini dimulai dengan huruf "A". Semakin tinggi angka di belakang huruf "A", semakin banyak bantuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan rute.

Selain tingkat kesulitan teknis, pendakian tradisional juga mempertimbangkan faktor risiko. Beberapa rute mungkin memiliki peringkat risiko seperti PG (Protection Quality), R (Runout), atau X (Extreme). Peringkat ini menunjukkan potensi bahaya jika terjadi jatuh.

Dari dinding kampus ke gym modern

Jauh sebelum gym panjat tebing menjadi tren seperti sekarang, para pendaki sudah mulai menemukan cara untuk melatih keterampilan mereka di lingkungan yang terkendali.

Sejak tahun 1939, sejumlah pendaki kreatif telah memanfaatkan dinding-dinding bangunan, terutama di kampus-kampus seperti Universitas Leeds dan Universitas Washington. Dinding batu alami ini menjadi semacam "gym" alami bagi para pendaki yang ingin berlatih.

Namun, revolusi sebenarnya dimulai pada tahun 1980-an ketika dinding panjat buatan pertama mulai diperkenalkan. Dinding-dinding ini, yang awalnya masih sangat sederhana, menjadi alternatif yang menarik bagi para pendaki yang tinggal di daerah perkotaan atau ingin berlatih tanpa harus pergi ke alam bebas.

Meskipun demikian, fasilitas panjat indoor pada masa itu masih jauh dari sempurna. Dinding dan pegangan yang kurang presisi, udara yang berdebu, serta penanda rute yang seadanya membuat pengalaman memanjat menjadi kurang menyenangkan.

Seiring berjalannya waktu, industri panjat tebing indoor berkembang pesat. Bermunculan perusahaan-perusahaan yang memproduksi dinding dan pegangan panjat dengan kualitas yang jauh lebih baik.

"Desain rute pun menjadi semakin kreatif dan menantang berkat para pembuat rute profesional," jelas Wilkinson. Alhasil, gym panjat tebing modern kini menawarkan pengalaman memanjat yang tak kalah seru dengan panjat tebing di alam bebas.

Menuju Olimpiade

Gym panjat tebing tidak hanya menjadi tempat berlatih, tetapi juga berperan penting dalam mendorong pertumbuhan panjat kompetitif sebagai olahraga terorganisir yang sah.

Kompetisi panjat tebing yang digelar secara internasional, seperti seri Piala Dunia IFSC, telah membuka jalan bagi masuknya panjat tebing ke dalam Olimpiade. Para atlet panjat tebing akhirnya bisa mewujudkan mimpi mereka untuk bertanding di ajang olahraga paling bergengsi di dunia.

Debut panjat tebing di Olimpiade Tokyo 2020 menampilkan tiga disiplin: bouldering, lead climbing, dan speed climbing, yang dipertandingkan untuk memperebutkan satu medali. Para atlet berharap agar kedepannya, setiap disiplin panjat tebing bisa dipertandingkan secara terpisah dan memiliki medali masing-masing.

Mimpi para atlet panjat tebing untuk dipertandingkan di Olimpiade akhirnya menjadi kenyataan. Dengan debutnya di Tokyo 2020, panjat tebing kini resmi menjadi cabang olahraga Olimpiade.

Kebangkitan big wall

Semangat kompetitif telah membawa panjat tebing ke tingkat yang baru, dengan munculnya berbagai kompetisi bergengsi di seluruh dunia. Namun, di sisi lain, terdapat kelompok pendaki yang memilih untuk mengejar tantangan yang jauh lebih besar dan kompleks: menaklukkan dinding-dinding granit raksasa.

Lembah Yosemite, dengan dinding-dinding ikonik seperti El Capitan, menjadi saksi bisu dari kebangkitan kembali panjat tebing dinding besar pada awal tahun 2000-an.

Dipimpin oleh para pendaki ulung seperti Tommy Caldwell dan saudara kembar Alex dan Thomas Huber, generasi baru pendaki ini berhasil membuka rute-rute baru yang sangat menantang, dengan tingkat kesulitan yang sebelumnya dianggap mustahil.

Para pendaki ini menggabungkan kekuatan fisik dan teknik yang mereka asah dari panjat olahraga dengan pengalaman dan pengetahuan dalam panjat tradisional.

Hasilnya? Muncullah rute-rute baru dengan tingkat kesulitan 5.13 dan 5.14, yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan. Prestasi mereka menginspirasi generasi pendaki berikutnya untuk berani bermimpi lebih besar.

Sisi menariknya adalah, rute-rute ekstrem ini ternyata tidak hanya bisa dinikmati oleh segelintir pendaki elit. Berkat perkembangan teknik dan peralatan, semakin banyak pendaki yang mampu menaklukkan dinding-dinding raksasa ini.

Seperti yang diamati Caldwell, "banyak pendakian dalam ruangan gaya baru—dengan gerakan dinamis besarnya—sebenarnya diterjemahkan dengan cukup baik ke dinding granit besar, di mana bagian tersulit cenderung berupa peregangan pendek antara pegangan atau sistem retakan."

Batu perawan

Popularitas panjat tebing meroket seiring dengan menjamurnya gym panjat tebing komersial. Namun, hal ini juga berdampak pada area panjat tebing alam. Banyak area panjat yang popular menjadi semakin padat, sehingga para pecinta petualangan mencari area panjat yang belum terjamah.

Kabar baiknya, wilayah luas di dunia ini belum dieksplorasi secara sistematis oleh para pendaki.

"Anda tidak bisa hanya pergi keluar dan menemukan Gunung Everest lainnya," kata pendaki dan penjelajah National Geographic Mike Libecki, "tetapi mungkin beberapa bidang bouldering atau tebing panjat olahraga atau dinding besar terbesar masih ada di luar sana. Misteri sama dengan petualangan."

Dengan masuknya panjat tebing dalam Olimpiade, olahraga ini telah membuktikan diri sebagai salah satu cabang olahraga yang paling dinamis dan menjanjikan.

Masa depan panjat tebing terlihat cerah, dan kita dapat menantikan lahirnya para atlet-atlet berbakat baru yang akan mengharumkan nama negaranya di ajang olahraga bergengsi dunia.