Mengenal Kekaisaran Parthia, Musuh Utama Romawi yang Sulit Dikalahkan

By Sysilia Tanhati, Minggu, 11 Agustus 2024 | 11:00 WIB
Selama lebih dari empat abad, Kekaisaran Parthia menguasai Jalur Sutra, menjadi saingan terbesar Romawi. (War pannel, Septimius Severus' arch/CC BY-SA 3.0)

Nationalgeographic.co.id—Setelah mengalahkan Seleucid, Parthia membangun kekaisaran yang luas di Iran dan Mesopotamia. Selama lebih dari empat abad, Kekaisaran Parthia menguasai Jalur Sutra, menjadi saingan terbesar Romawi.

Parthia, kekuatan politik dan militer utama Iran, muncul sebagai kekuatan yang signifikan pada tahun 247 SM. Setelah mengalahkan Seleucid, mereka membangun kekaisaran yang perkasa.

Pada puncak kejayaannya, Dinasti Arsacid Parthia menguasai wilayah yang luas yang membentang dari Efrat hingga Himalaya.

Penguasaan Jalur Sutra membuat Parthia sangat kaya. Hal ini memungkinkan para penguasanya untuk menghidupkan kembali kebesaran Kekaisaran Achaemenid dan meniru multikulturalismenya.

Kekayaan yang sangat besar itu mendanai pasukan yang canggih, yang terkenal dengan pemanah berkuda dan kavaleri. Tidak heran Kekaisaran Parthia dengan cepat berubah menjadi kekaisaran adikuasa.

“Mereka menjadi satu-satunya kekaisaran kuno yang mampu menyaingi Romawi,” tulis Vedran Bileta di laman The Collector.

Namun kemudian, Kekaisaran Parthia hampir sepenuhnya terhapus dari sejarah oleh Kekaisaran Sassania yang sedang bangkit.

Berawal dari suku nomaden

Kisah Kekaisaran Parthia dimulai pada tahun 247 SM. Saat itu Arsaces I, penguasa kelompok nomaden kecil yang disebut Parni, menyerbu Kekaisaran Seleukia. Memanfaatkan pemberontakan penguasa setempat, Arsaces menaklukkan wilayah Parthia. Wilayah tersebut menjadi wilayah inti Kekaisaran Parthia yang baru.

Para penguasa Arsaces memanfaatkan konflik Seleukia yang sedang berlangsung dengan Mesir Ptolemeus, bergerak ke arah timur dan barat. Perang dengan Seleukia berlanjut selama beberapa dekade. Saat itu penguasa Parthia berhasil memperluas wilayah mereka dari Efrat ke Baktria, dari India ke Asia Tengah, ke Teluk Persia dan Samudra Hindia.

Pada pertengahan abad kedua SM, bangsa Parthia menguasai semua wilayah inti Kekaisaran Akhemeniyah kuno. Termasuk dataran subur Mesopotamia. Di sana, Raja Mithridates I mendirikan Ctesiphon, kediaman kerajaan utama. Pada dekade berikutnya, Ctesiphon menjadi ibu kota Kekaisaran Parthia yang perkasa.

Baca Juga: Awalnya Takut, Prajurit Romawi Akhirnya Bisa Mengatasi Gajah Perang

Para penguasa Pathia mengadopsi gelar shahanshah atau "Raja segala Raja". Hal tersebut menekankan hubungan mereka dengan warisan Akhemeniyah.

Parthia terkenal dengan militer, budaya, dan perdagangannya

Posisi optimal di persimpangan antara Tiongkok, India, dan Mediterania Timur, menjadikan Kekaisaran Parthia sebagai kekuatan dominan di Timur Dekat. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kendali Parthia atas Jalur Sutra. Peran kunci dalam perdagangan kuno meningkatkan ekonomi Parthia dan memungkinkan terjadinya pertukaran budaya. Mereka menciptakan masyarakat yang dinamis, multikultural, dan kaya.

Bangsa Parthia juga mengembangkan gaya yang rumit dan khas dalam seni dan arsitektur, memadukan unsur-unsur Helenistik, Persia, dan lokal. Dinasti yang berkuasa – Arsacids – mencerminkan inklusivitas kekaisaran mereka. Awalnya Parthia mengadopsi bahasa Yunani sebagai bahasa resmi. Namun kemudian menggantikannya dengan bahasa Parthia hanya setelah pecahnya permusuhan dengan bangsa Romawi.

Parthia dapat menyaingi Romawi selama berabad-abad, sebagian karena kekayaannya yang sangat besar dan sebagian lagi karena militernya yang kuat. Militernya terkenal dengan prajurit berkuda dan "tembakan Parthia". Tembakan tersebut merupakan sebuah taktik yang kemudian ditiru oleh penerus mereka, bangsa Sassanid. Selain itu, para pengembara lain dari padang rumput Eurasia, termasuk Hun, Skithia, Mongol, dan Magyar juga mengadopsi “tembakan Parthia”.

Parthia mengendalikan Jalur Sutra

Selama berabad-abad, Kekaisaran Parthia memainkan peran penting dalam pengembangan perdagangan Jalur Sutra. Rute tersebut berfungsi sebagai pusat penghubung antara Timur dan Barat.

Bangsa Parthia menguasai segmen-segmen penting dari jaringan perdagangan kuno ini. Mereka memfasilitasi pertukaran sutra, rempah-rempah, dan permata berharga. Semua itu pada akhirnya mendorong perekonomian Kekaisaran.

Pertukaran barang-barang mewah dilengkapi dengan aliran ide-ide keagamaan dan filosofis, termasuk Buddhisme, yang memengaruhi budaya Parthia. Seni dan ikonografi India berpadu dengan tradisi Parthia dan Helenistik, menciptakan sintesis budaya yang unik.

Bangsa Parthia memfasilitasi perdagangan dan pertukaran budaya antara kekaisaran-kekaisaran kuno besar. “Misalnya dengan Tiongkok dan India di Timur dan Romawi di Barat,” tambah Bileta. Namun, politik dan militer Parthia mungkin telah mencegah bangsa Romawi untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan kekaisaran-kekaisaran timur. Terutama Tiongkok.

Untuk mematahkan monopoli Jalur Sutra Parthia, bangsa Romawi memulai perdagangan Samudra Hindia. Romawi menggunakan pelabuhan-pelabuhan Laut Merah Mesir sebagai titik awal untuk perdagangan maritim yang menguntungkan. Namun, Romawi dan Tiongkok tidak pernah berhasil membangun hubungan langsung.

Parthia dan Romawi merupakan saingan terbesar

Pertemuan pertama antara Romawi dan Kekaisaran Parthia terjadi pada awal abad pertama SM. Pertemuan itu terjadi selama perang Romawi melawan raja Pontic, Mithritades VI Eupator.

Pada tahun 92 SM, Romawi dan Parthia membuat perjanjian diplomatik, mengakui Efrat sebagai batas antara kedua kekaisaran. Perdamaian yang rapuh itu hancur pada tahun 54 SM. Saat itu legiun Romawi, yang dipimpin oleh Marcus Licinius Crassus, menyerbu Mesopotamia. Sayangnya bagi bangsa Romawi, Parthia terbukti menjadi lawan yang tangguh. Romawi menderita kekalahan telak dalam Pertempuran Carrhae pada tahun 53 SM.

Tembakan Parthia yang menghancurkan dan taktik tabrak lari oleh para pemanah berkuda menimbulkan tantangan yang signifikan bagi pasukan Romawi. Selain itu, serangan kavaleri katafrak mereka yang kuat pun sulit dilawan oleh pasukan Romawi.

Crassus juga tewas dalam Pertempuran Carrhae. Ia menjadi yang pertama dari banyak pemimpin Romawi yang akan menemui ajal mereka di Timur alih-alih mencapai kejayaan militer.

Namun bangsa Romawi berhasil meraih beberapa kemenangan, terutama di bawah Augustus dan Trajan. Meski begitu, Parthia tetap menjadi saingan terbesar Romawi hingga akhir abad ketiga.

Jatuhnya Kekaisaran Parthia

Sementara Romawi dan Parthia berperang, mereka juga melakukan perdagangan dan bahkan membentuk aliansi sementara. Hubungan itu menunjukkan saling pengakuan atas kekuatan masing-masing. Keadaan yang tidak nyaman ini berlangsung hingga awal abad ketiga. Parthia, yang dilemahkan oleh pertikaian internal dan perang dengan Romawi, jatuh ke tangan kekuatan baru.

Pada tahun 224 M, Ardashir I berhasil memberontak terhadap penguasa Parthia, Artabanus IV. Pemberontakan tersebut menyebabkan jatuhnya Parthia dan bangkitnya Kekaisaran Sassanid.

Tidak seperti Parthia, Sassanid terus-menerus bermusuhan dengan Kekaisaran Romawi. Peperangan di Timur berlanjut selama 400 tahun, dengan kedua pihak yang bermusuhan memperoleh kemenangan dan kekalahan. Permusuhan berlangsung hingga awal abad ketujuh, ketika Romawi dan Persia terlibat dalam perang yang mematikan – “Perang Besar Terakhir di Zaman Kuno.”

Pada akhirnya, Romawi muncul sebagai pemenang. Sementara Sassanid terhapus dari peta, sebagai kekuatan besar terakhir Iran di zaman kuno.