Belanda 'Lawan' Pengaruh Ottoman Lewat Priyayi dan Elit Modern?

By Muflika Nur Fuaddah, Rabu, 21 Agustus 2024 | 14:45 WIB
Pertemuan Indische Vereeniging, diperkirakan di Leiden, Belanda, ca 1924–1927 (KITLV)

Dalam arsip yang menunjukkan keluhan kolonialisme di Aceh kepada Abdulhamid II, konsep ahali-Islamiye (Komunitas Islam) digunakan. Oleh karena itu, dalam konsep Kekaisaran Ottoman, Hadhrami dan orang Indonesia pada saat itu memiliki posisi yang setara, karena mereka diklasifikasikan sebagai ahali-Islamiye (Komunitas Islam).

Tentu saja, dalam konsep kolonial, Hadhrami dan orang Indonesia tidak setara karena Hadhrami diklasifikasikan sebagai Vreemde Oosterlingen (Orang Timur Asing) seperti orang Cina dan orang Indonesia sebagai 'inlander'. Dengan demikian, Laffan masih menggunakan perspektif sistem kolonial dalam melihat pengaruh Hadhrami terhadap Pan-Islamisme.

Argumen lain yang menunjukkan bahwa negara Ottoman populer di Indonesia adalah adanya manuskrip Jawi di Indonesia tentang negara Ottoman. Di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, terdapat manuskrip Jawi berjudul Hikayat Istambul.

Manuskrip ini menceritakan tentang Ottoman dalam Perang Krimea dengan Rusia. Ini menunjukkan bagaimana Ottoman memainkan peran penting dalam politik internasional terutama dengan Rusia.

Penulis manuskrip tersebut tidak diketahui, tetapi di akhir halaman tertera nama 'Abdullah' yang tinggal di Batavia. Tampaknya, dia menerjemahkan manuskrip ini dari bahasa Arab ke bahasa Jawi.

Oleh karena itu, Hadhrami memiliki peran penting dalam menyebarkan Pan-Islamisme dan negara Ottoman melalui bahasa Islam di Asia Tenggara, yaitu Jawi. Dengan demikian, pada waktu itu, Ottoman tidak hanya dianggap sebagai pendiri kesultanan, tetapi juga menunjukkan negara Ottoman sebagai negara nyata di arena politik internasional.

Frial juga mengungkap bahwa tidak benar jika kita mengatakan bahwa Pan-Islamisme di bawah angin (Asia Tenggara) adalah gerakan 'Arab' karena pertama, negara Ottoman menyebut para pelajar Jawi di Istanbul sebagai 'Cavalı' daripada 'Arab' atau Hadhrami; kedua, Pan-Islamisme bukan hanya tentang gerakan Hadhrami, tetapi juga gerakan pribumi melalui bahasa Islam seperti dalam Hikayat Istambul, oleh karena itu orang Indonesia juga memahami tentang Kekaisaran Ottoman dan berpartisipasi dalam modernitas yang diawasi oleh negara Ottoman.

Kesimpulan

Singkatnya, modernisasi berbasis Pan-Islamisme di Indonesia bukan hanya agenda Hadhrami atau Arab, tetapi semua orang Jawi, orang Indonesia. Namun, modernitas yang diawasi oleh Ottoman berbeda dari modernitas Belanda.

Hal itu membuat Snouck Hurgronje memperingatkan pemerintah kolonial untuk membentuk kebijakan yang mengatasi modernitas yang diawasi oleh negara Ottoman. Hurgronje mengusulkan modernitas tanpa memandang agama untuk menggabungkan umat Islam dan Kristen menjadi satu bangsa.

Oleh karena itu, Belanda meluncurkan Politik Etis untuk mengatasi modernitas yang diawasi oleh Ottoman melalui pendidikan sekuler dan agen. Dalam kebijakan ini, Belanda lebih memilih memilih priyayi atau bangsawan untuk menyebarkan modernisasi di Indonesia.

Baca Juga: Perekrutan 'Berdarah' Jannisary, Pasukan Elite Kekaisaran Ottoman