Belanda 'Lawan' Pengaruh Ottoman Lewat Priyayi dan Elit Modern?

By Muflika Nur Fuaddah, Rabu, 21 Agustus 2024 | 14:45 WIB
Pertemuan Indische Vereeniging, diperkirakan di Leiden, Belanda, ca 1924–1927 (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda bahwa dalam perjalanan Indonesia menjadi sebuah bangsa, sejarah mencatat sebuah proses modernisasi yang terjadi melalui Politik Etis?

Namun yang perlu Anda ketahui yakni bahwa Politik Etis di Indonesia pada tahun 1901 bukanlah satu-satunya upaya modernisasi di Indonesia. Kekaisaran Ottoman pada abad kesembilan belas juga berkontribusi dalam memodernisasi orang Indonesia melalui beberapa kebijakan, dengan kelompok Hadhrami sebagai agen modernisasi Ottoman.

Dalam memodernisasi orang Indonesia, Ottoman menggunakan Pan-Islamisme sebagai prinsip utama. Singkatnya, Pan-Islamisme menjadi prinsip utama modernisasi baik di wilayah Ottoman maupun di luar wilayahnya.

Dalam Al-Jami‘ah: Journal of Islamic Studies, Frial Ramadhan Supratman menerbitkan jurnal dengan judul Before The Ethical Policy: The Ottoman State, Pan-Islamism, and Modernisation in Indonesia 1898–1901.

Frial menjelaskan bahwa banyak cendekiawan dan orientalis seperti Snouck Hurgronje menganggap Pan-Islamisme sebagai ideologi yang merugikan bagi pemerintah kolonial, karena dapat memicu gerakan anti-kolonialisme di Indonesia. Oleh karena itu, Belanda mencoba melawan modernisasi yang diawasi oleh Ottoman dengan Politik Etis.

Belanda juga melawan kelompok Hadhrami dengan kemunculan kelompok priyayi atau bangsawan sebagai elit modern yang diawasi oleh Belanda. Mereka dijadikan penghalang oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mencegah pengaruh Hadhrami sebagai agen modernisasi berbasis Pan-Islamisme yang diawasi oleh negara Ottoman.

Dengan demikian, Belanda mencoba memodernisasi baik priyayi, bangsawan, maupun rakyat jelata untuk dididik di bawah pengawasan Belanda.

"Misalnya, ada seorang Indonesia bernama Abdullah Rivai, seorang Sumatra (Minangkabau), yang menerima pendidikan Belanda di Belanda. Secara bertahap, lebih banyak orang Indonesia yang datang ke Belanda untuk belajar," ungkap Frial.

Ketika salah satu putra Notodirdjo, Notodiningrat (saat ini Profesor Raden Mas Wreksodiningrat) tiba di Delft (1908) untuk belajar teknik, dia menemukan sekitar tiga puluh siswa Indonesia lainnya di negara itu.

Untuk kontak sosial, mereka membentuk Indische Vereeniging (Indies Club) pada tahun 1908, sebuah organisasi budaya, tetapi juga sebagai podium untuk menyebarkan pemikiran dan ide-ide baru.

Belanda tampaknya berhasil melawan modernisasi yang diawasi oleh negara Ottoman, karena elit Indonesia yang telah "terbaratkan" dan dididik di Belanda mencoba terlibat dengan modernitas yang diawasi oleh Belanda.

Baca Juga: Selisik Sejarah Serangan Militer Kekaisaran Ottoman ke Eropa dan Mesir

"Misalnya, Rivai juga menerbitkan surat kabar Pewarta Wolanda. Tujuan dari terbitan berbahasa Melayu ini, yang diterbitkan di Amsterdam dan didistribusikan di Hindia Belanda untuk mencoba mengurangi pengaruh Turki di kalangan banyak kaum muslim di Hindia Belanda," papar Frial.

"Dimaksudkan untuk didistribusikan di kalangan penguasa Indonesia, pegawai negeri, dan kelas atas, Pewarta Wolanda akan meyakinkan orang tua untuk mengirim anak-anak mereka ke Belanda dan bukan ke Istanbul untuk pendidikan mereka."

"Jika kita merujuk pada Anderson, kita akan menemukan argumennya bahwa Belanda lebih memilih mendukung priyayi atau bangsawan pribumi, bukan kelas terdidik muslim, sebagai agen modernitas. Sementara itu, Laffan juga menunjukkan bahwa priyayi dan budaya lokal memainkan peran penting dalam mengatasi pengaruh gerakan Islam di Indonesia," pungkasnya.

Seperti Hurgronje, K.F. Holle, seorang Belanda di Indonesia, memainkan peran penting dalam 'menjajah Islam'. Dia mengabdikan hidupnya untuk mempelajari bahasa Sunda dan mengampanyekan pengembangan aksara Sunda.

Proyek terakhirnya ini merupakan upaya untuk menggantikan aksara Arab yang banyak digunakan, yang dia khawatirkan memungkinkan orang Sunda tertarik pada radikalisme agama asing dan berbahaya yang berasal dari Timur Tengah.

Bangsawan atau priyayi didukung oleh Belanda untuk mengatasi pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia melalui kelompok Hadhrami, karena kelompok Hadhrami adalah agen modernisasi berbasis Pan-Islamisme.

Namun, sejarawan lain seperti Laffan ragu-ragu mengenai peran Hadhrami dalam membawa Pan-Islamisme bagi orang Indonesia, melihat Pan-Islamisme sebagai agenda 'Arab'. Dia mengatakan bahwa hanya di Hijaz orang Jawa langsung bertemu dengan aparat pemerintahan Ottoman, yang tidak terawat dengan baik maupun efisien.

Meski begitu, meningkatnya jumlah orang Jawa di Hijaz dapat menggabungkan retorika Pan-Islamik dengan aspirasi mereka sendiri untuk Hindia. Namun, kita harus menyelidiki kembali pendapat Laffan, karena dalam dokumennya, negara Ottoman menyebut kelompok Hadhrami sebagai 'Cavah' daripada Arab atau Hadhrami.

Dalam bahasa Turki, 'Cavah' berarti 'orang Jawa'. Tanpa diragukan lagi, mereka ingin menyebut mereka Jawi, menyebut siswa Hadhrami yang datang ke Istanbul sebagai 'Cavah'.

Negara Ottoman juga menyebut Aceh sebagai bagian dari 'Cava' ketika Sultan Mansyur Syah meminta kewarganegaraan (vatandaslık) dari negara Ottoman.

Dengan demikian, Ottoman sudah menganggap bahwa Hadhrami dan Muslim pribumi di Asia Tenggara tidak berbeda karena mereka adalah Muslim. Dalam arsip Ottoman, orang Indonesia terlepas dari daerah atau penguasa mereka disebut ahali-Islamiye (Komunitas Islam).

Baca Juga: Saat Kelompok Utusan Ottoman Dianggap 'Hama' di Hindia Belanda

Dalam arsip yang menunjukkan keluhan kolonialisme di Aceh kepada Abdulhamid II, konsep ahali-Islamiye (Komunitas Islam) digunakan. Oleh karena itu, dalam konsep Kekaisaran Ottoman, Hadhrami dan orang Indonesia pada saat itu memiliki posisi yang setara, karena mereka diklasifikasikan sebagai ahali-Islamiye (Komunitas Islam).

Tentu saja, dalam konsep kolonial, Hadhrami dan orang Indonesia tidak setara karena Hadhrami diklasifikasikan sebagai Vreemde Oosterlingen (Orang Timur Asing) seperti orang Cina dan orang Indonesia sebagai 'inlander'. Dengan demikian, Laffan masih menggunakan perspektif sistem kolonial dalam melihat pengaruh Hadhrami terhadap Pan-Islamisme.

Argumen lain yang menunjukkan bahwa negara Ottoman populer di Indonesia adalah adanya manuskrip Jawi di Indonesia tentang negara Ottoman. Di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, terdapat manuskrip Jawi berjudul Hikayat Istambul.

Manuskrip ini menceritakan tentang Ottoman dalam Perang Krimea dengan Rusia. Ini menunjukkan bagaimana Ottoman memainkan peran penting dalam politik internasional terutama dengan Rusia.

Penulis manuskrip tersebut tidak diketahui, tetapi di akhir halaman tertera nama 'Abdullah' yang tinggal di Batavia. Tampaknya, dia menerjemahkan manuskrip ini dari bahasa Arab ke bahasa Jawi.

Oleh karena itu, Hadhrami memiliki peran penting dalam menyebarkan Pan-Islamisme dan negara Ottoman melalui bahasa Islam di Asia Tenggara, yaitu Jawi. Dengan demikian, pada waktu itu, Ottoman tidak hanya dianggap sebagai pendiri kesultanan, tetapi juga menunjukkan negara Ottoman sebagai negara nyata di arena politik internasional.

Frial juga mengungkap bahwa tidak benar jika kita mengatakan bahwa Pan-Islamisme di bawah angin (Asia Tenggara) adalah gerakan 'Arab' karena pertama, negara Ottoman menyebut para pelajar Jawi di Istanbul sebagai 'Cavalı' daripada 'Arab' atau Hadhrami; kedua, Pan-Islamisme bukan hanya tentang gerakan Hadhrami, tetapi juga gerakan pribumi melalui bahasa Islam seperti dalam Hikayat Istambul, oleh karena itu orang Indonesia juga memahami tentang Kekaisaran Ottoman dan berpartisipasi dalam modernitas yang diawasi oleh negara Ottoman.

Kesimpulan

Singkatnya, modernisasi berbasis Pan-Islamisme di Indonesia bukan hanya agenda Hadhrami atau Arab, tetapi semua orang Jawi, orang Indonesia. Namun, modernitas yang diawasi oleh Ottoman berbeda dari modernitas Belanda.

Hal itu membuat Snouck Hurgronje memperingatkan pemerintah kolonial untuk membentuk kebijakan yang mengatasi modernitas yang diawasi oleh negara Ottoman. Hurgronje mengusulkan modernitas tanpa memandang agama untuk menggabungkan umat Islam dan Kristen menjadi satu bangsa.

Oleh karena itu, Belanda meluncurkan Politik Etis untuk mengatasi modernitas yang diawasi oleh Ottoman melalui pendidikan sekuler dan agen. Dalam kebijakan ini, Belanda lebih memilih memilih priyayi atau bangsawan untuk menyebarkan modernisasi di Indonesia.

Baca Juga: Perekrutan 'Berdarah' Jannisary, Pasukan Elite Kekaisaran Ottoman