Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman (Turki Usmani) yang didirikan oleh Osman I pada 1299 merupakan kerajaan Islam terbesar yang berkuasa antara abad ke-13 hingga awal abad ke-20.
Dalam Majalah Ilmiah Tabuah, Meirison, Zulvia Trinova, dan Yelmi Eri Firdaus dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, menerbitkan artikel yang berjudul The Ottoman Empire Relations With The Nusantara (Spice Island).
Meirison dkk mengungkap bahwa hubungan antara Kekaisaran Ottoman dan tanah Jawa terungkap dalam pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Dalam pidatonya pada Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 pada tahun 2015 di Keraton Yogyakarta, Sultan menyatakan bahwa Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Khilafah Islam (Turki) untuk Tanah Jawa.
Sultan Turki menyerahkan bendera bertuliskan "Laa ilaha illallah" yang terbuat dari kain kiswah Ka'bah berwarna ungu kehitaman, serta bendera bertuliskan "Muhammadarrasulullah" berwarna hijau. Duplikat bendera ini disimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.
"Sri Sultan menyebutkan bahwa pada tahun 1903, saat kongres khilafah diadakan di Jakarta, Sultan Turki mengirim M Amin Bey yang menyatakan bahwa penguasa Muslim dilarang tunduk pada Belanda," ungkap Meirison dkk.
"Berdasarkan dorongan Sultan, salah satu abdi Ngarso dalem Sultan Jogja kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan," lanjutnya.
Tak hanya itu, jejak pengaruh Kekhalifahan Turki juga terlihat dalam struktur militer Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Bagi pihak penjajah, Perang Jawa (1825-1830) adalah medan perang mengerikan karena membuat bangkrut pihaknya dan menyebabkan ribuan serdadu koalisi Eropa mati berkalang tanah di Jawa.
Saat itu, Diponegoro didukung oleh barisan bangsawan, milisi lokal (Jawa, Madura, Bali, dan Bugis), serta ribuan santri dan ratusan ulama. Faktor terakhir ini yang membuat Belanda pusing, sebab mereka sadar keberadaan ulama di jantung masyarakat akan membuat bara perlawanan terhadap kolonialisme tetap menyala.
Peter Carey dalam karyanya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, menulis, kurang lebih ada 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai-guru (mursyid tarekat) yang turut berperang bersama Diponegoro.
Salah satu yang paling terkenal tentu saja Kiai Mojo, ideolog Perang Jawa yang banyak disebut sebagai penasehat spiritual-intelektual sang pangeran.
Baca Juga: Belanda 'Lawan' Pengaruh Ottoman Lewat Priyayi dan Elit Modern?