Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu.
Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing).
Perang ini bukan perang suku,tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran.
Kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya pun menjadi bagian dari perang.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.
Perubahan Strategi
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, para kiai yang menjadi perwira tinggi dalam kesatuan tempur melakukan langkah diaspora alias menyebar diri lalu mendirikan sebuah masjid maupun merintis pendirian pondok pesantren untuk mengajar ngaji para penduduk kampung.
Sebagian besar menyebar dari wilayah Kedu, Yogyakarta, dan Magelang beralih ke wilayah timur. Langkah perubahan strategi perjuangan ini di antaranya berpedoman pada QS. Al-Taubah 122:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Langkah strategis seperti ini ditempuh untuk mengimbangi taktik benteng stelsel (mendirikan banyak benteng kecil untuk menjepit gerak langkah pasukan Diponegoro), dalam Perang Jawa, yang sebelumnya mereka alami.
Mereka membuka lahan baru (mbabat alas) bersama pengikutnya maupun menempati desa-desa yang miskin nilai agamanya.