Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim bukan hanya sekadar teori, melainkan kenyataan yang harus kita hadapi. Salah satu dampak nyata dari perubahan iklim adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas fenomena ekstrem seperti waterspout.
Waterspout, yang terbentuk dari pertemuan antara udara hangat dan dingin di atas permukaan air, semakin sering terjadi akibat perubahan suhu laut yang disebabkan oleh pemanasan global.
Tragedi tenggelamnya kapal pesiar milik Mike Lynch adalah contoh nyata dari dampak perubahan iklim yang tidak dapat lagi kita abaikan.
Seperti diketahui, kapal pesiar mewah Bayesian, yang tengah berlayar di lepas pantai Palermo, Italia, mengalami nasib tragis pada dini hari tanggal 19 Agustus 2024.
Dengan 22 penumpang di dalamnya, termasuk Lynch, kapal tersebut tenggelam setelah diduga terhantam oleh waterspout, sejenis tornado yang terbentuk di atas permukaan air.
Artikel ini akan mengupas tuntas dari sudut pandang ilmiah, bagaimana perubahan iklim memicu terbentuknya waterspout dan apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dampaknya.
Puting beliung yang menari di atas air
Pernahkah Anda membayangkan tornado yang menari-nari di atas permukaan air? Fenomena alam inilah yang dikenal sebagai waterspout, yaitu puting beliung yang terbentuk di atas permukaan air, baik itu laut, danau, atau bahkan sungai.
David Sills, direktur eksekutif Northern Tornadoes Project, memberikan penjelasan sederhana namun mendalam: "Tornado tidak pilih-pilih tempat. Baik itu kota, hutan, atau air, jika kondisi memungkinkan, tornado akan terbentuk."
Proses pembentukan waterspout melibatkan interaksi antara massa udara yang berbeda. "Waterspout terbentuk di mana ada batas udara, seperti saat udara hangat dan dingin bertemu," jelas juru bicara Biro Meteorologi Pemerintah Australia (BOM), seperti dilansir dari nationalgeographic.com. Perbedaan suhu dan tekanan udara inilah yang kemudian memicu terjadinya rotasi udara.
Bayangkan angin bertiup di atas permukaan laut. Angin di bagian atas bertiup ke arah yang berbeda dengan angin di bagian bawah. Perbedaan arah angin inilah yang memicu udara di antara kedua lapisan tersebut mulai berputar. Seiring waktu, putaran udara ini semakin intensif dan membentuk corong yang menjulur ke bawah, menyentuh permukaan air.
Baca Juga: Mitigasi Bencana Sekaligus Meningkatkan Ekonomi Lokal di Sabu Raijua