Tewaskan Mike Lynch, Waterspout akan Makin Sering Terjadi Akibat Perubahan Iklim

By Ade S, Selasa, 27 Agustus 2024 | 18:33 WIB
Kapal pesiar Mike Lynch tenggelam akibat waterspout. Perubahan iklim diperkirakan akan meningkatkan frekuensi peristiwa ekstrem seperti ini di masa depan. (Dr. Joseph Golden)

Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim bukan hanya sekadar teori, melainkan kenyataan yang harus kita hadapi. Salah satu dampak nyata dari perubahan iklim adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas fenomena ekstrem seperti waterspout.

Waterspout, yang terbentuk dari pertemuan antara udara hangat dan dingin di atas permukaan air, semakin sering terjadi akibat perubahan suhu laut yang disebabkan oleh pemanasan global.

Tragedi tenggelamnya kapal pesiar milik Mike Lynch adalah contoh nyata dari dampak perubahan iklim yang tidak dapat lagi kita abaikan.

Seperti diketahui, kapal pesiar mewah Bayesian, yang tengah berlayar di lepas pantai Palermo, Italia, mengalami nasib tragis pada dini hari tanggal 19 Agustus 2024.

Dengan 22 penumpang di dalamnya, termasuk Lynch, kapal tersebut tenggelam setelah diduga terhantam oleh waterspout, sejenis tornado yang terbentuk di atas permukaan air.

Artikel ini akan mengupas tuntas dari sudut pandang ilmiah, bagaimana perubahan iklim memicu terbentuknya waterspout dan apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dampaknya.

Puting beliung yang menari di atas air

Pernahkah Anda membayangkan tornado yang menari-nari di atas permukaan air? Fenomena alam inilah yang dikenal sebagai waterspout, yaitu puting beliung yang terbentuk di atas permukaan air, baik itu laut, danau, atau bahkan sungai.

David Sills, direktur eksekutif Northern Tornadoes Project, memberikan penjelasan sederhana namun mendalam: "Tornado tidak pilih-pilih tempat. Baik itu kota, hutan, atau air, jika kondisi memungkinkan, tornado akan terbentuk."

Proses pembentukan waterspout melibatkan interaksi antara massa udara yang berbeda. "Waterspout terbentuk di mana ada batas udara, seperti saat udara hangat dan dingin bertemu," jelas juru bicara Biro Meteorologi Pemerintah Australia (BOM), seperti dilansir dari nationalgeographic.com. Perbedaan suhu dan tekanan udara inilah yang kemudian memicu terjadinya rotasi udara.

Bayangkan angin bertiup di atas permukaan laut. Angin di bagian atas bertiup ke arah yang berbeda dengan angin di bagian bawah. Perbedaan arah angin inilah yang memicu udara di antara kedua lapisan tersebut mulai berputar. Seiring waktu, putaran udara ini semakin intensif dan membentuk corong yang menjulur ke bawah, menyentuh permukaan air.

Baca Juga: Mitigasi Bencana Sekaligus Meningkatkan Ekonomi Lokal di Sabu Raijua

Proses terbentuknya waterspout bisa diibaratkan seperti mencabut sumbat bak mandi. Saat sumbat ditarik, air akan berputar dengan sangat cepat menuju lubang pembuangan. Begitu pula dengan waterspout, udara yang berputar dengan cepat tersedot ke atas, menciptakan pusaran yang semakin kuat.

Peter Inness, ahli meteorologi dari University of Reading, memberikan analogi lain yang lebih menarik. Ia membandingkan proses terbentuknya waterspout dengan seorang skater yang sedang berputar.

Saat skater menarik kedua tangannya, putaran tubuhnya akan semakin cepat. Begitu pula dengan udara dalam waterspout, saat udara terkonsentrasi pada satu titik, putarannya akan semakin cepat dan membentuk corong yang khas.

Ancaman tersembunyi bagi kapal

Meskipun angin yang dihasilkan oleh waterspout dapat mencapai kecepatan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 55 mil per jam, namun umumnya waterspout memiliki durasi yang singkat dan area jangkauan yang terbatas.

"Waterspout biasanya hanya beraksi di satu titik selama beberapa menit," ungkap BOM. Hal ini berarti, jika kapal dapat menghindari pusat pusaran waterspout, maka risiko kerusakan akan jauh lebih kecil.

Kasus tenggelamnya kapal pesiar mewah Bayesian di lepas pantai Palermo, Italia, sempat dikaitkan dengan kejadian waterspout. Namun, hingga kini belum ada bukti yang kuat untuk mendukung dugaan tersebut.

"Kejadian itu terjadi di malam hari dan tidak ada dokumentasi visual yang cukup," ujar Luca Mercalli, presiden Masyarakat Meteorologi Italia. Minimnya data membuat penyebab pasti tenggelamnya kapal Bayesian masih menjadi misteri.

Kapal dirancang untuk menghadapi kondisi cuaca buruk, termasuk angin kencang. Kapal layar, misalnya, memiliki desain khusus yang memungkinkan kapal untuk kembali tegak setelah terdorong oleh angin.

"Kapal layar memiliki lunas yang berat dan besar, sehingga ketika kapal mulai miring, lunas akan menarik kapal kembali ke posisi semula," jelas Sills.

Namun, ancaman terbesar bagi kapal bukanlah terbalik, melainkan masuknya air ke dalam lambung kapal. Ketika kapal terombang-ambing akibat hempasan gelombang dan angin kencang, pintu atau jendela yang tidak tertutup rapat dapat menjadi celah masuknya air.

Baca Juga: Kemudahan Akses Informasi dalam Genggaman untuk Kesiapsiagaan Bencana

"Jika air sudah masuk ke dalam kapal, maka daya apung kapal akan berkurang dan kapal akan semakin sulit untuk tetap mengapung," tambah Sills. Kondisi ini disebut sebagai knockdown.

Selain itu, perubahan arah dan kecepatan angin yang tiba-tiba juga dapat membahayakan kapal. "Kapal bisa saja terombang-ambing dengan sangat keras akibat perubahan angin yang cepat," ungkap Inness.

Perubahan iklim dan ancaman meningkatnya waterspout

Sebuah studi terbaru menunjukkan adanya peningkatan frekuensi kemunculan waterspout di lepas pantai Kepulauan Balearic, Spanyol, ketika suhu permukaan laut mengalami kenaikan. Fenomena ini semakin menguatkan dugaan bahwa pemanasan global dapat memicu peningkatan kejadian waterspout di berbagai wilayah.

Tahun ini, suhu perairan Mediterania tercatat jauh di atas rata-rata, mencapai peningkatan lebih dari 5°F. Kondisi ini dianggap sebagai anomali yang sangat ekstrem dan sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim.

Banyak ahli khawatir bahwa pemanasan global tidak hanya meningkatkan frekuensi tornado di daratan, tetapi juga memicu peningkatan jumlah waterspout.

"Pemanasan global akan memperparah semua jenis cuaca ekstrem, karena hal ini menyuplai energi tambahan ke atmosfer," ujar Mercalli.

Namun, para ahli masih berhati-hati dalam menarik kesimpulan yang pasti. "Waterspout merupakan fenomena lokal dengan durasi yang sangat singkat, sehingga sulit untuk secara langsung mengaitkannya dengan dampak perubahan iklim," ungkap Biro Meteorologi Pemerintah Australia (BOM).

Faktor-Faktor yang memengaruhi pembentukan waterspout

Meskipun suhu laut yang hangat merupakan salah satu faktor penting, pembentukan waterspout juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain.

* Perbedaan suhu: Waterspout membutuhkan perbedaan suhu yang cukup signifikan antara udara dan air. Jika suhu udara dan air meningkat dengan kecepatan yang sama, maka pembentukan waterspout tidak akan terjadi.

* Tekanan udara: Adanya area tekanan rendah merupakan kondisi yang mendukung terbentuknya awan badai yang kemudian dapat memicu terjadinya waterspout.

* Arah angin: Arah angin juga memainkan peran penting. Angin lembab dari arah tertentu, misalnya, lebih berpotensi menyebabkan badai dibandingkan angin kering dari arah lain.

Kurangnya data historis yang akurat menjadi kendala dalam mengkonfirmasi peningkatan jumlah waterspout secara global. Namun, Mercalli menyatakan bahwa ada peningkatan yang jelas pada kejadian cuaca ekstrem seperti badai petir, angin kencang, dan hujan lebat di seluruh dunia, termasuk Italia.

Walaupun tantangan perubahan iklim semakin kompleks, kita tidak boleh putus asa. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang fenomena alam seperti waterspout dan upaya bersama dalam mengatasi perubahan iklim, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.