Marie Antoinette dan Kalimat 'Let Them Eat Cake' yang Ternyata Tak Pernah Diucapkannya

By Ade S, Rabu, 28 Agustus 2024 | 09:03 WIB
Benarkah Marie Antoinette pernah berkata 'Let them eat cake'? Ungkap fakta sejarah sebenarnya di balik mitos yang telah bertahan selama berabad-abad. (Jean-Baptiste André Gautier-Dagoty)

Motif di balik penghancuran reputasi Marie Antoinette tidak hanya semata-mata politik. Seksisme juga memainkan peran yang sangat signifikan. Meskipun Louis XVI, sebagai raja, turut bertanggung jawab atas kondisi Prancis yang kacau, namun reputasinya tidak sehancur istrinya.

"Revolusi Prancis bertujuan untuk menyingkirkan perempuan dari panggung politik," tegas Robert Gildea, seorang profesor sejarah modern di Universitas Oxford.

Sebelum revolusi, perempuan dari kalangan bangsawan, meskipun tidak secara resmi, memiliki pengaruh tertentu dalam pengambilan keputusan. Namun, para revolusioner ingin mengubah tatanan ini. Mereka berambisi menciptakan masyarakat di mana kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki.

Berasal dari filsuf Prancis

Sejarawan terkemuka, Robert Gildea, menjelaskan bahwa kampanye penghancuran karakter Marie Antoinette dimulai jauh sebelum ia kehilangan tahta. Selama masa-masa awal revolusi, saat ia masih hidup, rumor-rumor keji beredar luas.

Ia dituduh melakukan berbagai tindakan amoral, termasuk perselingkuhan dengan pria dan wanita, bahkan inses dengan putranya sendiri. Tuduhan-tuduhan ini, yang tentu saja tidak berdasar, bertujuan untuk memisahkan sang ratu dari rakyat dan melemahkan legitimasinya.

Termasuk juga di dalamnya adalah ucapan "let them eat cake." Kalimat ini menjadi alat propaganda untuk menggambarkan kekejaman dan ketidakpeduliannya terhadap penderitaan rakyat

Padahal, asal-usul kalimat ini jauh lebih kompleks. Filsuf dan penulis ternama, Jean-Jacques Rousseau, yang ide-idenya sangat berpengaruh pada revolusi Prancis, kemungkinan besar adalah orang pertama yang menuliskan frasa tersebut dalam sebuah novel pada tahun 1767.

"'Biarkan mereka makan brioche' awalnya ditemukan dalam salah satu novel Jean-Jacques Rousseau, di mana ia mengaitkan kalimat ini dengan salah satu karakter fiktifnya yang berasal dari aristokrasi Prancis abad ke-18," kata Maior-Barron.

Namun, dalam kasus Marie Antoinette, penggunaan kalimat ini memiliki tujuan yang lebih spesifik. Para penentang monarki dengan sengaja mengaitkan kalimat tersebut dengan sang ratu untuk menggambarkannya sebagai seorang yang sangat kejam dan tidak peduli terhadap penderitaan rakyat. Tujuan mereka adalah untuk membenarkan revolusi dan menjatuhkan reputasi Marie Antoinette.

Selain fitnah mengenai sikapnya yang acuh tak acuh terhadap rakyat, Marie Antoinette juga dianggap sebagai ancaman nyata bagi para republikan. Ia berasal dari keluarga kerajaan Habsburg Austria yang kuat, sebuah dinasti yang memiliki pengaruh besar di Eropa.

Ketika pemberontakan melawan monarki Prancis semakin intensif, Marie Antoinette berusaha meminta bantuan kepada keluarganya di Austria untuk menginvasi Prancis dan mengembalikan kekuasaan monarki. Upaya ini membuatnya dianggap sebagai pengkhianat oleh para revolusioner.

Ketika pasukan Austria akhirnya menginvasi Prancis, Marie Antoinette semakin dicurigai dan dibenci. Namun, upaya mereka untuk menyelamatkan monarki Prancis gagal. Pada akhirnya, Marie Antoinette ditangkap, diadili, dan dihukum mati dengan cara dipenggal.

Para pemenang pun kemudian menentukan sendiri ceritanya dalam buku sejarah.