Pergeseran bahasa dan dinamika kekuasaan
Pasca penaklukan Arab atas Mesir pada abad ke-7, lanskap sosial dan budaya di wilayah ini mengalami perubahan drastis. Salah satu dampak signifikan adalah tergesernya bahasa Yunani yang sebelumnya dominan di kalangan masyarakat Koptik.
Dengan beralihnya bahasa sehari-hari menjadi bahasa Arab, muncullah hambatan baru dalam memahami dan melestarikan ajaran-ajaran gereja.
Perbedaan bahasa ini semakin memperuncing perbedaan teologis yang telah ada sebelumnya antara Gereja Koptik dan Gereja-gereja lain. Berbagai upaya yang dilakukan oleh kaisar Bizantium untuk mencari jalan tengah pun menemui jalan buntu.
Menariknya, meskipun khalifah Arab cenderung mendorong penduduk untuk memeluk Islam, mereka relatif toleran terhadap keberadaan komunitas non-Muslim, termasuk umat Koptik.
Khalifah-khalifah Arab pada umumnya tidak terlalu campur tangan dalam urusan internal gereja. Kebijakan ini memberikan ruang bagi Gereja Koptik untuk terus menjalankan ibadah dan tradisi mereka.
Salah satu bentuk kewajiban yang dikenakan kepada non-Muslim di bawah pemerintahan Islam adalah jizya, semacam pajak kepala. Namun, pada abad ke-18, pajak ini dihapuskan, yang tentunya memberikan keringanan bagi umat Koptik.
Pergeseran bahasa ini juga berdampak pada tata cara ibadah Gereja Koptik. Bahasa Arab, sebagai bahasa yang lebih umum digunakan, mulai diadopsi dalam beberapa bagian liturgi, seperti pembacaan Alkitab dan nyanyian-nyanyian tertentu.
Meski demikian, bahasa Koptik, khususnya dialek Bohairic Alexandria, tetap menjadi bahasa utama dalam liturgi Gereja Koptik. Buku-buku kebaktian yang digunakan dalam peribadatan pun umumnya memuat teks dalam bahasa Koptik dengan terjemahan atau penjelasan dalam bahasa Arab di sampingnya.
Penggunaan bahasa Arab dan Koptik secara bersamaan dalam liturgi mencerminkan upaya Gereja Koptik untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa meninggalkan akar sejarah dan identitasnya.
Meskipun bahasa menjadi penghalang, namun semangat keagamaan umat Koptik tetap menyala, terlihat dari upaya mereka untuk menjaga kelangsungan tradisi dan ajaran gereja di tengah dinamika sejarah yang terus berubah.
Sistem pemerintahan demokratis