Mengapa Gereja Ortodoks Koptik Alexandria Memiliki Paus Sendiri?

By Ade S, Rabu, 28 Agustus 2024 | 12:03 WIB
Paus Tawadros II. Gereja Ortodoks Koptik Alexandria, gereja Kristen tertua di Mesir, memiliki paus sendiri. Temukan sejarah unik dan alasan di balik hal tersebut. (OSCE Parliamentary Assembly)

Nationalgeographic.co.id—Ketika kita membicarakan Paus, bayangan yang muncul di benak kita adalah sosok pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma yang berkedudukan di Vatikan.

Namun, tahukah Anda bahwa ada gereja Kristen lain yang juga memiliki pemimpin dengan gelar yang sama? Gereja Ortodoks Koptik Alexandria, salah satu gereja Kristen tertua di dunia, memiliki paus sendiri. Mengapa demikian? Bukankah gelar paus identik dengan Gereja Katolik?

Perbedaan ini mungkin tampak membingungkan, terutama bagi mereka yang baru mengenal dunia kekristenan. Padahal, di balik perbedaan gelar ini tersimpan sejarah yang panjang dan kompleks, serta pemahaman teologis yang berbeda mengenai struktur gereja dan otoritas spiritual.

Gereja Ortodoks Koptik, dengan akar sejarahnya yang mengakar kuat di Mesir kuno, memiliki tradisi dan tata cara liturgi yang khas. Keberadaan paus dalam gereja ini bukan sekadar sebuah gelar, melainkan cerminan dari pemahaman mereka tentang kepemimpinan spiritual dan hubungan antara gereja dengan umat.

Artikel ini akan mengajak Anda untuk menyelami lebih dalam dunia Gereja Ortodoks Koptik Alexandria. Kita akan mengungkap sejarah panjang gereja ini, mulai dari masa-masa awal penyebaran agama Kristen di Mesir hingga perkembangannya hingga saat ini.

Pilar penting dalam sejarah Kristen

Gereja Ortodoks Koptik Alexandria, sebagai salah satu pilar penting dalam sejarah Kristen, telah mengakar kuat di tanah Mesir. Sebelum Islam menjadi agama mayoritas di wilayah ini pada abad ke-7, penduduk Mesir mayoritas menganut agama Kristen.

Mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Aigyptios, sebuah istilah yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai Qibti. Identitas ini begitu melekat, baik dalam bahasa maupun budaya sehari-hari.

Namun, seiring berjalannya waktu dan pergeseran dinamika sosial, khususnya setelah penaklukan Arab, istilah "Aigyptios" atau "Qibti" secara bertahap menjadi lebih spesifik merujuk pada komunitas Kristen di Mesir. Hal ini terjadi karena mayoritas penduduk Mesir yang memeluk Islam tidak lagi menggunakan istilah tersebut untuk menyebut diri mereka.

Pada abad ke-19 dan ke-20, seiring dengan semakin kompleksnya peta keagamaan di Mesir, komunitas Kristen Koptik merasa perlu untuk lebih menegaskan identitas mereka. Maka dari itu, mereka mulai menyebut diri mereka sebagai "Ortodoks Koptik" untuk membedakan diri dari dua kelompok besar lainnya:

* Katolik Koptik: Mereka adalah umat Kristen Koptik yang memilih untuk bergabung dengan Gereja Katolik Roma.

Baca Juga: Sejarah Dunia: Mengapa Pemimpin Katolik Disebut dengan Paus?

* Ortodoks Timur: Mayoritas penganut Ortodoks Timur di wilayah ini adalah orang-orang Yunani yang berada di bawah naungan Patriarkat Ortodoks Yunani Alexandria.

Dengan demikian, sebutan "Ortodoks Koptik" tidak hanya mengacu pada keyakinan teologis mereka yang sejalan dengan Gereja Ortodoks Oriental, tetapi juga menjadi penanda sejarah panjang dan identitas unik komunitas Kristen Koptik di Mesir.

Perpecahan teologis

Melansir dari Britannica, pada masa awal perkembangan Kekristenan, perbedaan pandangan teologis sering kali memicu perdebatan sengit yang berujung pada perpecahan.

Salah satu peristiwa paling signifikan yang membentuk identitas Gereja Koptik adalah perselisihan teologis dengan umat Kristen berbahasa Yunani, atau yang sering disebut Melkit, yang terjadi pada abad ke-4 dan ke-5 di Mesir.

Pusat perdebatan terletak pada pemahaman mengenai hakekat Yesus Kristus. Konsili Chalcedon pada tahun 451 menjadi tonggak penting dalam sejarah Gereja karena menghasilkan keputusan yang menyatakan bahwa Yesus Kristus memiliki dua sifat yang sempurna, yaitu ilahi dan manusiawi, yang bersatu dalam satu pribadi. Keputusan ini ditolak oleh Gereja Koptik dan beberapa gereja Timur lainnya.

Gereja Koptik menganut pandangan yang dikenal sebagai monofisitisme, yang menekankan pada satu sifat, yaitu sifat ilahi, dalam diri Yesus Kristus.

Mereka berpendapat bahwa inkarnasi Firman Allah menyatukan kemanusiaan dan ketuhanan sedemikian rupa sehingga menghasilkan satu sifat tunggal. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Miafisitisme yang kemudian diadopsi oleh Gereja Koptik dan gereja-gereja Ortodoks Oriental lainnya.

Miafisitisme, yang berasal dari kata Yunani "mia" yang berarti "satu", menegaskan bahwa dalam diri Kristus terdapat satu sifat yang utuh, yaitu sifat ilahi yang telah mengambil alih kemanusiaan.

Penganut Miafisitisme, termasuk Gereja Koptik, sangat mengacu pada ajaran Santo Cyrilus dari Alexandria yang menyatakan bahwa ada "satu sifat inkarnasi Firman" Allah. Dengan kata lain, kemanusiaan dan ketuhanan Kristus bersatu secara sempurna dalam satu pribadi, sehingga tidak ada pemisahan antara keduanya.

Penting untuk ditekankan bahwa Gereja Koptik dan gereja-gereja Miafisitis lainnya tidak menyangkal keberadaan kemanusiaan Kristus. Mereka justru menegaskan bahwa kemanusiaan dan ketuhanan Kristus memiliki keberadaan yang sama dalam pribadi Kristus. Perbedaan utama terletak pada cara memahami persatuan antara keduanya.

Baca Juga: Pasang Surut Paus dalam Sejarah Kristen Eropa Abad Pertengahan

Pergeseran bahasa dan dinamika kekuasaan

Pasca penaklukan Arab atas Mesir pada abad ke-7, lanskap sosial dan budaya di wilayah ini mengalami perubahan drastis. Salah satu dampak signifikan adalah tergesernya bahasa Yunani yang sebelumnya dominan di kalangan masyarakat Koptik.

Dengan beralihnya bahasa sehari-hari menjadi bahasa Arab, muncullah hambatan baru dalam memahami dan melestarikan ajaran-ajaran gereja.

Perbedaan bahasa ini semakin memperuncing perbedaan teologis yang telah ada sebelumnya antara Gereja Koptik dan Gereja-gereja lain. Berbagai upaya yang dilakukan oleh kaisar Bizantium untuk mencari jalan tengah pun menemui jalan buntu.

Menariknya, meskipun khalifah Arab cenderung mendorong penduduk untuk memeluk Islam, mereka relatif toleran terhadap keberadaan komunitas non-Muslim, termasuk umat Koptik.

Khalifah-khalifah Arab pada umumnya tidak terlalu campur tangan dalam urusan internal gereja. Kebijakan ini memberikan ruang bagi Gereja Koptik untuk terus menjalankan ibadah dan tradisi mereka.

Salah satu bentuk kewajiban yang dikenakan kepada non-Muslim di bawah pemerintahan Islam adalah jizya, semacam pajak kepala. Namun, pada abad ke-18, pajak ini dihapuskan, yang tentunya memberikan keringanan bagi umat Koptik.

Pergeseran bahasa ini juga berdampak pada tata cara ibadah Gereja Koptik. Bahasa Arab, sebagai bahasa yang lebih umum digunakan, mulai diadopsi dalam beberapa bagian liturgi, seperti pembacaan Alkitab dan nyanyian-nyanyian tertentu.

Meski demikian, bahasa Koptik, khususnya dialek Bohairic Alexandria, tetap menjadi bahasa utama dalam liturgi Gereja Koptik. Buku-buku kebaktian yang digunakan dalam peribadatan pun umumnya memuat teks dalam bahasa Koptik dengan terjemahan atau penjelasan dalam bahasa Arab di sampingnya.

Penggunaan bahasa Arab dan Koptik secara bersamaan dalam liturgi mencerminkan upaya Gereja Koptik untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa meninggalkan akar sejarah dan identitasnya.

Meskipun bahasa menjadi penghalang, namun semangat keagamaan umat Koptik tetap menyala, terlihat dari upaya mereka untuk menjaga kelangsungan tradisi dan ajaran gereja di tengah dinamika sejarah yang terus berubah.

Sistem pemerintahan demokratis

Gereja Ortodoks Koptik, salah satu gereja Kristen tertua di dunia, telah menunjukkan keunikan dalam sistem pemerintahannya. Setelah tahun 1890-an, gereja ini mulai mengembangkan sistem yang lebih demokratis dalam pengambilan keputusan.

Struktur pemerintahan Gereja Koptik didominasi oleh Patriark Alexandria dan 12 uskup diosesan. Namun, peran umat awam dalam pengambilan keputusan tidak boleh dianggap remeh.

Dewan-dewan komunitas yang terdiri dari perwakilan umat awam memiliki peran penting dalam mengelola keuangan gereja, sekolah-sekolah yang dikelola gereja, serta berbagai aturan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi umat, seperti pernikahan, warisan, dan sebagainya.

Proses pemilihan Patriark juga melibatkan partisipasi aktif dari umat awam. Ketika Patriark wafat, sebuah kolese elektoral yang mayoritas anggotanya adalah umat awam akan memilih tiga calon Patriark dari kalangan rahib yang memenuhi syarat usia. Setelah melalui proses doa dan pertimbangan yang matang, calon terpilih akan ditentukan melalui undian.

Sebagai pemimpin tertinggi, Patriark Alexandria yang berkedudukan di Kairo sering disebut sebagai Paus. Gelar ini menandakan klaim otoritas apostolik yang berasal dari Santo Markus. 

Saat ini, Paus Tawadros II atau Paus Theodorus II menjadi pemimpin tertinggi Patriark Alexandria. Ia adalah paus ke-118 dari Gereja Ortodoks Koptik atau Gereja Ortodoks Mesir.

Di bawah kepemimpinan Patriark, Gereja Koptik telah berhasil membangun berbagai lembaga pendidikan, seperti sekolah dasar dan menengah, serta sekolah Minggu untuk anak-anak.

Selain itu, Gereja Koptik juga mendirikan Institut Studi Koptik di Kairo, sebuah perguruan tinggi teologi yang dilengkapi dengan museum. Bahkan, ajaran Gereja Ortodoks Koptik telah diakui pentingnya sehingga menjadi bagian dari kurikulum agama Kristen di sekolah-sekolah negeri di Mesir.