Mengenal (Ulang) Blue Carbon, Benteng Tersembunyi Melawan Perubahan Iklim

By Ade S, Sabtu, 31 Agustus 2024 | 12:03 WIB
Mangrove di Raja Ampat. Hutan hijau yang tumbuh di air ini berkontribusi menjaga Bumi tetap dingin. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda membayangkan bahwa laut yang luas dan dalam menyimpan rahasia besar yang dapat membantu kita melawan perubahan iklim?

Rahasia itu adalah blue carbon, karbon yang tersimpan dalam ekosistem laut dan pesisir.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menjadi pemimpin dalam konservasi blue carbon.

Namun, sayangnya, ekosistem pesisir kita saat ini tengah terancam oleh berbagai aktivitas manusia.

Dengan merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Universitas Southern California (USC), artikel ini diharapkan membuka mata Anda tentang pentingnya blue carbon bagi masa depan Indonesia dan mengajak Anda untuk turut serta dalam upaya pelestariannya.

 

Penjaga karbon laut

Pernahkah Anda membayangkan bahwa lahan basah pesisir seperti rawa garam, hutan bakau, dan padang lamun memiliki peran krusial dalam memerangi perubahan iklim?

Meskipun hanya mencakup sebagian kecil dari luas lautan, ekosistem ini, yang sering disebut sebagai "blue carbon" atau "karbon biru", menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Bayangkan, hampir setengah dari seluruh karbon yang tersimpan di sedimen laut tersimpan di sini!

Bagaimana bisa? Sederhananya, ekosistem karbon biru ini berfungsi seperti paru-paru raksasa bagi planet kita. Mereka secara alami menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer dan menguburnya dalam lapisan sedimen di bawahnya. Proses ini sangat penting karena CO2 adalah salah satu gas rumah kaca utama yang menyebabkan pemanasan global.

Namun, keindahan alam ini terancam oleh perubahan iklim itu sendiri. Kenaikan permukaan laut yang terus meningkat mengancam keseimbangan ekosistem rawa garam.

Perubahan kimia air dan gangguan pada mikroorganisme yang berperan penting dalam siklus karbon dapat melepaskan kembali karbon yang telah tersimpan selama berabad-abad. Bayangkan, karbon yang seharusnya terkurung dalam sedimen justru kembali ke atmosfer dan memperparah masalah perubahan iklim.

Baca Juga: Jepang Bakal Andalkan 'Blue Carbon' untuk Kurangi Emisi, Sekaligus Restorasi Pesisirnya

Untuk mengatasi masalah ini, para peneliti dari Universitas Southern California (USC) tengah melakukan studi mendalam di Cagar Alam Upper Newport Bay, Amerika Serikat. Mereka ingin memahami bagaimana kenaikan permukaan laut akan memengaruhi mikroba-mikroba di rawa garam dan pada akhirnya, kemampuan rawa dalam menyerap dan menyimpan karbon.

"Rawa garam, seperti yang ada di Upper Newport Bay, sebenarnya dapat menyimpan karbon sebanyak hutan hujan Amazon atau hutan lainnya di dunia, menjadikannya sekutu yang kuat dalam memerangi perubahan iklim," kata David Bañuelas, peneliti utama proyek, seperti dilansir dari laman EurekAlert.

"Tujuan kami adalah mengembangkan metode untuk memprediksi dan mengurangi kehilangan karbon, mengukur jumlah karbon yang berisiko, dan mengidentifikasi teknik restorasi untuk memastikan penangkapan dan penyimpanan karbon terus berlanjut hingga abad berikutnya."

Makhluk mikroskopis, peran raksasa