Mengenal (Ulang) Blue Carbon, Benteng Tersembunyi Melawan Perubahan Iklim

By Ade S, Sabtu, 31 Agustus 2024 | 12:03 WIB
Mangrove di Raja Ampat. Hutan hijau yang tumbuh di air ini berkontribusi menjaga Bumi tetap dingin. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Untuk mengungkap rahasia dunia mikroba ini, para peneliti dari USC bekerja sama dengan berbagai lembaga, seperti Departemen Ikan dan Margasatwa California. Mereka menjelajahi rawa-rawa Upper Newport Bay dengan kayak dan perahu, mengumpulkan sampel air secara rutin.

Jepang punya cara unik kurangi emisi! Dengan memanfaatkan 'blue carbon', mereka restorasi pesisir sambil lawan perubahan iklim. (Serp Pae)

Di laboratorium, sampel-sampel ini diproses secara cermat. Para ilmuwan mengekstrak DNA dari mikroorganisme untuk mengidentifikasi jenis-jenis mikroba yang ada. Dengan bantuan komputer, mereka kemudian menganalisis kode genetik mikroba untuk memahami kemampuan mereka dalam mengolah karbon.

Salah satu kelompok mikroba yang menjadi fokus penelitian adalah SAR11, sejenis plankton yang sangat melimpah di lautan. Mikroba ini memiliki peran penting dalam siklus karbon global.

Para peneliti ingin mengetahui bagaimana perubahan salinitas air akibat kenaikan permukaan laut akan memengaruhi populasi SAR11 dan mikroba lainnya.

"Tujuan kami adalah untuk memprediksi secara akurat di mana mikroba yang berbeda akan ditemukan berdasarkan perkiraan salinitas di area yang luas dan jangka waktu tertentu," kata Bañuelas.

"Terobosan ini akan membantu kami mengantisipasi dan menanggapi dampak perubahan iklim, memungkinkan kami untuk melindungi daerah aliran sungai yang rentan kami dengan lebih baik."

Baca Juga: Perubahan Iklim dan Keberlanjutan Mangrove di Wilayah Pesisir Papua

Masa depan karbon biru

Untuk menjaga dan memulihkan kekayaan karbon yang tersimpan di rawa garam Upper Newport Bay, para peneliti tak hanya mengamati, namun juga merancang solusi yang lebih aktif.

Mereka bekerja sama dengan para ahli teknik sipil untuk mengembangkan model komputer canggih yang mampu memprediksi perubahan ekosistem rawa garam akibat perubahan iklim.

Felipe de Barros, seorang ahli teknik sipil dari USC Viterbi School of Engineering, berperan penting dalam pengembangan model ini. Model tersebut mampu mensimulasikan interaksi kompleks antara air, tanah, dan mikroorganisme di rawa garam.

"Dengan model prediktif, kami dapat mengukur keseimbangan karbon antara laut dan lahan basah pesisir, memungkinkan kami untuk membuat keputusan rasional untuk menjaga ekosistem vital ini," kata de Barros.

"Model-model ini juga memungkinkan kami untuk memprediksi bagaimana kondisi hidrologis yang berbeda dapat mempengaruhi keseimbangan karbon."

Model komputer ini tidak hanya mampu memprediksi, namun juga membantu para peneliti dalam mengambil keputusan yang tepat untuk melindungi rawa garam.

Dengan memahami bagaimana perubahan salinitas air akan memengaruhi komunitas mikroba, para peneliti dapat merancang strategi pengelolaan yang lebih efektif.

Penelitian ini tidak hanya terbatas pada Upper Newport Bay. Temuan-temuan yang diperoleh dari penelitian ini dapat diaplikasikan pada ekosistem pesisir lainnya di seluruh dunia.

"Dengan mempelajari keterkaitan salinitas, komunitas mikroba, dan siklus karbon di Upper Newport Bay, kami mengembangkan cetak biru untuk memahami dan memprediksi dampak perubahan lingkungan pada ekosistem pesisir di seluruh dunia," kata Thrash.

"Masa depan planet kita bergantung pada kesehatan lautan dan ekosistem pesisir kita," kata Bañuelas. "Dengan menjaga habitat karbon biru, kami mengambil langkah penting menuju masa depan yang lebih berkelanjutan."