Nationalgeographic.co.id—Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, adalah sosok yang sangat dihormati dan dikagumi oleh jutaan umat di seluruh dunia.
Namun, tidak semua Paus berkesempatan untuk diakui sebagai Santo setelah wafat.
Mengapa demikian? Apa yang membedakan seorang Paus yang dinyatakan sebagai Santo dengan yang lainnya? Apakah ada standar khusus yang harus dipenuhi? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin pernah terlintas di benak Anda.
Artikel ini akan mengupas tuntas proses kanonisasi seorang Paus dan mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk mengangkat seorang Paus menjadi Santo.
Kala dua Paus masuk barisan para santo
Tahun 2014 menjadi saksi sejarah bagi Gereja Katolik Roma. Dalam sebuah peristiwa langka, dua Paus, Yohanes Paulus II dan Yohanes XXIII, secara resmi dinobatkan sebagai orang suci. Dengan demikian, keduanya bergabung dengan barisan panjang para pemimpin gereja yang telah diakui atas kesucian hidupnya.
Melansir pewresearch.org, Penobatan ini menjadikan mereka Paus ke-79 dan ke-80 yang meraih gelar kehormatan tersebut. Sejak zaman modern, peristiwa serupa memang tidak sering terjadi. Hanya sekitar 30% dari seluruh Paus yang pernah memimpin Gereja Katolik yang berhasil mencapai status kesucian.
Jika kita menengok jauh ke belakang, pada 500 tahun pertama Kekristenan, dari total 55 Paus, sebanyak 52 di antaranya dinobatkan sebagai santo. Santo Petrus, yang dipercaya sebagai pemimpin pertama gereja setelah wafatnya Yesus Kristus, menjadi salah satu figur yang paling awal mendapatkan gelar tersebut.
Namun, dalam kurun waktu 1.000 tahun terakhir, jumlah Paus yang dikanonisasi jauh lebih sedikit, yakni hanya tujuh orang. Penobatan bersama Paus Yohanes Paulus II dan Yohanes XXIII pada tahun 2014 merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah 2.000 tahun Gereja Katolik.
Percepatan yang belum pernah terjadi
Kematian Paus Yohanes Paulus II pada tahun 2005 menyisakan duka mendalam bagi umat Katolik di seluruh dunia. Ratusan ribu orang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, Roma, untuk memberikan penghormatan terakhir.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Mengapa Pemimpin Katolik Disebut dengan Paus?
Di tengah kesedihan mendalam, sebuah seruan lantang menggema: "Santo, subito!" atau "Kesucian, sekarang!" dalam bahasa Italia. Suara massa ini seakan menjadi refleksi dari kekaguman dan penghormatan yang begitu mendalam terhadap sosok Paus yang karismatik ini.
Menanggapi aspirasi umat, Paus Benediktus XVI, penerus Yohanes Paulus II, mengambil langkah yang tak biasa. Beliau memutuskan untuk mempercepat proses kanonisasi, sebuah langkah yang sangat jarang terjadi dalam sejarah Gereja Katolik.
Sebelumnya, masa tunggu untuk memulai proses kanonisasi adalah lima tahun setelah kematian seseorang. Yohanes Paulus II sendiri telah mempersingkat masa tunggu ini dari tradisi 50 tahun.
Hanya dalam waktu sembilan tahun, Yohanes Paulus II secara resmi dinobatkan sebagai santo. Ini adalah sebuah percepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Gereja Katolik.
Untuk memberikan gambaran, sejak berdirinya Kongregasi untuk Penyebab Orang Suci pada tahun 1588, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mengkanonisasi seseorang adalah 181 tahun.
Mengapa Yohanes Paulus II begitu istimewa?
Apa yang membuat proses kanonisasi Yohanes Paulus II begitu cepat? Tentu saja, popularitas dan pengaruhnya yang sangat besar menjadi salah satu faktor utama.
Selain itu, banyak yang melihat kehidupan dan karya-karyanya sebagai teladan bagi umat Katolik di seluruh dunia. Perjalanan panjangnya mengelilingi dunia, perjuangannya melawan komunisme, dan dedikasinya pada kaum muda menjadi beberapa alasan mengapa begitu banyak orang mengaguminya.
Meskipun Paus Yohanes Paulus II merupakan sosok yang sangat istimewa, ia hanyalah salah satu dari ribuan orang suci yang diakui oleh Gereja Katolik. Secara resmi, Gereja mengajarkan bahwa semua orang yang berada di surga adalah orang suci.
Namun, tidak semua orang suci diakui secara resmi atau dikanonisasi. Proses kanonisasi sendiri bertujuan untuk memberikan pengakuan resmi terhadap kehidupan seseorang yang dianggap telah menjalani kebajikan Kristen yang heroik dan layak untuk dicontoh.
Selama seribu tahun pertama sejarah Gereja, pengakuan terhadap seorang sebagai santo sering kali didasarkan pada permintaan populer. Akibatnya, sulit untuk menghitung secara pasti jumlah orang suci yang ada. Beberapa perkiraan menyebutkan angka yang sangat besar, bahkan mencapai puluhan ribu.
Baca Juga: Mengapa Gereja Ortodoks Koptik Alexandria Memiliki Paus Sendiri?
Evolusi proses penobatan santo
Jika kita menengok ke belakang, pada tahun 993, Santo Ulrich dari Augsburg menjadi orang suci pertama yang secara resmi dinobatkan oleh Paus. Keputusan ini menandai tonggak awal dalam upaya Gereja Katolik untuk memberikan pengakuan resmi terhadap kehidupan para kudus.
Namun, pada masa itu, proses penobatan santo masih sangat sederhana dan lebih didasarkan pada tradisi serta kesepakatan umum. Seiring berjalannya waktu, Gereja merasa perlu untuk membuat proses ini lebih terstruktur dan objektif.
Pada abad ke-12, sebuah langkah signifikan diambil dengan memusatkan wewenang penobatan santo di tangan Paus. Paus sendiri yang memimpin komisi khusus untuk menyelidiki dan mendokumentasikan kehidupan calon santo.
Puncak dari sentralisasi ini terjadi pada tahun 1243, ketika Paus Gregorius IX secara tegas menyatakan bahwa hanya Paus yang memiliki otoritas mutlak untuk mengkanonisasi seseorang. Keputusan ini menjadi landasan bagi proses kanonisasi modern yang kita kenal saat ini.
Hanya saja, meskipun proses kanonisasi telah mengalami banyak perubahan selama berabad-abad, satu hal yang tetap konstan adalah kerumitan dan lamanya proses tersebut. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan fenomena yang cukup menarik: lonjakan jumlah kanonisasi.
Paus Yohanes Paulus II, misalnya, dikenal sebagai Paus yang sangat produktif dalam hal mengkanonisasi orang suci. Selama masa kepemimpinannya, lebih dari 482 orang dinobatkan sebagai santo. Angka ini jauh melampaui jumlah total kanonisasi selama 600 tahun sebelumnya.
Paus Fransiskus juga tidak kalah produktif. Kanonisasi pertamanya saja melibatkan 813 orang yang dikenal sebagai "Martir Otranto". Para martir ini adalah penduduk kota Otranto di Italia yang dibunuh oleh tentara Ottoman pada tahun 1480 karena menolak untuk memeluk agama Islam.
Mukjizat dan jalan menuju kesucian
Proses pengangkatan seseorang menjadi santo atau santa, yang dikenal sebagai kanonisasi, telah mengalami evolusi yang panjang dan kompleks. Pada awalnya, para kudus terbagi menjadi dua kategori utama: martir dan pengaku iman.
Martir adalah mereka yang mati karena iman mereka, sementara pengaku iman adalah mereka yang hidup kudus tanpa mengalami kematian martir. Untuk dinyatakan sebagai santo, seorang martir awalnya hanya perlu menunjukkan satu mukjizat setelah kematiannya.
Baca Juga: Pasang Surut Paus dalam Sejarah Kristen Eropa Abad Pertengahan
Namun, persyaratan untuk para pengaku iman jauh lebih ketat. Sebelum tahun 1983, seorang pengaku iman harus membuktikan empat mukjizat untuk dapat dikanonisasi.
Angka ini kemudian direvisi menjadi dua mukjizat. Kasus Paus Yohanes XXIII bahkan lebih istimewa, di mana Paus Fransiskus memutuskan untuk menghapuskan persyaratan mukjizat kedua.
Mukjizat memang selalu menjadi bagian penting dalam proses kanonisasi. Mukjizat dianggap sebagai tanda nyata dari campur tangan ilahi dan bukti bahwa orang yang bersangkutan telah mencapai kesucian dan dapat menjadi perantara doa bagi umat beriman. Hanya saja, apa yang dianggap sebagai mukjizat telah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Meski demikian, keyakinan akan adanya mukjizat masih sangat kuat di kalangan umat beriman. Sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research pada tahun 2007 menunjukkan bahwa sebagian besar orang Amerika percaya bahwa mukjizat masih terjadi hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa konsep mukjizat masih relevan dan memiliki makna yang mendalam bagi banyak orang.
Paus Yohanes Paulus II, yang dikanonisasi dengan proses yang sangat cepat, juga harus memenuhi persyaratan mukjizat. Dua mukjizat yang diakui dalam kasusnya adalah pemulihan seorang biarawati Prancis dari penyakit Parkinson dan kesembuhan seorang wanita Kosta Rika dari aneurisma otak.
Kedua mukjizat ini dianggap sebagai bukti nyata dari kuasa doa Paus Yohanes Paulus II dan menjadi salah satu alasan utama mengapa beliau dinyatakan sebagai santo.
Momentum mendadak dan bayang-bayang skandal
Salah satu faktor yang berkontribusi pada lonjakan jumlah kanonisasi adalah perubahan sikap para Paus. Beberapa Paus terakhir, seperti Yohanes Paulus II, sangat aktif dalam mempromosikan proses kanonisasi. Mereka melihat kanonisasi sebagai cara untuk menghormati para hamba Tuhan yang telah memberikan kontribusi besar bagi Gereja dan dunia.
Selain itu, adanya dokumen-dokumen sejarah yang lebih lengkap dan mudah diakses juga memudahkan para ahli untuk menyelidiki kehidupan calon santo. Dengan demikian, proses kanonisasi dapat berjalan lebih cepat dan efisien.
Fenomena menarik lainnya adalah semakin banyaknya Paus yang menjadi calon santo. Tren ini menunjukkan bahwa Gereja semakin menghargai peran para pemimpinnya dan ingin memberikan pengakuan resmi atas jasa-jasa mereka.
Meski demikian, proses kanonisasi tetap panjang dan kompleks. Termasuk melibatkan penyelidikan mendalam terhadap kehidupan dan karya individu tersebut.
Para calon santo akan melalui proses penyelidikan yang ketat oleh otoritas gereja, di mana berbagai dokumen dan wawancara dikumpulkan sebagai bahan pertimbangan bagi Paus dalam mengambil keputusan akhir.
Namun, proses kanonisasi Paus Yohanes Paulus II tidak lepas dari kontroversi. Mengingat skandal pelecehan seksual oleh klerus yang terjadi selama masa kepausannya, muncul pertanyaan mengenai apakah penyelidik Vatikan telah memberikan perlakuan khusus atau kelonggaran tertentu kepada Paus yang sangat populer ini.
Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa mayoritas umat Katolik di Amerika Serikat menginginkan Paus Fransiskus untuk memprioritaskan penanganan skandal pelecehan seksual oleh klerus. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini sangat sensitif dan menjadi perhatian utama bagi banyak umat.
Sebaliknya, survei-survei yang dilakukan pada tahun 1980-an dan 1990-an menunjukkan tingkat popularitas Paus Yohanes Paulus II yang sangat tinggi di kalangan umat Katolik Amerika Serikat. Selama periode tersebut, hampir seluruh umat Katolik di Amerika Serikat memandang Paus Yohanes Paulus II secara positif.
Jika dibandingkan dengan Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus, popularitas Paus Yohanes Paulus II memang sangat menonjol. Meskipun Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus juga memiliki tingkat popularitas yang tinggi, namun tidak setinggi Paus Yohanes Paulus II.