Bagaimana Hubungan Politik Komunitas Arab di Batavia dan Ottoman?

By Muflika Nur Fuaddah, Rabu, 4 September 2024 | 08:00 WIB
Potret pedagang Arab yang berdagang dan bermukim di Batavia. (Collectie Tropenmuseum)

Penelitian Van den Berg di atas tampaknya dipengaruhi oleh tren ini, karena penelitian ini dimotivasi oleh keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menemukan potensi bahaya dalam masyarakat Hadrami, terutama terkait dengan Pan-Islamisme.

Perubahan yang terjadi dalam masyarakat Hadrami sangat terkait dengan masalah yang mereka rasakan di Hindia Belanda pada abad ke-19, serta dengan pengaruh ide-ide reformasi dan juga Pan-Islamisme yang ditransmisikan dari Timur Tengah.

Peningkatan migran Hadrami ke kepulauan Indonesia terjadi sejak akhir abad ke-18. Di masa lalu, mereka memasuki wilayah ini melalui Aceh, setelah sebelumnya transit di Malabar.

Dari sana mereka menyebar ke Palembang, Pontianak, dan Jawa. Pada abad ke-19, Singapura mulai menjadi tempat persinggahan pertama bagi para migran ini, dan pada akhir abad tersebut Singapura sepenuhnya menggantikan Aceh.

Jumlah migran yang semakin bertambah menyebabkan terbentuknya kampung Arab di beberapa kota di Jawa dan beberapa pulau lainnya pada abad ke-19. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial mulai mengatur komunitas ini dengan lebih ketat dan menunjuk kepala komunitas (letnan atau kapten Arab) di kota-kota tertentu di mana populasi Arab cukup besar.

Di Batavia, misalnya, kampung Arab merupakan salah satu yang terbesar di kepulauan tersebut dan memiliki kepala komunitas Arab sejak tahun 1844. Kampung Arab di Batavia terletak di sebuah distrik yang disebut Pekojan, sebuah nama yang awalnya menunjukkan keberadaan populasi Bengali yang pada abad ke-19 telah digantikan oleh orang Arab.

Namun, hanya sedikit orang Arab yang diizinkan tinggal di distrik lain di Batavia, seperti Krukut dan Tanah Abang. Komunitas Arab di Pekojan umumnya tinggal di rumah bata seperti populasi Eropa yang tinggal di Batavia lama.

Beberapa rumah menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang kaya. Namun, pada abad ke-19 Pekojan menjadi penuh sesak oleh populasi Arab dan lingkungannya tidak sehat.

Sebelum tahun 1859, tidak ada data statistik yang menunjukkan jumlah pasti populasi Arab di Hindia Belanda. Namun, statistik yang tersedia setelah tahun itu menunjukkan peningkatan populasi yang signifikan.

Di Jawa dan Madura, populasi Arab berlipat ganda dari 4.992 pada tahun 1859 menjadi 10.888 pada tahun 1885. Di Sumatra, angka-angka untuk tahun-tahun sensus ini lebih dari tiga kali lipat dari 2.776 menjadi 9.613. Adapun Batavia, peningkatan dalam rentang dua puluh enam tahun itu lebih dari lima kali lipat, yaitu dari 312 menjadi 1662.

Angka ini terus meningkat hingga awal abad ke-20. Peningkatan yang signifikan ini menyebabkan lonjakan populasi di kampung Arab yang sudah ada.

Secara alami, hal ini seharusnya menyebabkan perluasan kampung atau keluarnya beberapa orang Arab dari kampung ke daerah lain yang dihuni oleh pribumi, dengan konsekuensi menjadi lebih berasimilasi dengan pribumi, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya.

Namun, pada abad ke-19, pemerintah kolonial memperkenalkan peraturan yang mencegah hal ini terjadi. Pemerintah kolonial membatasi tempat tinggal dan pergerakan orang Arab serta tidak ingin mereka mudah berbaur dengan penduduk pribumi.