Makin Menular Meski Sudah Ditemukan Setengah Abad Silam, Mpox Jadi Bukti Kelalaian Global?

By Ade S, Rabu, 4 September 2024 | 11:03 WIB
Ketidakmampuan komunitas internasional di masa lalu telah menciptakan kondisi ideal bagi mpox untuk berevolusi menjadi bentuk yang lebih menular. (NIAID)

Nationalgeographic.co.id—Mpox, penyakit yang seakan-akan terlupakan di balik bayang-bayang pandemi, kini kembali menghantui dunia.

Bagaimana bisa sebuah virus yang sudah dikenal sejak setengah abad lalu masih mampu menciptakan wabah global yang begitu dahsyat?

Di balik angka-angka kasus yang terus meningkat dan nyawa yang melayang, tersimpan kisah kelalaian global yang memilukan.

Artikel ini akan menguak fakta-fakta mengejutkan tentang mpox, mulai dari mutasi virus yang semakin ganas hingga kegagalan sistem kesehatan dunia dalam merespons ancaman ini.

Korban kelalaian global

Wabah mpox yang semakin meluas di benua Afrika telah menyoroti kegagalan global dalam mengatasi penyakit menular. Para ahli kesehatan memperingatkan bahwa wabah ini bukanlah sekadar kejadian kebetulan, melainkan akibat dari dekade-dekade kelalaian dalam menghadapi penyakit ini.

Menurut Dr. Dimie Ogoina, pemimpin komite darurat mpox WHO, ketidakmampuan komunitas internasional untuk menghentikan penyebaran sporadis mpox di masa lalu telah menciptakan kondisi ideal bagi virus ini untuk berevolusi menjadi bentuk yang lebih menular. Negara-negara dengan sumber daya terbatas menjadi sasaran utama, semakin memperparah situasi.

"Apa yang kita lihat di Afrika sekarang sangat berbeda dari wabah global tahun 2022," tegas Dr. Ogoina dalam konferensi pers virtual, seperti dilansir dari ABC News.

Jika sebelumnya mpox lebih banyak ditemukan pada pria gay dan biseksual, kini virus ini telah menyebar lebih luas melalui kontak seksual dan kontak dekat di antara berbagai kelompok usia, termasuk anak-anak, wanita hamil, dan kelompok rentan lainnya.

Salah satu faktor utama yang memperburuk situasi adalah rendahnya tingkat kekebalan terhadap mpox di kalangan penduduk Afrika. Sebagian besar orang di atas usia 50 tahun di benua ini pernah divaksinasi cacar, yang memberikan perlindungan parsial terhadap mpox. Namun, populasi muda di Afrika, yang sebagian besar belum pernah divaksinasi, sangat rentan terhadap infeksi.

Mpox sendiri termasuk dalam keluarga virus yang sama dengan cacar tetapi menyebabkan gejala yang lebih ringan seperti demam dan nyeri tubuh.

Baca Juga: Sudah Masuk ke Indonesia, Bagaimana Cara Mengobati Cacar Monyet?

Penyakit ini sebagian besar menyebar melalui kontak kulit-ke-kulit yang dekat, termasuk hubungan seksual. Orang dengan kasus yang lebih serius dapat mengembangkan lepuh yang menonjol di wajah, tangan, dada, dan alat kelamin.

Varian yang lebih menular

Seperti diketahui, bayang-bayang wabah mpox kembali menghantui Afrika. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan keadaan darurat global menyusul lonjakan kasus yang mengkhawatirkan di Kongo dan beberapa negara lainnya.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika melaporkan angka yang semakin mengkhawatirkan: lebih dari 22.800 kasus dan 622 kematian, dengan peningkatan kasus hingga 200% dalam seminggu terakhir. Kongo menjadi episentrum wabah ini, dengan sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun.

Di balik lonjakan kasus ini, para ilmuwan menemukan sebuah fakta mengejutkan: munculnya varian baru mpox yang lebih menular. Hal ini dikonfirmasi oleh Dr. Placide Mbala-Kingebeni, seorang ilmuwan asal Kongo, yang berhasil mengidentifikasi varian baru ini.

Melalui penelitiannya, ia menemukan bahwa mutasi pada virus ini membuatnya lebih mudah menular dari manusia ke manusia. Sayangnya, keterbatasan dalam hal tes diagnostik di Kongo dan negara-negara lain membuat pelacakan penyebaran varian baru ini menjadi sangat sulit.

"Varian baru ini telah beradaptasi dengan sangat baik untuk menular pada manusia," ungkap Dr. Mbala-Kingebeni.

Lebih mengkhawatirkan lagi, varian baru ini tidak hanya terbatas di Afrika. Kasus pertama dengan varian yang lebih menular ini juga telah terdeteksi di Swedia, menunjukkan seberapa cepat virus ini dapat menyebar ke berbagai belahan dunia.

Meskipun penelitian masih terus dilakukan, WHO menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada bukti yang menunjukkan bahwa varian baru ini lebih berbahaya. Namun, kemampuannya untuk menyebar lebih cepat merupakan ancaman serius yang tidak boleh dianggap remeh.

Tantangan ganda dan harapan yang memudar

Marion Koopmans, seorang ahli virologi terkemuka, mengungkapkan bahwa wanita hamil yang terinfeksi mpox sering mengalami keguguran atau melahirkan bayi yang sudah terinfeksi. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan dan menyoroti betapa seriusnya dampak mpox bagi kesehatan reproduksi.

Baca Juga: Berbeda dengan Cacar Air, Cacar Mpox Tidak Bisa Gunakan Vaksin yang Sama

Di tengah situasi yang semakin mendesak, para pekerja kesehatan di Afrika menghadapi tantangan yang sangat berat. Tanpa adanya vaksin dan obat-obatan khusus untuk mpox, mereka hanya bisa memberikan perawatan suportif.

Ogoina menekankan pentingnya dukungan nutrisi dan kesehatan mental bagi pasien mpox, mengingat stigma yang seringkali menyertai penyakit ini.

"Sungguh ironis bahwa kita telah hidup berdampingan dengan virus ini selama puluhan tahun, namun hingga saat ini kita masih belum memiliki terapi yang efektif," ujar Ogoina.

Sementara itu, Mbala-Kingebeni menyarankan agar strategi yang pernah berhasil diterapkan dalam mengatasi wabah Ebola dapat menjadi rujukan.

Dengan keterbatasan pasokan vaksin, ia mengusulkan agar vaksinasi difokuskan pada daerah-daerah yang menjadi pusat penyebaran virus. "Dengan cara ini, kita dapat lebih efektif dalam menghentikan rantai penularan," jelasnya.

Sayangnya, harapan untuk segera mendapatkan vaksin dalam jumlah yang cukup masih sangat tipis. Koopmans menegaskan bahwa kita tidak bisa terus menunggu. "Pertanyaan yang mendesak sekarang adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan vaksin yang ada secara optimal," ujarnya.

Donasi vaksin mpox ke Afrika

Dalam upaya global melawan wabah mpox yang semakin meluas di Afrika, Spanyol telah mengambil langkah signifikan dengan mengumumkan donasi besar-besaran vaksin.

Kementerian Kesehatan Spanyol menyatakan komitmennya untuk menyumbangkan 20% dari total stok vaksin mpox mereka, setara dengan sekitar 500.000 dosis, kepada negara-negara Afrika yang paling membutuhkan.

Keputusan Spanyol ini didorong oleh kesadaran akan pentingnya solidaritas global dalam menghadapi pandemi. "Tidak ada gunanya menimbun vaksin jika ada negara lain yang sangat membutuhkan," tegas Kementerian Kesehatan Spanyol.

Lebih lanjut, Spanyol juga menyerukan kepada negara-negara anggota Uni Eropa lainnya untuk mengikuti jejak mereka dan turut menyumbangkan sebagian dari stok vaksin mereka.

Donasi Spanyol ini merupakan kabar baik di tengah situasi yang semakin mendesak. Jumlah vaksin yang disumbangkan oleh Spanyol jauh melampaui janji yang telah dibuat oleh Uni Eropa, produsen vaksin Bavarian Nordic, dan Amerika Serikat.

Sebagai perbandingan, Uni Eropa dan Bavarian Nordic sebelumnya hanya berkomitmen untuk menyumbangkan 215.000 dosis, sementara Amerika Serikat akan memberikan 50.000 dosis.

Sebagai bentuk dukungan lebih lanjut, Amerika Serikat juga telah mengirimkan 10.000 dosis vaksin mpox ke Nigeria. Nigeria, yang telah melaporkan puluhan kasus mpox tahun ini, menjadi negara pertama di Afrika yang menerima bantuan vaksin setelah WHO mengumumkan status darurat global untuk wabah ini.