Sebagian Orang Tidak Alami Stres, Tapi Apakah Mereka Lebih Bahagia?

By Sysilia Tanhati, Selasa, 10 September 2024 | 10:00 WIB
Penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pemicu stres dan cara kita bereaksi sebenarnya dapat bermanfaat. (Pexelx/Julia Avamotive)

Nationalgeographic.co.id—Susan Charles gemar mencari tahu apa yang membuat orang bahagia. Sepanjang kariernya, ia mempelajari proses emosional di rentang hidup orang dewasa. Profesor ilmu psikologi di University of California ini kerap meneliti perihal kebahagiaan.

Sebagian besar emosi dialami dalam konteks sosial. Jadi apa yang membuat kita bahagia sering kali adalah apa yang membuat kita aman, ungkapnya. “Apa yang membuat kita menikmati kebersamaan dengan orang lain itu menambah makna dalam hidup kita.”

Untuk itu, mengukur pemicu stres harian adalah bagian dari upaya membuka kunci menuju kebahagiaan.

Studi tentang kesehatan dan kesejahteraan

Sebagian besar datanya berasal dari harta karun informasi yang dikenal sebagai seri Midlife in the United States (MIDUS). MIDUS adalah studi longitudinal inovatif yang berbasis di University of Wisconsin–Madison. Studi ini melacak kesehatan dan kesejahteraan partisipan melalui catatan harian dan survei yang dilakukan melalui telepon.

Ada tiga gelombang besar pengumpulan data setiap 10 tahun, pada tahun 1995, 2005, dan 2015. Tim juga melakukan survei keempat khusus pada tahun 2012 untuk menangkap dampak Resesi Hebat, pemicu stres kolektif. Para peneliti kini juga mengumpulkan data khusus yang melacak dampak pandemi.

Selama 8 hari berturut-turut, peserta berbicara kepada seorang peneliti melalui telepon tentang hari mereka. Responden berbagi apakah mereka mengalami stresor atau tidak.

Contoh dari stresor yang dimaksud antara lain bertengkar dengan teman atau memiliki masalah di tempat kerja. Stresor tersebut tidak mengancam jiwa tetapi dapat mengganggu.

Charles menyelidiki survei ini. Ia ingin belajar dari jawaban-jawaban tersebut tentang bagaimana orang yang berbeda bereaksi terhadap dan menangani stres. Namun, ia terus-menerus harus membuang sebagian kecil data.

Sepuluh persen responden menjawab “tidak” atas pertanyaan tentang apakah mereka mengalami stres dalam pelbagai bentuk pada hari itu. Dengan kata lain, selama 8 hari berturut-turut, peserta ini tidak mengalami sedikit pun stres kehidupan sehari-hari yang normal.

Awalnya, hal-hal yang tidak biasa ini tidak berarti bagi Charles. Baginya, orang yang tidak merasakan atau mengalami stres tidak dapat membantunya memahami bagaimana orang mengatasi stres. Namun, muncul rasa penasaran: siapakah orang-orang yang termasuk dalam 10% responden itu?

Baca Juga: Perang Seperti di Israel-Palestina Picu Stres pada Hewan Liar dan Peliharaan

Berkah atau musibah?

Hidup tanpa stres dan pemicu stres mungkin terdengar indah, tetapi mungkin hal ini tidak selamanya menguntungkan.

Charles dan rekan-rekannya menemukan bahwa tanpa stres, seseorang melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi daripada populasi umum. Selain itu, mereka juga mengalami tingkat masalah kesehatan kronis lainnya yang lebih rendah.

Namun, orang-orang yang tidak mengalami stres juga menunjukkan tanda-tanda penurunan kognitif. Misalnya perhatian dan konsentrasi yang lebih rendah serta memori jangka pendek dan jangka panjang yang lebih buruk.

Sebagian bahkan menghadapi pemecahan masalah yang lebih buruk dan kemampuan yang lebih rendah untuk fokus atau menghambat perilaku yang tidak diinginkan.

Pesan dari penelitian itu adalah kita semua harus belajar menghargai setiap pemicu stres yang kita hadapi. Tidak semua momen respons stres diciptakan sama.

Seperti halnya rasa sakit, pengalaman stres secara umum bersifat universal, tetapi apa yang memicu sistem ini sangat subjektif. Dua orang, yang keduanya mampu mengalami stres, dapat menghadapi pemicu stres yang sama.

Misalnya tampil dalam drama sekolah dan masing-masing menanganinya secara berbeda. Satu orang mungkin terdiam di bawah sorotan lampu dan yang lain mungkin merasa benar-benar nyaman di atas panggung.

Sama halnya dengan rasa sakit, tidak mengalami stres dapat membantu seseorang menghindari satu masalah. Tapi juga dapat memunculkan masalah lain.

Orang yang tidak merasakan sakit dapat menghindari salah satu sensasi yang paling tidak menyenangkan dalam hidup. Namun, mereka juga rentan terhadap cedera, karena rasa sakit memicu refleks yang membuat kita aman.

Refleks itulah yang memberi tahu kita untuk mengangkat tangan dari kompor yang panas. Seseorang yang tidak merasakan sakit dapat berakhir dengan kulitnya terbakar.

Baca Juga: Balada Nestapa Kewarasan dan Kesejahteraan Nelayan yang Terabaikan

Sementara itu, respons stres memungkinkan kita untuk mengalami spektrum penuh kehidupan dan memfasilitasi pembelajaran. Hipokampus—bagian otak yang membantu mendorong pembelajaran melalui ingatan—menyukai hal-hal baru.

Berhasil mengatasi stresor kehidupan sehari-hari yang kecil menghadirkan banyak hal baru. Juga kesempatan untuk berkembang.

Tanpa tantangan yang tidak mengancam jiwa ini, otak mulai menderita. Hal ini mungkin yang menjadi penyebab rendahnya daya ingat dan keterampilan memecahkan masalah.

Charles tidak akan pernah bisa sepenuhnya menjawab pertanyaan tentang siapa orang-orang yang bebas stres ini. Identitas mereka dijaga ketat oleh Carol Ryff, seorang psikolog di University of Wisconsin–Madison yang menjalankan studi MIDUS.

Namun, Charles mengetahui profil umum orang yang bebas stres. Kelompok itu biasanya adalah pria yang lebih tua, belum menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Mereka yang tidak stres juga melaporkan aktivitas harian yang jauh lebih sedikit daripada kelompok lainnya. Namun, mereka menonton TV dengan frekuensi lebih tinggi daripada mereka yang melaporkan mengalami stres harian.

Hal yang paling menarik adalah banyak yang menyangka bila memiliki lebih sedikit interaksi sosial menurunkan stres harian seseorang. Dari aktivitas harian yang ditangkap data MIDUS, mereka yang tidak stres melaporkan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk berinteraksi dengan orang lain.

Tetapi Charles mencatat paradoks di sini. Memiliki lebih banyak dukungan sosial juga merupakan penyangga yang efektif terhadap stres.

“Kita tahu bahwa orang-orang sering kali menjadi sumber stres kita dalam hidup,” kata Charles sambil tertawa hangat. Ia jua menambahkan, “Namun, orang lain juga benar-benar penting bagi kita; kita adalah makhluk sosial.”

Jumlah dukungan sosial yang ideal yang membuat kita berkembang secara kognitif. Namun, terlalu banyak menghabiskan waktu dengan orang lain juga bisa menjadi sumber stresnya sendiri. Peran jaringan sosial, seperti banyak aspek pengalaman stres, adalah sesuatu yang terus-menerus dieksplorasi oleh para peneliti.