Toyotomi Hideyoshi adalah orang pertama yang mencapai tujuan tersebut. Ia menyatukan Jepang pada tahun 1590. Mulai tahun 1603, penerus Hideyoshi, Keshogunan Tokugawa, memimpin era yang relatif damai dan makmur.
Awalnya, banyak penguasa feodal yang bertikai memeluk agama Katolik. Mereka menganggapnya sebagai cara untuk melemahkan mereka yang berkuasa. Pada puncaknya, agama Katolik di Jepang memiliki sekitar 500.000 penganut, sebagian besar dari mereka tinggal di Nagasaki.
Para petani yang tertindas tertarik pada agama Katolik karena janji keselamatan. Sementara para pedagang dan daimyo lebih tertarik dengan peluang ekonomi yang diberikan oleh agama baru tersebut.
Namun, Hideyoshi dengan cepat menjadi skeptis terhadap sistem kepercayaan yang memiliki hubungan dekat dengan kekuatan asing: yaitu Portugal dan Roma.
Portugal merupakan rumah bagi banyak misionaris Ordo Serikat Yesus. Sedangkan Roma adalah tempat Gereja Katolik berpusat.
Para pemimpin Kekaisaran Jepang berusaha menyingkirkan agama Katolik. Selain itu, mereka juga berusaha menyingkirkan orang asing sebagai ancaman politik terhadap keamanan kekaisaran.
“Jadi, agama Katolik dan orang asing merupakan kedua hal itu saling terkait," kata Kiri Paramore, seorang sejarawan di Universitas Nasional Irlandia.
Pada tahun 1587, Hideyoshi mengusir misionaris Katolik. Sang shogun menuduh mereka melakukan tindakan ilegal menghancurkan ajaran Buddha. Buddhisme merupakan ajaran yang dominan di Kekaisaran Jepang saat itu.
Satu dekade kemudian, panglima perang itu memerintahkan eksekusi terhadap 26 umat Katolik. Termasuk misionaris Fransiskan dan orang Jepang yang pindah agama.
Martir termuda adalah seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama Luis Ibaraki. Ia dilaporkan menolak kesempatan untuk menyelamatkan hidupnya dengan meninggalkan agama Katolik.
Ibaraki justru berkata, “Saya tidak ingin hidup dalam kondisi seperti itu. Karena tidak masuk akal untuk menukar kehidupan yang tidak ada habisnya dengan kehidupan yang akan segera berakhir.”
Semua orang Katolik disalibkan di Bukit Nishizaka. Di tempat yang sama, 55 martir juga menemui ajalnya 25 tahun kemudian atas perintah Tokugawa Hidetada. Hidetada adalah pemimpin kedua keshogunan Tokugawa.