Nationalgeographic.co.id—Pada suatu hari di awal September tahun 1622, sekelompok besar umat Katolik berkumpul di sebuah bukit di Nagasaki, Jepang. Mereka berada di sana untuk memberikan kesaksian. Puluhan rekan seiman mereka telah ditangkap shogun dan dijatuhi hukuman dengan siksaan.
“Semua itu hanya karena keyakinan mereka yang terlarang di Kekaisaran Jepang saat itu,” tulis Melan Solly di laman Smithsonian Magazine.
Kekristenan telah berakar dalam tujuh dekade sejak kedatangannya di pesisir Jepang. Ajarannya bertahan hidup melalui misionaris Orde Serikat Yesus dan komunitas bawah tanah.
Kemudian para pemimpin Kekaisaran Jepang menutup diri dari orang asing pada awal abad ke-17. Setelah itu, para pemimpin melarang agama tersebut karena dianggap sebagai pengaruh yang berbahaya.
Disaksikan oleh banyak orang di Nagasaki, pejabat pemerintah, dengan keganasan yang tak kenal ampun, memenggal kepala 30 orang Katolik. Para algojo kemudian meletakkan kepala yang terpenggal itu di depan 25 tahanan lainnya. 25 tahanan itu diikat di tiang pancang di dekatnya.
Para pejabat ditanya mengapa mereka memenggal beberapa orang sebelum membunuh yang lain. Mereka menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk menakut-nakuti para pengikut Kristus. Pemenggalan diharapkan bisa membuat mereka ketakutan ketika menjalani siksaan pembakaran.
Para martir tetap teguh saat mereka mati dalam api, menahan rasa sakit seolah-olah mereka terbuat dari marmer. Mereka begitu tenang dan tidak bergerak sedikit pun. Dalam beberapa jam, semuanya mati.
Para tahanan dibakar hingga menjadi abu dan ditebarkan di laut untuk mencegah orang banyak memuja mereka sebagai relik.
Secara total, 55 orang Katolik tewas di Bukit Nishizaka pada 10 September 1622. Ada lebih dari 400 orang yang tewas di Kekaisaran Jepang karena keyakinan agama mereka antara tahun 1597 dan 1637.
Eksekusi massal itu kini dikenal sebagai the Great Genna Martyrdom. Pasalnya, peristiwa ini terjadi di era Genna Jepan, yang berlangsung dari tahun 1615 hingga 1624.
Para misionaris telah memperkenalkan agama Katolik ke Jepang pada tahun 1549 selama periode penting dalam sejarah Jepang. Selama lebih dari satu abad, antara tahun 1467 dan 1603, para penguasa feodal (daimyo) bertempur untuk menguasai kepulauan Asia. Dengan berbagai upaya—dengan berbagai tingkat keberhasilan—mereka menyatukan wilayah-wilayah yang bertikai.
Baca Juga: Awalnya Jadi Stimulan para Biksu, Ini Sejarah Teh Hijau di Kekaisaran Jepang
Toyotomi Hideyoshi adalah orang pertama yang mencapai tujuan tersebut. Ia menyatukan Jepang pada tahun 1590. Mulai tahun 1603, penerus Hideyoshi, Keshogunan Tokugawa, memimpin era yang relatif damai dan makmur.
Awalnya, banyak penguasa feodal yang bertikai memeluk agama Katolik. Mereka menganggapnya sebagai cara untuk melemahkan mereka yang berkuasa. Pada puncaknya, agama Katolik di Jepang memiliki sekitar 500.000 penganut, sebagian besar dari mereka tinggal di Nagasaki.
Para petani yang tertindas tertarik pada agama Katolik karena janji keselamatan. Sementara para pedagang dan daimyo lebih tertarik dengan peluang ekonomi yang diberikan oleh agama baru tersebut.
Namun, Hideyoshi dengan cepat menjadi skeptis terhadap sistem kepercayaan yang memiliki hubungan dekat dengan kekuatan asing: yaitu Portugal dan Roma.
Portugal merupakan rumah bagi banyak misionaris Ordo Serikat Yesus. Sedangkan Roma adalah tempat Gereja Katolik berpusat.
Para pemimpin Kekaisaran Jepang berusaha menyingkirkan agama Katolik. Selain itu, mereka juga berusaha menyingkirkan orang asing sebagai ancaman politik terhadap keamanan kekaisaran.
“Jadi, agama Katolik dan orang asing merupakan kedua hal itu saling terkait," kata Kiri Paramore, seorang sejarawan di Universitas Nasional Irlandia.
Pada tahun 1587, Hideyoshi mengusir misionaris Katolik. Sang shogun menuduh mereka melakukan tindakan ilegal menghancurkan ajaran Buddha. Buddhisme merupakan ajaran yang dominan di Kekaisaran Jepang saat itu.
Satu dekade kemudian, panglima perang itu memerintahkan eksekusi terhadap 26 umat Katolik. Termasuk misionaris Fransiskan dan orang Jepang yang pindah agama.
Martir termuda adalah seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama Luis Ibaraki. Ia dilaporkan menolak kesempatan untuk menyelamatkan hidupnya dengan meninggalkan agama Katolik.
Ibaraki justru berkata, “Saya tidak ingin hidup dalam kondisi seperti itu. Karena tidak masuk akal untuk menukar kehidupan yang tidak ada habisnya dengan kehidupan yang akan segera berakhir.”
Semua orang Katolik disalibkan di Bukit Nishizaka. Di tempat yang sama, 55 martir juga menemui ajalnya 25 tahun kemudian atas perintah Tokugawa Hidetada. Hidetada adalah pemimpin kedua keshogunan Tokugawa.
Pada saat the Great Genna Martyrdom, agama Katolik berjuang untuk bertahan hidup di Kekaisaran Jepang. Umat Katolik terus menghadapi penganiayaan berat di bawah pemerintahan shogun.
Selain melakukan eksekusi di depan umum, pemerintah menyiksa para misionaris dan orang yang pindah agama. Mereka dihukum dengan disiram air mendidih, dibekukan, dan digantung terbalik di lubang yang berisi kotoran.
Pihak berwenang juga memaksa orang-orang yang diduga beragama Katolik untuk menginjak-injak patung kuningan Yesus atau Perawan Maria. Hal itu merupakan tindakan yang menghujat.
“Mereka yang menyerah pada tekanan sering kali pulang ke rumah, memohon Tuhan untuk mengampuni mereka," kata Simon Hull, seorang pakar Katolik Jepang.
Di satu komunitas, mereka bahkan membakar sandal yang mereka kenakan. Kemudian mencampur abunya dengan air sebelum meminumnya sebagai ungkapan penyesalan mendalam.
Pada pertengahan abad ke-19, Komodor Amerika Matthew Perry memaksa Kekaisaran Jepang untuk membuka pelabuhannya bagi kekuatan asing. Saat itu, komunitas Katolik yang bersembunyi pun mulai muncul. Saat ini, umat Katolik mewakili kurang dari 1 persen populasi Jepang.