Nationalgeographic.co.id—Mitologi Yunani Kuno menyimpan berbagai kisah yang mewujud baik pada sastra, benda-benda, dan produk kebudayaan lainnya. Tapi, tahukah Anda apa itu mitos?
Kita sering mengartikan ‘mitos’ sebagai sesuatu yang dulu dipercaya tetapi sekarang sudah disangkal kebenarannya. Mitos merupakan kisah masa lalu, sebuah upaya primitif untuk menjelaskan misteri dunia.
Budaya modern mengklaim telah mengganti kisah-kisah kreatif dan fantastis tentang manusia yang lahir dari batu atau dewa matahari yang mengendarai kereta dengan narasi sejarah yang objektif dan penjelasan ilmiah.
Selain itu, konsep mitos sering digabungkan dengan tradisi tertentu, terutama Yunani dan Roma kuno, sehinga tidak masuk hitungan sebagai narasi yang sah atau informatif.
Kisah-kisah perjuangan heroik untuk mencapai kesuksesan ciptaan Horatio Alger pada pertengahan abad kesembilan belas mengilhami American dream bahwa kerja keras bukan sebuah kebetulan atau bawaan lahir melainkan kemauan dan usaha orang-perorangan.
Meski begitu, orang-orang sekarang menilai bahwa kerja keras untuk mencapai kesuksesan tidaklah semudah seperti yang Alger gambarkan dalam mitos-mitosnya. Mitos tidak identik dengan pernyataan keliru atau klaim sejarah yang menyesatkan, juga bukan budaya tradisional masa lalu.
Orang-orang dari semua budaya mempunyai mitos, termasuk mereka yang sangat rasional di abad dua puluh satu. Mitos – seperti pasukan heroik Inggris yang bertahan dari serangan Blitz – membantu kita berpikir tentang arti menjadi diri sendiri.
Namun, mitos adalah konsep yang sangat sulit didefinisikan. Secara etimologi, mitos berasal dari kata Yunani ‘muthos,’ yang menurut Homer semacam pidato otoritatif, yang menuntut tindakan dan rasa hormat.
Tertanam dalam tradisi lisan, mitos menggambarkan masa lalu yang menceritakan perbuatan kondang leluhur sebagai sumber otoritas moral dan budaya mereka.
Carol Dougherty dalam bukunya Prometheus menjelaskan bahwa setelah huruf abjad diperkenalkan ke Yunani pada pertengahan abad ke-8 SM, mitos ditulis ulang secara berbeda, makna muthos mulai bergeser dari ucapan otoritatif menjadi semacam fiksi atau 'kebohongan'.
"Tentu saja, para pemikir Yunani mulai mengkritik mitos-mitos ini dan mereka mulai mencari cara lain untuk menjelaskan dunia dan kehidupan," ungkap Dougherty. Namun, proses ini tidak serta merta menunjukkan rantai hubungan yang jelas pergeseran dari mitos (muthos) ke argumen rasional (logos), atau membedakan keduanya.
Baca Juga: Sepertiga Spesies Terancam Ini Selamat Hanya Lewat Konservasi 0,7% Luas Daratan Dunia
"Kisah-kisah yang dibuang oleh filsuf abad ke-4 SM Plato dari Republik idealnya, bagaimanapun, disebut logoi, dan dia sering beralih ke muthoi, yakni argumen yang kita ketahui lebih rasional dari dialog filosofisnya untuk membuat poin penting," paparnya.
Mitos adalah istilah yang bermasalah bagi kita semua. Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa istilah muthos tidak menunjuk pada jenis narasi atau cara berpikir tertentu di Yunani kuno.
Bagaimanapun, mitos bukanlah sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang Yunani kuno – semua budaya, kuno dan modern, Barat dan non-Barat, punya mitosnya tersendiri.
Alih-alih mendefinisikan mitos berdasar etimologi atau sastra Yunani, kita harus memahaminya secara lebih luas sebagai jenis cerita yang dianggap menarik oleh sekelompok orang dalam suatu budaya.
Mengapa Mitos Sangat Penting?
Mitos membentuk imajinasi masyarakat. Meminjam konsep dari antropolog budaya Clifford Geertz, mitos menyediakan materi umum yang tidak hanya penting untuk dipikirkan tetapi juga 'baik untuk dipikirkan'.
Bagian mitos dari Perang Troya, misalnya, menawarkan kepada orang-orang Athena abad ke-5 konteks yang kaya tentang kengerian perang dan menyempurnakan gagasan mereka tentang kepahlawanan pada saat mereka terlibat permusuhan hampir setengah abad dengan Sparta.
"Sebaiknya, kita memandang mitos bukan sebagai objek atau ide, melainkan sebagai sistem komunikasi berdasarkan kumpulan kisah yang sudah ada sebelumnya, sebuah sistem yang membawa sejumlah asosiasi, konotasi, dan segudang interpretasi," jelas Dougherty.
Para dewa-dewi Olympian memegang komponen kunci kekayaan budaya dalam mitos Yunani. Peran mereka dalam mitos dan sastra terkenal sulit untuk dipahami oleh pembaca kontemporer yang jauh lebih akrab dengan tradisi agama monoteistik.
Di satu sisi, para dewa mitologi Yunani juga menjadi tulang punggung agama Yunani. Misalnya Zeus, Aphrodite, Ares, dan Prometheus, mereka semua disembah dan dihormati dengan festival perayaan sebagai bagian dari sistem agama panteistik.
Namun di sisi lain, dewa-dewi ini juga muncul dalam narasi sastra, seni, dan sejarah yang melampaui konteks agama, yang biasa dimaknai secara sempit. Artemis dan Aphrodite, misalnya, muncul dalam tragedi Hippolytus karya Euripides untuk membantu penikmatnya berpikir mengenai serangkaian pengalaman erotis, dari menahan nafsu secara total hingga pengalaman yang paling liar.
Baca Juga: Harapan Hidup Manusia Bermula dari Kisah Prometheus dan Pandora
Begitu juga Zeus yang muncul dalam drama Aeschylus, Prometheus Bound, tanpa perlu diperkenalkan. Ia sekaligus membawa serta seluruh identitasnya sebagai raja para dewa dan manusia, hubungan pribadinya (menikahi Metis), masa lalunya (kekalahan para Titan), dan wilayah kekuasaan serta pengaruhnya (kecerdasan, kekuatan, otoritas politik).
Mitos memiliki kekuatan khusus lantaran mampu membawa unsur kekayaan budaya untuk diolah menjadi narasi yang tidak hanya penting namun juga menarik bagi penikmatnya. Mitos tidak selalu identik dengan agama, bahkan jika ada tokoh dalam cerita agama yang ikut bermain dalam mitos, mereka berangkat dari alasan sekuler yang jelas.
Teks sastra yang mengacu pada mitologi Yunani banyak menampilkan tokoh Ilahiah yang mengemban misi heuristik alih-alih religius. Bersama mereka inilah, kita diajak merenungkan isu-isu penting seperti perang, seksualitas, atau kemajuan zaman.
Sebagai sistem komunikasi yang dinamis dan bukan sebagai kumpulan cerita statis, mitos memainkan peran penting dalam suatu budaya dari waktu ke waktu. Terutama sekali, mitos mampu membantu budaya mengakomodasi dan menegosiasikan perubahan dengan cara yang produktif. Ahli teori sastra Prancis, Roland Barthes, berkata mengenai hubungan mitos dan sejarah:
"Apa yang diberikan dunia kepada mitos adalah kenyataan sejarah, ini semua diolah oleh manusia dengan cukup lama; dan sebagai imbalannya, mitos mengembalikannya dengan gambaran alami dari kenyataan."
Begitu juga dengan mitos Prometheus terus menerus dikisahkan dalam dalam berbagai konteks sejarah yang sangat berbeda – Yunani kuno dan klasik, tahun-tahun setelah Revolusi Prancis, dan Inggris akhir abad kedua puluh.
Setiap kali mitos Prometheus disajikan, seperti yang dikatakan Barthes, kenyataan sejarah yang spesifik memberikannya jenis realitas yang sangat berbeda. Namun, pada akhirnya, kekuatan mitos yang sebenarnya adalah membuat konteks sejarah tertentu itu tampak alami di setiap saat.
Mitos Prometheus
Saking fleksibelnya mitos Prometheus, kita perlu melihat ke berbagai teks untuk meraba-raba parameter plot mitos Prometheus pada Yunani kuno. Puisi Homer tidak menamplikan Prometheus, sehingga kita harus mencari dewa Yunani pencuri api itu untuk kali pertama pada karya penyair kuno Hesiod.
Hesiod memasukkan kisah Prometheus dalam dua karya puitis: Theogony dan Works and Days. Dalam Theogony, Hesiod menjelaskan bahwa Prometheus membantu umat manusia mengembangkan ritual pengorbanan dengan menipu Zeus agar menerima porsi lemak dan tulang yang lebih sedikit.
Ketika Zeus menyembunyikan api dari manusia sebagai hukuman, Prometheus mencurinya kembali dari dewa-dewa Olympian dan memberikannya kepada manusia. Akibatnya ia dan umat manusia mendapat hukuman berat.
Baca Juga: Prometheus, Satir, dan Api:
Dalam Works and Days, Hesiod menceritakan secara lebih rinci bagaimana Zeus menurunkan wanita pertama, Pandora, kepada manusia sebagai balasan pencurian api, dan dalam Theogony, ia menceritakan bagaimana Prometheus diikat ke pegunungan Kaukasus di mana seekor elang mencucuk dan memakan habis hatinya yang terus-menerus tumbuh kembali di setiap malam hari hingga tiba hari pembebasan saat Heracles muncul.
Sumber ikonografi awal untuk mitos Prometheus juga menekankan dua tahap kisah ini: penghukuman Prometheus atas pencurian api dan pembebasannya oleh Heracles.
Representasi visual paling awal dari mitos kira-kira sezaman dengan puisi Hesiod (pertengahan abad ketujuh SM) dan fokus pada hukuman Prometheus. Prometheus muncul pada permukaan batu permata Yunani dengan tangan terikat dibelakang punggungnya, berjongkok di depan burung bersayap panjang.
Pada abad keenam SM, pembebasan Prometheus oleh Heracles terabadikan pada vas Attic dan Etruscan. Di sebuah bejana Yunani yang saat ini tersimpan di Berlin, terukir Prometheus dalam posisi jongkok menghadap elang, namun kali ini di belakangnya tampil Heracles memanah burung tersebut.
Sementara itu, cangkir Laconian (c. 550 SM) yang tersimpan di Museum Vatikan menampilkan Prometheus bersama saudaranya Atlas sebagai korban kemarahan Zeus. Atlas berdiri membungkuk menanggung beban langit di pundaknya sementara Prometheus terduduk dengan elang di pangkuan yang tengah berpesta melumat hatinya.
Mitos membantu menaturalisai dan dengan demikian memahami setiap rangkaian keadaan yang dihadapi manusia-manusia pada setiap pembabakan sejarah.
Begitu juga Prometheus dalam mitolgi Yunani sebagai pencipta umat manusia yang juga menanamkan ‘harapan’ dalam sanubari setiap insan, juga memberi kita cara untuk menghadapi ketidakpastian dalam hidup. Sebagai manusia biasa dengan pengetahuan terbatas mengenai dunia tempat kita bernapas, kita hanya bisa menerka-nerka apa artinya menjadi manusia.