Gaia: Dewi Bumi Mitologi Yunani yang Mendorong Gerakan Ekofeminisme

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 15 September 2024 | 08:00 WIB
Orang Yunani memanggilnya Gaia, nama yang berasal dari kata bumi itu sendiri. Menjadikannya sebagai sosok perempuan, mendorong gerakan ekofeminisme Barat untuk melestarikan alam. (Mythology Source)

Nationalgeographic.co.id - Menurut mitologi Yunani, Bumi adalah perwujudan dari salah satu protogenoi atau dewa-dewi Yunani pertama yang lahir dari Khaos. Gaia namanya, kadang disebut sebagai "Ibu dari Semua" yang juga dapat menjadi simbol untuk tanah.

Gaia bertugas sebagai fondasi untuk Gunung Olympus yang kelak menjadi tempat para dewa-dewi Yunani berikutnya. Karena dijuluki "Ibu dari Semua" atau terkadang dianggap "Ibu Bumi", Gaia melahirkan banyak dewa-dewi dan titan yang akan memperkaya cerita mitologi Yunani.

Yang paling terkenal, banyak makhluk mitologi Yunani justru lahir dari Gaia setelah kawin dengan anaknya, Uranus, dewi langit. Kisah seperti ini tersebar di Eropa. Kekaisaran Romawi, yang memiliki kesamaan mitologi dengan Yunani, menyebut Gaia sebagai Terra.

Penyebaran ini pun termasuk falsafah bagi peradaban Eropa memandang alam sebagai "Ibu Bumi". Meski demikian, Heather Eaton, dalam buku Introducing Ecofeminist Theologies menjelaskan, sebenarnya penggambaran bumi sebagai perempuan terjadi di pelbagai peradaban.

Sosok Bumi yang feminin dianggap punya peran yang memelihara kehidupan di seluruh bumi yang sakral. "Dia [Ibu Bumi] sering kali digambarkan sebagai perempuan yang subur. Kesuburan dipahami sebagai kekuatan yang dimiliki oleh siklus kelahiran dan musim-musim maha agung," tulis Eaton.

Indonesia adalah salah satu dari sekian peradaban yang juga memiliki pandangan Bumi sebagai perempuan. "Pertiwi" adalah penyebutan umum di Indonesia untuk menggambarkan alamnya.

Nama ini diambil dari kisah Weda tentang Pṛthivī sebagai dewi bumi. Weda juga punya kemiripan dengan mitologi Yunani, dengan menyebut suami Pertiwi adalah dewa langit bernama Dyaus.

Menaklukkan Ibu Bumi

Ibu Bumi, Ibu Pertiwi, Gaia, Terra, atau apa pun sebutannya untuk menyebut perempuan sebagai simbol planet ini mungkin terkesan sakral dan spiritual. Akan tetapi, pemahaman ekofeminisme memandang kesan konsep ini misoginis (pandangan diskriminatif terhadap perempuan) dan androsentris (pandangan bahwa laki-laki adalah pusat patokan untuk memahami dunia. Kritik ini berlaku pada konsep tradisional Eropa yang patriarki.

Filsuf Val Plumwood dalam buku Feminism and the Mastery of Nature menjelaskan bahwa Gaia muncul dari mitologi Yunani kuno, peradaban yang hidup secara patriarki. Norma misogini dan androsentris sangat umum di peradaban Yunani kuno. Ahli sejarah dari Lake Forest College, Kayla Huber, pun menyingkap norma ini termaktub di pelbagai pemikiran Plato dan Aristoteles.

Lambat laun, terutama ketika mitologi Yunani diadopsi Kekaisaran Romawi, pengaruhnya menyebar ke seluruh Eropa. Dengan demikian, pemahaman tradisional Eropa cenderung patriarki.

Baca Juga: Dua Wajah Kepahlawanan Mitologi Yunani, Odysseus vs Achilles

Meski memandang Bumi sebagai sosok perempuan tersebar di penjuru dunia, sepertinya tidak semua peradaban punya pandangan misognis dan androsentris seperti Eropa. Sejarawan Peter Carey, dalam laporan sebelumnya tentang tradisi Nusantara memiliki perspektif Polinesia yang secara tradisional kesetaraan gender.

Karen J. Warren, filsuf ekofeminisme AS, menyebut kerangka konsep antara perempuan dan alam dengan menjadikan alam sebagai feminin merupakan bentuk subordinasi. Ia menjelaskan dalam makalah pada 1988, subordinasi perempuan dan alam berarti menjadikan keduanya sebagai posisi yang lebih rendah.

Pandangan seperti inilah yang diyakini menjadi latar belakang mengapa perspektif pengelolaan alam peradaban Barat cenderung antroposentris. Antroposentrisme adalah pandangan yang memosisikan manusia sebagai pusat dunia, sementara alam dapat dieksploitasi.

Ada banyak pandangan misoginis patriarki Barat memandang alam, menurut ekofeminisme. Misalnya, alam yang lestari kerap disebut sebagai "hutan perawan". Bahkan, dalam pandangan kesadaran lingkungan, alam yang dieksploitasi lebih kerap disebut sebagai "alam yang terperkosa".

Menjaga Gaia

Karena keduanya kerap dipandang sama dalam peradaban Barat, ekofeminisme muncul sebagai paham gerakan pelestarian alam yang selama ini dirusak. Istilah ini dikemukakan aktivis feminisme Françoise d'Eaubonne yang menginginkan gerakan mendorong kepedulian dan keadilan secara ekologis melalui nilai-nilai feminisme.

Nyatanya, praktik ekofeminisme tersebar di seluruh dunia jauh sebelum istilah ini muncul. Di Teluk Youtefa, Papua, terdapat Hutan Adat Perempuan yang dilindungi perempuan setempat

Hanya ibu-ibu yang diperbolehkan masuk ke hutan ini sebagai ruang pertemuan perempuan berbagi kisahnya. Hutan ini dimuliakan, segala aktivitas perusakan akan mendapat ganjaran hukum adat.

"Dalam prinsip hukum adat kami, perempuan mendapatkan regulasi paling tinggi. Hampir 52 prinsip hukum adat memberikan regulasi kepada perempuan," ujar Syony Merauje, Kepala Kampung Enggros yang berada di dekat Hutan Adat Perempuan, dikutip dari laporan National Geographic Indonesia 2021.