Amerika Era Kolonial: Pasangan Kekasih Boleh Tidur Bersama, Tapi...

By Galih Pranata, Selasa, 17 September 2024 | 07:00 WIB
Arrenged marriege atau pernikahan yang diatur sedemikian rupa oleh keluarga bangsawan di Amerika era kolonial demi mendapat kemewahan dan kekayaan. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Era kolonial adalah masa menyemai dari terbentuknya suatu negara. Namun, terkadang hadir tradisi yang dibawa oleh para kolonialis ke tempat di mana mereka membangun peradaban baru.

Seperti di Amerika era kolonial, berbagai hal yang aneh juga tersaji dalam catatan sejarah. Kita ambil salah satunya adalah tentang tradisi jelang pernikahan yang mungkin tabu juga tak biasa.

"Kebanyakan wanita di Amerika kolonial dianggap cukup umur untuk memulai ritual pacaran pada usia lima belas atau enam belas tahun, meskipun sebagian besar menunda pernikahan hingga mereka berusia dua puluhan," tulis Larry Holzwarth.

Larry menulisnya kepada History Collection dalam artikel berjudul 10 Weird Common Practices in Colonial America in the Early History yang diterbitkan pada 7 September 2024.

Di hampir semua komunitas di Amerika era kolonial, para pemuda yang memenuhi syarat untuk mendatangi wanita muda harus mendapatkan persetujuan dari orang tua wanita tersebut.

"Mereka, para laki-laki, tentu saja menilai kelayakan dengan menggunakan serangkaian persyaratan yang berbeda dari yang ditetapkan setiap orang tua terhadap putri mereka. Harta dan prospek adalah kuncinya," imbuhnya.

Tentu saja, sering kali ada pemuda yang tidak memiliki keduanya, hanya berbekal tekad untuk membawa pergi seorang gadis yang kemungkinan besar telah mereka kenal sepanjang hidup mereka.

Baik karena perjodohan atau karena cinta, di banyak masyarakat sudah menjadi kebiasaan bagi pasangan muda untuk menyelesaikan beberapa langkah selama masa pacaran, salah satunya adalah menentukan kemampuan mereka untuk hidup bersama.

Hidup bersama berarti tidur bersama, dan dalam masyarakat yang terbiasa dengan malam musim dingin yang panjang dan dingin, menghangatkan rumah dengan perapian kayu bakar, tempat tidur bersama merupakan sarana untuk tetap menghangatkan diri.

Di seluruh koloni, semacam uji coba untuk pernikahan, begitu masa pacaran tampaknya telah mencapai tahap yang layak untuk dilakukan. Pria muda akan menghabiskan malam di rumah kekasihnya. Mereka tidur bersama di ranjang yang sama!

Terkadang, pandangan ini sudah mengakar dalam benak para orang tua Amerika di era kolonial. Mereka berpikir jika anaknya tidur bersama dengan kekasih laki-lakinya, akan dapat menilai kelayakan untuk dapat hidup bersama. Utamanya di malam hari.

Baca Juga: Histori Darién Melintang dari Koloni Spanyol hingga Monster Geografis

Namun, jangan berpikir terlalu jauh dulu! Aturan juga diberlakukan meski mereka berada dalam satu kamar dan satu ranjang. Mereka dilarang untuk bersentuhan. Ayah sang gadis akan memasangkan bedboards, atau papan pada ranjang mereka.

"Untuk menegakkan aturan agar tidak saling bersentuhan, tempat tidur dipasangi papan, diletakkan di tepinya secara membujur di sepanjang garis tengah tempat tidur, untuk menjaga pasangan muda itu tetap terpisah," tegasnya.

Reka ulang bedboards atau papan pada ranjang yang jadi tradisi di Amerika pada era kolonial sebagai medium penguji kecocokan di antara sepasang kekasih muda jelang pernikahan mereka tanpa saling bersentuhan. (Colonial Williamsburg Foundation)

Terlepas dari itu, pernikahan di Amerika era kolonial memang kebanyakan pernikahan yang selalu penuh dengan negosiasi dan aneksasi atau arranged marriege. Hubungan perkawinan yang bisa terjadi atas dasar-dasar kemewahan dan kekayaan. 

Pernikahan yang diatur atau arranged marriege masih cukup umum, dan meskipun beberapa wanita dijanjikan untuk dinikahkan saat masih berusia pertengahan remaja, pernikahan biasanya ditunda hingga usia yang lebih cocok tercapai.

Wanita sering dijanjikan dalam negosiasi yang membahas perolehan properti sebagai bagian dari pernikahan, terutama karena sistem kelas berdasarkan kekayaan menegas di koloni.

Di antara kelas berduit, pria dan wanita muda diharapkan membawa kekayaan, reputasi, dan properti riil ke dalam pernikahan. Hal ini menimbulkan beberapa masalah bagi pria yang ingin menikah.

Properti sering diwariskan kepada putra tertua, adik laki-laki sering menerima tanah yang lebih sedikit, atau jumlah uang yang lebih sedikit untuk membangun rumah mereka sendiri.

Namun, putra tertua juga dibebani kesulitan oleh sistem ini, terpaksa menunggu ayahnya memberikan kemurahan hatinya sebelum membawa posisi negosiasi yang kuat ke meja perundingan dengan calon mertuanya.

Sistem ini sering kali menghadirkan dilema bagi pasangan, apakah mereka memasuki pernikahan yang diatur sepenuhnya atau apakah ada cinta yang terlibat.

Sifat manusia seperti itu, sering kali salah satu atau kedua belah pihak dalam pernikahan yang diatur oleh orang tua, menemukan diri mereka tertarik pada pihak-pihak di luar pengaturan tersebut.

Bukan hanya laki-laki yang perlu memberikan nilai tambah pada negosiasi pernikahan. Keluarga mempelai wanita perlu menyediakan mas kawin.

Para ayah kelas atas perlu tetap waspada saat putri mereka memilih sendiri seorang pelamar, terutama jika pria yang dimaksud berasal dari daerah lain dan relatif tidak dikenal.

Misalnya, seorang pengunjung dari Inggris. Pernikahan yang diatur sebelumnya mencegah putri mereka diambil oleh putra bangsawan Inggris yang bangkrut, yang bersembunyi dari debitur di Amerika, dengan harapan bisa menikah demi uang.