Selain berisi pujian atas kerja dia di Aceh, surat tersebut mencatat kondisi negara-negara di sepanjang perjalanan ke Turki, yakni Ceylon dan Calicut, di mana banyak Muslim tinggal di sana dan tengah berada di bawah bayang kekuasaan Portugis. Hal terakhir ini ditulis sangat mungkin sebagai upaya memperkuat argumen tentang pentingnya Usmani terlibat lebih jauh di dunia timur.
Setelah sekitar satu tahun sembilan bulan, surat Sultan Alauddin tersebut mendapat respons dari pihak Ottoman. Pada 17 September 1567, satu draft surat ditulis untuk menjawab permohonan Sultan Aceh terkait masalah muslim di Aceh khususnya, dengan perintah yang jelas terkait rincian bantuan yang harus dikirim.
Tidak hanya itu, koleksi surat tersebut menunjukkan bahwa Ottoman berusaha mengerahkan kekuatan imperialnya dengan memerintah gubernur di Mesir, Yaman, Jeddah, dan Aden untuk membantu proses pengiriman dan pengadaan alat bantuan peralatan perang ke Aceh.
Begitu pula soal keselamatan perjalanan bantuan sangat ditekankan, termasuk Sharif Mekkah yang diminta membantu keselamatan utusan Sultan Aceh dalam perjalanan kembali ke negerinya dengan menjamin mereka bisa memperoleh segala kebutuhan.
Meski begitu, Ismail dkk mengungkap ada arsip surat Ottoman pada 15 Januari 1568 yang menyatakan bahwa pengiriman angkatan perang ke Aceh ditunda.
Penundaan terjadi karena ada pemberontakan di Yaman yang membutuhkan penanganan segera. Oleh karena itu, semua kapal dan personel yang sedianya dikirim ke Aceh dialihkan ke Yaman. Sejak itu, diplomasi resmi kesultanan Aceh dengan Ottoman terhenti, meski kontak keagamaan dan budaya terus berlangsung.
Upaya Sultan Alauddin tidak berlanjut, bahkan di tangan penggantinya, Sultan Ali Ri’ayat Syah (berkuasa 1571-1579), yang terus berjuang mengusir Portugis di Malaka dengan membangun aliansi politik dengan kerajaan di Semenanjung Melayu dan Jawa.
Kekaisaran Ottoman tidak lagi menjadi pertimbangan dalam serangan ke Portugis di Malaka oleh Sultan Iskandar Muda (berkuasa 1607-1641) pada 1615 dan 1629, yang juga berakhir kekalahan di pihak Aceh.
Pada abad ke-19, banyak surat dari beberapa kerajaan di Asia Tenggara meminta bantuan dari Kekaisaran Ottoman untuk menghadapi cengkraman kekuatan kolonial yang semakin intensif.
Aceh menjadi yang terdepan dalam proses diplomasi ini, menunjukkan bahwa kerajaan tersebut memiliki hubungan dekat dan sudah berlangsung lama dengan Ottoman. Dari enam belas surat yang tersimpan dalam koleksi arsip di Istanbul, enam berasal dari Aceh dan sisanya dari beberapa kerajaan di Asia Tenggara.
Salah satu surat dari kerajaan Aceh dikirim oleh Sultan Mansur Syah (berkuasa 1873-1870) dan bertanggal tahun 1849. Setelah pembuka, surat ini mengutarakan hubungan yang terus terjalin antara Aceh dengan Ottoman, seraya menegaskan perlunya bantuan Ottoman mengingat kolonisasi Belanda yang semakin ekstensif di Nusantara.
Baca Juga: Lika-liku Siswa Hindia Belanda saat Bersekolah di Kekaisaran Ottoman