Diplomasi Aceh-Ottoman Libatkan Tentara Turki Bernama Lutfi

By Muflika Nur Fuaddah, Senin, 16 September 2024 | 18:05 WIB
Diplomasi Aceh dan Kekaisaran Ottoman (tile.loc.gov)

“Dan sekarang sudahah binasa negeri karena sudah masuk orang kafir Belanda”, demikian surat itu berbunyi disusul menyebut pulau Jawa, Bugis, Bali, Borneo, “serta dengan pulau Aceh yang setengah sudah diambil oleh orang Belanda”, dan di halaman berikutnya menyebut Palembang dan Minangkabau.

Hal berikutnya yang ditekankan, bahwa surat tahun 1849 ini dibuat menyusul dua surat sebelumnya, bertanggal tahun 1838-9 dan 1845, tapi tidak pernah dijawab. Dua surat tersebut juga berisi aduan kolonisasi Belanda dan isu lain terkait kehidupan kaum muslim.

Meski memang tidak ditemukan dalam koleksi arsip Istanbul, informasi ini menunjukkan inisiatif Aceh menjalin hubungan diplomasi dengan Ottoman dalam rangka merespons situasi kerajaan yang semakin terancam kekuatan kolonial Belanda. Terkait hal terakhir, surat lebih lanjut menegaskan sikap Aceh yang akan berperang melawan Belanda, dan untuk itu Aceh perlu bantuan kekuatan perang dari Ottoman.

Menyusul surat 1849 yang disampaikan utusan Aceh Sayyid Muhammad Ghauth, Sultan Mansur Syah juga tercatat kemudian, pada 1868-9, membuat petisi untuk meminta perlindungan Ottoman.

Dalam koleksi Istanbul, tampak bahwa Ba Junaid memberi sejenis penjelasan pengantar tentang kondisi Aceh yang semakin dekat dengan cengkeraman Belanda, di mana dua kerajaan di Sumatra Timur dan berbatasan dengan Aceh telah jatuh ke kekuasaan Belanda, Deli dan Asahan.

Begitu pula petisi untuk proteksi Ottoman juga ditegaskan melalui surat Sultan Aceh (dua surat yang hampir sama) kepada Syarif Mekkah pada 1868, dengan menjelaskan kondisi Aceh berikut dinamika politik yang berlangsung.

Atas dasar semua informasi tersebut, Gubenur Hijaz menyampaikan kehendak Aceh untuk menjadi bagian dari Ottoman, melalui surat yang ditujukan kepada Perdana Menteri Ottoman dan diterima pada 1 Desember 1868.

Dalam surat tersebut, bersama dokumen yang dilampirkan (surat Sultan Aceh dan Ba Juanid), Gubernur Hijaz menegaskan apa yang sudah diutarakan Sultan Aceh, seraya menyatakan bahwa semua informasi tentang Aceh (terkait dengan lokasi geografis, penguasa resmi, status hubungan dan pertentangan dengan negara Eropa, serta pengetahuan atas petisi) telah terkonfirmasi setelah melalui proses investigasi.

Karena itu, Gubernur Hijaz berpendapat bahwa petisi tersebut penting dipertimbangkan untuk dikabulkan, seraya memerinci jumlah bantuan perang yang dianggap perlu dikirim ke Aceh.

Ismail dkk sebagaimana dikutip oleh Jajat Burhanudin dalam Hubungan Asia Tenggara–Usmani dalam Arsip Turki menyebut bahwa untuk merespons surat Gubernur Hijaz, Perdana Menteri melalui suratnya bertanggal 29 April 1869 menyatakan bahwa suasana politik di Aceh dan wilayah sekitar terlalu berisiko bagi Ottoman.

Hal itu membuat Ottoman enggan untuk mengabulkan petisi kesultanan di Nusantara karena Belanda sudah memiliki kekuasaan yang besar di Nusantara, sehingga jika nanti menyerang Aceh akan membawa Ottoman pada posisi yang sangat sulit.

Baca Juga: Kematian Misterius Kaisar Terakhir Bizantium yang Ditaklukkan Ottoman

Maka, daripada mundur setelah menerima petisi, Ottoman memilih langkah menunggu perkembangan di Aceh, seraya mengirim Pertev Efendi (mantan gubernur di Massawa) sebagai utusan rahasia untuk menggali informasi terkait dinamika politik yang berlangsung di Aceh, khususnya keputusan Belanda di wilayah tersebut.

Belanda kemudian menginvasi Aceh setahun kemudian, 1870, sehingga petisi tersebut kehilangan relevansinya bagi politik luar negeri Ottoman. Meski begitu, usaha memperoleh proteksi Ottoman terus berlanjut di tangan sultan berikutnya, Mahmud Syah (berkuasa 1870-1874).

—Kisah ini merupakan bagian Kabar dari Selat Malaka, laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024, Kemendikbudristek.