Diplomasi Aceh-Ottoman Libatkan Tentara Turki Bernama Lutfi

By Muflika Nur Fuaddah, Senin, 16 September 2024 | 18:05 WIB
Diplomasi Aceh dan Kekaisaran Ottoman (tile.loc.gov)

Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda bahwa hubungan Ottoman (Turki Usmani) dan Asia Tenggara telah menjadi satu isu penting dalam sejarah, termasuk hubungan dengan Aceh.

Secara historis, inisisatif kerajaan-kerajaan Asia Tenggara dalam membangun relasi politik dengan Ottoman sangat berarti. Meski demikian, Ottoman pada dasarnya tidak memiliki agenda politik yang khusus ke kawasan timur, khususnya Asia Tenggara, kecuali sebatas hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat yang memiliki koloni di kawasan tersebut.

Hal ini bisa dilihat dari isu-isu yang muncul dalam koleksi arsip dalam buku sejarah selain hubungan diplomasi yang disusul kunjungan resmi perwakilan kerajaan Islam Asia Tenggara di Istanbul.

Isu-isu tersebut meliputi pendirian perwakilan Usmani di Singapura (1864) dan Batavia (1882) untuk memperkuat hubungan diplomatik Usmani dengan Inggris dan Belanda.

Diplomasi Aceh-Ottoman

Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock dalambuku Ottoman-Southeast Asia Relations mengungkap bahwa surat Sultan Alauddin Ria’ayat Syah al-Kahhar (berkuasa 1537-1566) adalah bukti dari mulainya hubungan resmi yang dijalin Aceh dengan Usmani.

"Bertanggal 2-12 Januari 1566, surat tersebut ditujukan kepada Sultan Sulaiman untuk meminta bantuan ke Ottoman dalam perang melawan Portugis di Malaka," ungkap Ismail.

Lepas dari format surat yang dinilai tidak biasa, khususnya terkait pujian do’a yang panjang di bagian pembuka, substansi dari surat yang tersimpan di Topkapi Palace Museum Archives tersebut cukup jelas.

Surat itu memuat permohonan Sultan Aceh demikian; bantuan senjata, tentara, dan persediaan alat-alat perang menjadi isu utama yang dinyatakan secara eksplisit dalam surat tersebut yang semuanya diarahkan untuk mengusir kaum kafir Portugis dari tanah 'negeri di bawah angin.'

"Ada beberapa poin di surat tersebut perlu mendapat perhatian. Surat itu menggunakan bahasa berarti ada seorang Turki yang menjadi penerjemah–penulis dan sekaligus memainkan peran taktis dalam hubungan diplomatik Aceh dengan Ottoman, yang bernama Lutfi."

"Sangat mungkin dia adalah satu dari tentara Turki, sebagaimana dikemukakan petualang Portugis Mendes Pinto, yang pada tahun 1537 berada di Laut Merah membantu Sultan Alauddin membangun armada militer Aceh," paparnya.

Baca Juga: Peran Ottoman 'Menyemai' Organisasi Islam Awal di Indonesia

Selain berisi pujian atas kerja dia di Aceh, surat tersebut mencatat kondisi negara-negara di sepanjang perjalanan ke Turki, yakni Ceylon dan Calicut, di mana banyak Muslim tinggal di sana dan tengah berada di bawah bayang kekuasaan Portugis. Hal terakhir ini ditulis sangat mungkin sebagai upaya memperkuat argumen tentang pentingnya Usmani terlibat lebih jauh di dunia timur.

Setelah sekitar satu tahun sembilan bulan, surat Sultan Alauddin tersebut mendapat respons dari pihak Ottoman. Pada 17 September 1567, satu draft surat ditulis untuk menjawab permohonan Sultan Aceh terkait masalah muslim di Aceh khususnya, dengan perintah yang jelas terkait rincian bantuan yang harus dikirim.

Tidak hanya itu, koleksi surat tersebut menunjukkan bahwa Ottoman berusaha mengerahkan kekuatan imperialnya dengan memerintah gubernur di Mesir, Yaman, Jeddah, dan Aden untuk membantu proses pengiriman dan pengadaan alat bantuan peralatan perang ke Aceh.

Begitu pula soal keselamatan perjalanan bantuan sangat ditekankan, termasuk Sharif Mekkah yang diminta membantu keselamatan utusan Sultan Aceh dalam perjalanan kembali ke negerinya dengan menjamin mereka bisa memperoleh segala kebutuhan.

Meski begitu, Ismail dkk mengungkap ada arsip surat Ottoman pada 15 Januari 1568 yang menyatakan bahwa pengiriman angkatan perang ke Aceh ditunda.

Penundaan terjadi karena ada pemberontakan di Yaman yang membutuhkan penanganan segera. Oleh karena itu, semua kapal dan personel yang sedianya dikirim ke Aceh dialihkan ke Yaman. Sejak itu, diplomasi resmi kesultanan Aceh dengan Ottoman terhenti, meski kontak keagamaan dan budaya terus berlangsung.

Upaya Sultan Alauddin tidak berlanjut, bahkan di tangan penggantinya, Sultan Ali Ri’ayat Syah (berkuasa 1571-1579), yang terus berjuang mengusir Portugis di Malaka dengan membangun aliansi politik dengan kerajaan di Semenanjung Melayu dan Jawa. 

Kekaisaran Ottoman tidak lagi menjadi pertimbangan dalam serangan ke Portugis di Malaka oleh Sultan Iskandar Muda (berkuasa 1607-1641) pada 1615 dan 1629, yang juga berakhir kekalahan di pihak Aceh.

Pada abad ke-19, banyak surat dari beberapa kerajaan di Asia Tenggara meminta bantuan dari Kekaisaran Ottoman untuk menghadapi cengkraman kekuatan kolonial yang semakin intensif.

Aceh menjadi yang terdepan dalam proses diplomasi ini, menunjukkan bahwa kerajaan tersebut memiliki hubungan dekat dan sudah berlangsung lama dengan Ottoman. Dari enam belas surat yang tersimpan dalam koleksi arsip di Istanbul, enam berasal dari Aceh dan sisanya dari beberapa kerajaan di Asia Tenggara.

Salah satu surat dari kerajaan Aceh dikirim oleh Sultan Mansur Syah (berkuasa 1873-1870) dan bertanggal tahun 1849. Setelah pembuka, surat ini mengutarakan hubungan yang terus terjalin antara Aceh dengan Ottoman, seraya menegaskan perlunya bantuan Ottoman mengingat kolonisasi Belanda yang semakin ekstensif di Nusantara.

Baca Juga: Lika-liku Siswa Hindia Belanda saat Bersekolah di Kekaisaran Ottoman

“Dan sekarang sudahah binasa negeri karena sudah masuk orang kafir Belanda”, demikian surat itu berbunyi disusul menyebut pulau Jawa, Bugis, Bali, Borneo, “serta dengan pulau Aceh yang setengah sudah diambil oleh orang Belanda”, dan di halaman berikutnya menyebut Palembang dan Minangkabau.

Hal berikutnya yang ditekankan, bahwa surat tahun 1849 ini dibuat menyusul dua surat sebelumnya, bertanggal tahun 1838-9 dan 1845, tapi tidak pernah dijawab. Dua surat tersebut juga berisi aduan kolonisasi Belanda dan isu lain terkait kehidupan kaum muslim.

Meski memang tidak ditemukan dalam koleksi arsip Istanbul, informasi ini menunjukkan inisiatif Aceh menjalin hubungan diplomasi dengan Ottoman dalam rangka merespons situasi kerajaan yang semakin terancam kekuatan kolonial Belanda. Terkait hal terakhir, surat lebih lanjut menegaskan sikap Aceh yang akan berperang melawan Belanda, dan untuk itu Aceh perlu bantuan kekuatan perang dari Ottoman.

Menyusul surat 1849 yang disampaikan utusan Aceh Sayyid Muhammad Ghauth, Sultan Mansur Syah juga tercatat kemudian, pada 1868-9, membuat petisi untuk meminta perlindungan Ottoman.

Dalam koleksi Istanbul, tampak bahwa Ba Junaid memberi sejenis penjelasan pengantar tentang kondisi Aceh yang semakin dekat dengan cengkeraman Belanda, di mana dua kerajaan di Sumatra Timur dan berbatasan dengan Aceh telah jatuh ke kekuasaan Belanda, Deli dan Asahan.

Begitu pula petisi untuk proteksi Ottoman juga ditegaskan melalui surat Sultan Aceh (dua surat yang hampir sama) kepada Syarif Mekkah pada 1868, dengan menjelaskan kondisi Aceh berikut dinamika politik yang berlangsung.

Atas dasar semua informasi tersebut, Gubenur Hijaz menyampaikan kehendak Aceh untuk menjadi bagian dari Ottoman, melalui surat yang ditujukan kepada Perdana Menteri Ottoman dan diterima pada 1 Desember 1868.

Dalam surat tersebut, bersama dokumen yang dilampirkan (surat Sultan Aceh dan Ba Juanid), Gubernur Hijaz menegaskan apa yang sudah diutarakan Sultan Aceh, seraya menyatakan bahwa semua informasi tentang Aceh (terkait dengan lokasi geografis, penguasa resmi, status hubungan dan pertentangan dengan negara Eropa, serta pengetahuan atas petisi) telah terkonfirmasi setelah melalui proses investigasi.

Karena itu, Gubernur Hijaz berpendapat bahwa petisi tersebut penting dipertimbangkan untuk dikabulkan, seraya memerinci jumlah bantuan perang yang dianggap perlu dikirim ke Aceh.

Ismail dkk sebagaimana dikutip oleh Jajat Burhanudin dalam Hubungan Asia Tenggara–Usmani dalam Arsip Turki menyebut bahwa untuk merespons surat Gubernur Hijaz, Perdana Menteri melalui suratnya bertanggal 29 April 1869 menyatakan bahwa suasana politik di Aceh dan wilayah sekitar terlalu berisiko bagi Ottoman.

Hal itu membuat Ottoman enggan untuk mengabulkan petisi kesultanan di Nusantara karena Belanda sudah memiliki kekuasaan yang besar di Nusantara, sehingga jika nanti menyerang Aceh akan membawa Ottoman pada posisi yang sangat sulit.

Baca Juga: Kematian Misterius Kaisar Terakhir Bizantium yang Ditaklukkan Ottoman

Maka, daripada mundur setelah menerima petisi, Ottoman memilih langkah menunggu perkembangan di Aceh, seraya mengirim Pertev Efendi (mantan gubernur di Massawa) sebagai utusan rahasia untuk menggali informasi terkait dinamika politik yang berlangsung di Aceh, khususnya keputusan Belanda di wilayah tersebut.

Belanda kemudian menginvasi Aceh setahun kemudian, 1870, sehingga petisi tersebut kehilangan relevansinya bagi politik luar negeri Ottoman. Meski begitu, usaha memperoleh proteksi Ottoman terus berlanjut di tangan sultan berikutnya, Mahmud Syah (berkuasa 1870-1874).