Ambtenaar: Seistimewa Apa Pegawai Negeri di Zaman Hindia Belanda?

By Galih Pranata, Rabu, 18 September 2024 | 18:00 WIB
Potret grup saat konferensi Persatuan Pegawai Negeri Sipil (Ambtenaar) Dinas Kehutanan Hindia Belanda (VHABINOI) di Yogyakarta pada 1915. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Era kolonial menjadi abad-abad yang sulit bagi kaum bumiputera. Hindia Belanda menjadi ironi yang penuh kesenjangan sosial. Yang sebagian bergantung di ketiak penguasa, di sisi lain tergolek lemah karena kemiskinan yang mendera. 

Menariknya, salah satu kelas sosial justru amat diperhitingkan. Seperti hari ini, abdi negara atau pegawai negeri juga menjadi kedudukan paling aman, setidak-tidaknya daripada menjadi buruh yang kerja serampangan atau si miskin yang menderita.

Di zaman itu, pegawai negeri disebut juga dengan istilah ambtenaar. Satu status atau kedudukan penting dalam pemerintahan Hindia Belanda pada masanya. Namun, "tidak semua orang dapat diangkat menjadi pegawai negeri di Hindia-Belanda," tulis Fernanda Prasky.

Fernanda Prasky Hartono, seorang staf pengajar di SMA Negeri 4 Jember menulis kepada ESI (Ensiklopedi Sejarah Indonesia) dalam artikel yang berjudul Ambtenaar. Gubernur Jenderal harus meminta persetujuan Dewan Hindia-Belanda.

Kebanyakan ambtenaar menempati jabatan-jabatan penting, "seperti kepala departeman, kepala pemerintahan daerah, kepala devisi kependudukan, pejabat kehakiman, gubernur, walikota dan bupati," imbuhnya.

Namun, ada hal yang lebih sulit untuk bisa menjadi ambtenaar di Hindia. Berdasar pada Staatsblad Tahun 1910, ambtenaar harus berkualifikasi, seperti berkebangsaan Belanda, memiliki darah keturunan Belanda (indo) atau Belanda totok meski tumbuh di Hindia Belanda.

Syarat tersebut wajib diterapkan pada mayoritas jabatan pegawai negeri, misalnya, Gubernur hingga Asisten Residen. Pegawai negeri ini disebut dengan Europesche Bestuur Ambtenaren atau Pejabat Negeri Eropa.

Pada awal-awal abad ke-20, bagi kebanyakan kaum bumiputera, mereka hanya bisa gigit jari. Kesempatan bagi bumiputera hanya terbatas jika mereka berasal dari golongan tertentu saja atau bangsawan yang bisa mendapatkan kesempatan menjadi pegawai negeri. 

Kesempatan ini semakin terbuka ketika pemerintah Hindia-Belanda meresmikan Sekolah Pegawai Negeri Bumiputera pertama bernama Hoofdenschool di Bandung, Magelang, dan Probolinggo pada tahun 1879-1880.

Menurut Deenik dan tim penulis dalam bukunya Gedenkboek M.O.S.V.I.A. 1879-1929: Uitgegeventer Hersenking van het 50-Jarig Bestaan der Middelbare Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren te Bandoeng (1929), nama sekolah tersebut mengalami perubahan.

Namanya berubah menjadi Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada tahun 1900. Sekolah ini bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada orang bumiputera untuk menjadi seorang pegawai negeri.

Baca Juga: Peran Ottoman 'Menyemai' Organisasi Islam Awal di Indonesia