Overtourism: Ketika Tempat yang Dianggap 'Surga' Berubah Jadi 'Neraka'

By Ade S, Senin, 16 September 2024 | 14:03 WIB
Suasana kemacetan di Puncak, Bogor, Jawa Barat, saat masa libur panjang, Minggu (15/9/2024). Penasaran mengapa destinasi impianmu bisa berubah menjadi mimpi buruk? Temukan jawabannya dalam artikel tentang overtourism. (TribunnewsBogor.com/Naufal Fauzy)

Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda terjebak dalam keramaian wisatawan di tempat yang seharusnya menawarkan ketenangan?

Atau mungkin Anda pernah menyaksikan kerusakan lingkungan akibat terlalu banyaknya pengunjung?

Jika ya, Anda tidak sendirian. Fenomena overtourism telah menjadi masalah global yang semakin mendesak.

Artikel ini akan mengungkap data mengejutkan tentang dampak overtourism dan solusi yang mungkin dapat diterapkan.

Saat desa yang damai kewalahan

Hallstatt, sebuah desa di Austria yang dulunya damai ini kini kewalahan dengan jumlah wisatawan yang membludak. Dengan hanya 800 penduduk asli, Hallstatt harus menampung sekitar 10.000 pengunjung setiap harinya!

Peningkatan jumlah pengunjung yang lebih dari 1000% ini membuat penduduk setempat merasa terganggu dan akhirnya melakukan aksi protes.

Istilah "overtourism" atau "pariwisata berlebihan" mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang, namun fenomena ini telah menjadi perhatian serius di berbagai belahan dunia.

Istilah ini, seperti dilansir dari National Geographic, muncul untuk menggambarkan situasi di mana jumlah wisatawan yang mengunjungi suatu tempat melebihi kapasitas yang dapat ditampung, sehingga menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan, masyarakat setempat, dan bahkan bagi para wisatawan itu sendiri.

Seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk berwisata, banyak destinasi wisata yang semakin populer dan mengalami lonjakan jumlah pengunjung. Namun, tidak semua tempat siap untuk menghadapi lonjakan tersebut.

Beberapa kota dan situs bersejarah yang merasa kewalahan mulai mengambil tindakan. Mulai dari memberlakukan larangan kunjungan, mengenakan denda atau pajak tambahan, hingga menerapkan sistem pembatasan jumlah pengunjung. Ada pula yang meluncurkan kampanye untuk mengurangi jumlah wisatawan.

Baca Juga: Cara Killarney Keluar dari Jebakan Wisata Massal dan Kembali ke Wisata Berkelanjutan

Apa sebenarnya overtourism?

Singkatnya, overtourism terjadi ketika jumlah pengunjung di suatu tempat melebihi kapasitas yang dapat ditampung. Meskipun tidak ada angka pasti untuk menentukan batasannya, namun akumulasi berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat membuat suatu destinasi wisata menjadi terlalu ramai.

Dampak dari overtourism sangat luas dan kompleks. Salah satu dampak jangka panjang yang paling terlihat adalah kerusakan lingkungan. Terumbu karang di berbagai belahan dunia, seperti Great Barrier Reef dan Maya Bay di Thailand, mengalami kerusakan parah akibat aktivitas wisata seperti snorkeling, menyelam, dan kunjungan kapal wisata.

Selain itu, sektor pariwisata juga berkontribusi besar terhadap peningkatan emisi karbon global. Menurut Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO), emisi karbon dari sektor pariwisata diproyeksikan akan meningkat 25% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2016.

Selain merusak lingkungan, overtourism juga berdampak negatif pada masyarakat setempat. Kenaikan harga properti, penggusuran penduduk, dan hilangnya identitas budaya adalah beberapa contoh masalah yang sering muncul di daerah wisata yang mengalami overtourism.

Keramaian yang berlebihan, antrean panjang, dan kerusakan pada situs bersejarah juga mengurangi kenyamanan dan kualitas hidup penduduk setempat.

Di sisi lain, ada istilah yang berlawanan dengan overtourism, yaitu undertourism. Undertourism mengacu pada kondisi di mana suatu destinasi wisata kurang mendapatkan kunjungan wisatawan.

Destinasi-destinasi seperti ini seringkali menawarkan pengalaman wisata yang lebih autentik dan berkelanjutan. Namun, sayangnya, banyak destinasi wisata yang kurang terkenal ini tidak mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah atau pelaku industri pariwisata.

Apa masalah utamanya?

Tidak adanya peraturan yang nyata telah membuat tempat-tempat tersebut mengambil inisiatif untuk mencoba membangun beberapa bentuk pengendalian kerumunan, yang berarti tidak ada kesatuan dan tidak ada solusi nyata.

Justin Francis, salah satu pendiri dan CEO Responsible Travel, sebuah operator tur yang berfokus pada perjalanan yang lebih berkelanjutan mencoba menjelaskan pemicu overtourism.

Baca Juga: Jejak Langkah di Lombok: Pendakian Gunung Tambora dan Pesona Wisata Alam

"Media sosial telah memusatkan pariwisata di hotspot dan memperburuk masalah, dan jumlah turis secara global meningkat sementara tujuan wisata memiliki kapasitas yang terbatas," ujar Francis.

"Sampai penduduk setempat benar-benar dikonsultasikan tentang apa yang mereka inginkan dan tidak inginkan dari pariwisata, kita akan melihat lebih banyak protes."

Menurut data dari startup Prancis, Murmuration, 80% wisatawan dunia hanya mengunjungi 10% dari total destinasi wisata yang ada. Artinya, sebagian besar wisatawan cenderung berkumpul di beberapa tempat yang sama, sehingga menyebabkan keramaian yang berlebihan.

Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) memprediksi bahwa jumlah wisatawan dunia akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.

UNWTO memprediksi bahwa pada tahun 2030, jumlah turis di seluruh dunia, yang mencapai puncaknya pada 1,5 miliar pada tahun 2019, akan mencapai 1,8 miliar, kemungkinan akan menyebabkan tekanan yang lebih besar pada tempat-tempat yang sudah populer dan lebih banyak keberatan dari penduduk setempat.

Jeritan warga lokal

Seperti diceritakan di awal artikel, kehidupan di desa Hallstatt, Austria yang indah dan masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO, tiba-tiba berubah menjadi hiruk pikuk. Pada bulan Agustus, sekitar 100 penduduk dari total 800 jiwa turun ke jalan untuk menyampaikan protes.

Mereka menuntut pembatasan jumlah pengunjung harian dan jam malam bagi bus wisata. Alasannya? Desa mereka merasa kewalahan dengan jumlah wisatawan yang terus meningkat.

Bukan hanya Hallstatt, kota-kota lain seperti Venesia juga mengalami masalah serupa. Warga Venesia berjuang keras untuk melarang kapal pesiar besar berlabuh di kanal utama mereka. Pada tahun 2021, pemerintah setempat akhirnya mengeluarkan larangan bagi kapal pesiar dengan bobot lebih dari 25.000 ton untuk melintasi Kanal Giudecca.

Di Prancis, kota Marseille juga mengambil langkah untuk mengatasi masalah overtourism. Mereka menerapkan sistem manajemen aliran bagi penumpang kapal pesiar, terutama di sekitar Basilika Notre-Dame-de-la-Garde yang populer. Langkah ini diambil untuk mengurangi kemacetan dan memastikan kenyamanan pengunjung serta penduduk setempat.

Bahkan di Orkney, Skotlandia, penduduk setempat juga merasa terganggu dengan jumlah kapal pesiar yang berlabuh di pantai mereka. Oleh karena itu, dewan lokal setempat mengusulkan rencana untuk membatasi jumlah kapal pesiar yang berlabuh setiap harinya.

Baca Juga: Pesona Wisata Teluk Ha Long di Vietnam yang Menyimpan Legenda

Upaya mengatasi overtourism

Semakin banyak kota di dunia yang merasakan dampak negatif dari overtourism. Sebagai respons, berbagai kebijakan baru pun diberlakukan untuk mengelola jumlah wisatawan dan melindungi warisan budaya mereka.

Di Eropa, beberapa kota telah mengambil langkah konkret. Barcelona, misalnya, meningkatkan pajak menginap malam untuk wisatawan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah wisatawan sekaligus meningkatkan pendapatan kota untuk pengelolaan pariwisata. Venesia juga berencana menerapkan kebijakan serupa dengan mengenakan biaya masuk sebesar €5 per orang bagi pengunjung harian.

Amsterdam memilih pendekatan yang berbeda. Kota ini memutuskan untuk melarang kapal pesiar berlabuh di pelabuhannya. Selain itu, Walikota Amsterdam juga meluncurkan kampanye untuk mencegah kedatangan wisatawan yang mencari masalah, seperti kelompok pemuda Inggris yang berencana untuk berpesta pora.

Di Roma, upaya untuk melindungi situs-situs bersejarah seperti Fontana di Trevi dan Tangga Spanyol dilakukan dengan membatasi aktivitas duduk-duduk di area tersebut. Sementara itu, di Afrika, tepatnya di Maasai Mara, Kenya, pemerintah setempat memberlakukan denda bagi wisatawan yang melakukan kegiatan off-roading dan menaikkan biaya masuk taman nasional saat musim puncak.

Apakah ada solusi lain?

Masalah pariwisata yang berlebihan atau overtourism memang menjadi tantangan serius bagi banyak destinasi wisata dunia. Namun, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengelola pariwisata dengan lebih baik.

Salah satu caranya adalah dengan mempromosikan perjalanan di luar musim ramai. Ini akan membantu meratakan jumlah pengunjung sepanjang tahun sehingga tidak terjadi penumpukan wisatawan pada waktu-waktu tertentu.

Selain itu, membatasi jumlah pengunjung di tempat-tempat yang sangat populer juga bisa menjadi solusi. Tentu saja, hal ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merugikan perekonomian lokal.

Peraturan yang lebih ketat dalam industri pariwisata juga perlu diterapkan. Misalnya, dengan mengatur jam operasional tempat wisata, mewajibkan pemandu wisata berlisensi, atau membatasi jenis aktivitas wisata yang diperbolehkan. Di sisi lain, mendorong pariwisata yang berkelanjutan juga sangat penting. Wisatawan perlu dididik untuk lebih menghargai lingkungan dan budaya setempat.

Harold Goodwin, seorang ahli pariwisata, menyoroti pentingnya memahami penyebab utama overtourism. Bukan hanya soal jumlah pengunjung, tetapi juga perilaku wisatawan yang perlu diperhatikan. Misalnya, kebiasaan wisatawan untuk berkumpul di tempat-tempat yang sama dan kurangnya kesadaran akan privasi penduduk setempat.

Namun, Francis menekankan, "Kita harus berhati-hati untuk tidak hanya menciptakan kembali masalah yang sama di tempat lain. Hal yang paling penting adalah membentuk strategi yang jelas, dengan berkonsultasi dengan penduduk setempat tentang apa yang diinginkan atau dibutuhkan suatu tempat dari pariwisata."

Overtourism memang menjadi masalah yang kompleks, namun bukan berarti tidak ada solusi. Dengan menerapkan berbagai strategi yang tepat, seperti mempromosikan pariwisata berkelanjutan, membatasi jumlah pengunjung, dan melibatkan penduduk setempat, kita dapat menciptakan pariwisata yang lebih berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Penting untuk diingat bahwa pariwisata pada umumnya memiliki dampak positif bagi perekonomian dan masyarakat. Namun, kita perlu memastikan bahwa pariwisata dikelola dengan baik agar tidak merugikan lingkungan dan masyarakat setempat.