Lamun dan Rawa Garam Serap Karbon Lebih Banyak dari Pohon, Tapi...

By Ade S, Jumat, 20 September 2024 | 14:03 WIB
Ternyata lamun dan rawa garam menyimpan karbon jauh lebih banyak daripada hutan. Namun, ada tantangan tersendiri di balik fakta tersebut. (John Brew)

Meskipun pasar karbon menawarkan harapan dalam upaya mengatasi perubahan iklim, tetapi pasar ini juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu masalah utama adalah keraguan terhadap kredibilitas kredit karbon yang diperdagangkan.

Tahun lalu, sebuah penelitian mengejutkan mengungkapkan bahwa lebih dari 90% kredit karbon dari hutan hujan yang telah diverifikasi oleh Verra, salah satu lembaga sertifikasi karbon terbesar dan paling terpercaya, ternyata tidak memberikan manfaat nyata bagi iklim. Temuan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keandalan sistem sertifikasi karbon yang ada.

Selain itu, kredit karbon yang berbasis alam seperti penanaman kembali hutan atau restorasi mangrove juga menghadapi risiko yang signifikan. Ketergantungan pada alam berarti proyek-proyek ini rentan terhadap bencana alam. Hutan bisa terbakar, mangrove bisa hancur akibat badai, dan peristiwa-peristiwa ini dapat melepaskan kembali karbon yang telah tersimpan.

Juliet Simpson, seorang peneliti Program Kolese Sea Grant MIT yang telah bekerja dengan Colarusso untuk mengukur jumlah karbon dalam sampel sedimen, memperingatkan bahwa kemungkinan masih dibutuhkan bertahun-tahun sebelum para ilmuwan dapat dengan percaya diri mengukur ekosistem pesisir untuk program offset.

"Mereka belum siap digunakan di pasar karbon," kata Simpson, seorang ahli ekologi pesisir.

Tetapi, di lepas pantai Cape Cod, mereka semakin dekat dengan tujuan mulia tersebut.

Hanya beberapa kaki dari tempat Colarusso menyelam di dekat Pulau Uncatena, sebuah instrumen logam yang bergoyang dijangkarkan sekitar 200 kaki dari pantai.

Saat Colarusso masih menyelam, Long menjelaskan tentang alat yang mereka gunakan. Alat ini bernama instrumen Eddy covariance. Sederhananya, alat ini seperti 'mata' yang terus-menerus memantau lautan dan mengukur berapa banyak karbon yang diserap oleh tumbuhan laut.

Salah satu keunggulan alat ini adalah kemampuannya untuk bekerja dalam kondisi apapun, bahkan saat badai menerjang. Berbeda dengan para penyelam yang harus menghentikan aktivitasnya saat cuaca buruk, instrumen ini tetap bisa mengambil data.

Hasil pengukuran selama badai sangat menarik. Ternyata, saat badai terjadi, kemampuan lautan untuk menyerap karbon menurun drastis. Hal ini karena tumbuhan laut berhenti melakukan fotosintesis. Selain itu, gelombang besar mengaduk sedimen di dasar laut, sehingga banyak karbon dioksida yang terlepas ke dalam air.

Menurut Long, dengan adanya data sepanjang tahun dari instrumen ini, kita bisa mendapatkan gambaran yang jauh lebih akurat tentang siklus karbon di laut.

"Kita perlu melihat saat kondisi laut sedang tenang dan tumbuhan laut aktif menyerap karbon," kata Long. "Tapi kita juga harus melihat saat kondisi ekstrem seperti saat badai terjadi."