Nationalgeographic.co.id—Kita sering mendengar tentang hutan sebagai paru-paru dunia, penyerap karbon terbesar di daratan.
Namun, tahukah Anda bahwa ekosistem pesisir seperti lamun dan rawa garam, yang seringkali terabaikan, ternyata menyimpan karbon jauh lebih banyak?
Istilah "blue carbon" mungkin masih asing di telinga banyak orang, namun ekosistem ini memainkan peran krusial dalam mitigasi perubahan iklim.
Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa lamun dan rawa garam dapat menyimpan karbon lebih banyak dibandingkan hutan tropis.
Artikel ini akan mengungkap mengapa kita perlu lebih memperhatikan "hutan biru" ini dan bagaimana kita dapat melindungi serta memulihkannya.
Mengungkap "kesaktian" eelgrass
Dengan hanya berbekal safety pin, zip tie, lipstik merah, dan peralatan scuba-diving, Phil Colarusso hampir dapat menyelesaikan studinya. Colarusso adalah seorang ahli biologi kelautan untuk Badan Perlindungan Lingkungan
"Ini adalah sains berteknologi tinggi," ujar Colarusso sambil menunjuk ke peralatan sederhana yang relatif sederhana dengan senyuman, seperti dilansir dari laman Boston Globe.
Dengan perahu kecilnya, ia telah menempuh perjalanan singkat untuk mencapai lokasi studinya di Hadley Harbor, sebuah pelabuhan kecil dekat Pulau Uncatena. Pulau mungil yang terletak di lepas pantai Woods Hole, Massachusetts, Amerika Serikat, ini menjadi saksi bisu dari banyak penelitian.
Perjalanan yang dilakukan pada pertengahan Juli tersebut merupakan salah satu dari beberapa kunjungan yang akan ia lakukan ke tempat ini hingga Oktober. Tujuan penelitiannya kali ini adalah padang rumput laut yang subur di bawah permukaan air.
Usai duduk di tepi perahu, ia membungkukkan tubuhnya ke belakang, perlahan-lahan memasuki air. Dengan gerakan lincah, Colarusso mulai menyelam, menghilang ke dalam dunia bawah laut. Padang rumput laut yang menjadi fokus studinya menanti di bawah sana.
Baca Juga: Tiongkok Denda Perusak Lingkungan dengan Kredit 'Blue Carbon', Efektifkah?
Tahun ini, tim penyelam punya misi khusus. Mereka ingin mengetahui lebih dalam tentang eelgrass, si penyerap karbon dioksida di New England. Mereka akan menyelidiki kondisi apa saja yang membuat eelgrass bisa bekerja optimal dalam menyerap karbon.
"Ada potensi untuk menyimpan karbon di sistem pesisir ini karena mereka sangat baik dalam hal itu, terutama mangrove dan seagrass," kata Matthew Long, seorang ilmuwan di Woods Hole Oceanographic Institution dan kapten kapal penelitian kecil pada hari itu.
Sama seperti menanam pohon untuk menghijaukan bumi dan menyerap polusi udara, ternyata menanam alang-alang pesisir, rumput laut, dan tanaman bakau di daerah pantai juga memiliki manfaat yang luar biasa.
Bahkan, tanaman-tanaman pesisir ini jauh lebih baik dalam menyerap karbon dibandingkan pohon-pohon di daratan. Bayangkan, mereka seperti paru-paru raksasa yang membersihkan udara laut kita.
Membuka peluang besar blue carbon
Penelitian ini membuka peluang besar bagi masa depan dengan mengukur blue carbon atau karbon biru, yaitu jumlah karbon yang diserap oleh ekosistem pesisir. Melalui penelitian ini juga para peneliti bisa membantu pemerintah daerah menentukan area mana yang paling penting untuk dilindungi.
Ini tidak hanya akan membantu Massachusetts mencapai target iklimnya, tapi juga bisa menciptakan peluang bisnis baru dalam bentuk perdagangan karbon laut.
Namun, memverifikasi berapa banyak karbon yang tersimpan di ekosistem alami ini sangat kompleks, bahkan lebih sulit dilakukan di bawah air.
"Ini seperti mencoba mengukur pohon yang mengambang di atmosfe," kata Long. "Anda harus menemukan pohon itu lagi dalam 20 tahun dan mengukurnya."
Di bawah, Colarusso menandai 15 tanaman dengan tali. Kadang-kadang beberapa tali terlepas sehingga dia tidak dapat menemukan semua tanaman ketika dia kembali beberapa minggu kemudian.
Colarusso sendiri kembali setidaknya enam kali per musim, menandai tanaman untuk pengukuran dan mengumpulkan sedimen untuk tes karbon di laboratorium MIT.
Baca Juga: Mengenal (Ulang) Blue Carbon, Benteng Tersembunyi Melawan Perubahan Iklim
Dia telah menemukan bahwa semakin besar luas permukaan tanaman, semakin banyak karbon yang akan dikumpulkan oleh padang rumput.
Lautan diketahui berperan sebagai penyerap karbon dioksida terbesar, menyerap sekitar 30% dari emisi gas rumah kaca yang kita hasilkan setiap tahun.
Sayangnya, peran penting ini memiliki konsekuensi: peningkatan kadar keasaman lautan. Selain itu, lebih dari 90% panas tambahan akibat pemanasan global tersimpan di dalam lautan.
Bayangkan saja, rawa-rawa garam dan padang rumput eelgrass di New England menyimpan sekitar 7,5 juta metrik ton karbon! Itu setara dengan emisi karbon dari 6 juta mobil berbahan bakar bensin dalam setahun. Angka ini berdasarkan laporan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) Amerika Serikat.
Namun, para ilmuwan meyakini bahwa angka tersebut masih jauh dari jumlah sebenarnya. Karena keterbatasan dalam pengambilan sampel, kita hanya bisa memperkirakan sebagian kecil dari karbon yang tersimpan di ekosistem laut.
Jadi, potensi penyimpanan karbon di lautan bisa beberapa kali lipat lebih besar dari perkiraan awal EPA.
Sejalan dengan tujuan menghadapi perubahan iklim
Selama beberapa dekade, peneliti Colarusso dan timnya telah mendalami dunia padang rumput laut. Mereka ingin mengetahui secara pasti berapa banyak karbon yang bisa tersimpan di ekosistem laut, khususnya di daerah pesisir.
Pertanyaan lain yang ingin mereka jawab adalah: kondisi seperti apa yang membuat suatu ekosistem laut sangat efektif dalam menyerap dan menyimpan karbon?
Setelah dua tahun melakukan penelitian intensif di padang rumput Hadley Harbor, tim ini berencana untuk membagikan hasil temuan mereka pada tahun 2025 melalui publikasi ilmiah.
Temuan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data yang sangat berharga bagi pemerintah dalam mencapai target iklim mereka.
Baca Juga: Jepang Bakal Andalkan 'Blue Carbon' untuk Kurangi Emisi, Sekaligus Restorasi Pesisirnya
Pada tahun 2017, dalam pertemuan Konferensi Gubernur New England dan Perdana Menteri Kanada Timur, karbon biru telah ditetapkan sebagai salah satu strategi utama dalam rencana aksi iklim regional. Negara bagian Massachusetts, misalnya, memiliki tujuan ambisius untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.
Pada awal musim panas ini, Departemen Perikanan dan Permainan Massachusetts mengumumkan sebuah program inovatif yang disebut "karbon biru". Program ini bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi pada rawa-rawa garam, dengan memperhitungkan jumlah karbon yang tersimpan di dalamnya.
Kenapa rawa garam penting? Tanaman di rawa garam memiliki peran krusial dalam menyimpan karbon. Akar-akar tanaman ini berfungsi seperti jangkar, menahan sedimen yang kaya karbon.
Namun, ketika rawa garam rusak akibat polusi, kenaikan permukaan laut, atau pemanasan global, karbon yang tersimpan ini bisa terlepas ke atmosfer dan memperparah perubahan iklim.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Massachusetts akan memberikan insentif finansial kepada pemilik lahan yang bersedia melindungi atau memulihkan rawa-rawa garam mereka. Besarnya insentif akan ditentukan berdasarkan jumlah karbon yang berhasil disimpan di lahan tersebut.
Program ini, yang akan digunakan untuk hingga 6.500 hektar rawa-rawa garam pada tahun 2030, awalnya akan didanai dengan $340.000 dari anggaran negara tahun 2025.
Massachusetts memiliki potensi luar biasa dalam menyimpan karbon dibandingkan negara bagian lain di New England. Menurut perkiraan awal EPA, terdapat lebih dari 112.000 hektar lahan basah di Massachusetts yang terdiri dari rawa-rawa garam, padang rumput eelgrass, dan alang-alang.
Ini berarti lebih dari setengah total lahan basah di kawasan New England berada di Massachusetts.
Sudah siapkah pesisir menjadi pasar karbon?
Penelitian di Woods Hole dan upaya-upaya lain telah membuka jalan bagi pengembangan pasar karbon biru. Pasar ini bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi pada upaya pelestarian ekosistem laut, khususnya dalam hal penyimpanan karbon.
Perusahaan dan organisasi seringkali menetapkan target iklim yang ambisius. Salah satu cara untuk mencapai target ini adalah dengan membeli "carbon offset." Carbon offset adalah kredit yang diperoleh dari proyek-proyek yang mengurangi emisi gas rumah kaca, seperti proyek pelestarian hutan atau restorasi lahan basah.
"Jika Anda ingin melakukan itu, Anda tidak dapat hanya mengandalkan satu cara," kata Joseph Aldy, seorang profesor kebijakan lingkungan di Universitas Harvard.
Meskipun pasar karbon menawarkan harapan dalam upaya mengatasi perubahan iklim, tetapi pasar ini juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu masalah utama adalah keraguan terhadap kredibilitas kredit karbon yang diperdagangkan.
Tahun lalu, sebuah penelitian mengejutkan mengungkapkan bahwa lebih dari 90% kredit karbon dari hutan hujan yang telah diverifikasi oleh Verra, salah satu lembaga sertifikasi karbon terbesar dan paling terpercaya, ternyata tidak memberikan manfaat nyata bagi iklim. Temuan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keandalan sistem sertifikasi karbon yang ada.
Selain itu, kredit karbon yang berbasis alam seperti penanaman kembali hutan atau restorasi mangrove juga menghadapi risiko yang signifikan. Ketergantungan pada alam berarti proyek-proyek ini rentan terhadap bencana alam. Hutan bisa terbakar, mangrove bisa hancur akibat badai, dan peristiwa-peristiwa ini dapat melepaskan kembali karbon yang telah tersimpan.
Juliet Simpson, seorang peneliti Program Kolese Sea Grant MIT yang telah bekerja dengan Colarusso untuk mengukur jumlah karbon dalam sampel sedimen, memperingatkan bahwa kemungkinan masih dibutuhkan bertahun-tahun sebelum para ilmuwan dapat dengan percaya diri mengukur ekosistem pesisir untuk program offset.
"Mereka belum siap digunakan di pasar karbon," kata Simpson, seorang ahli ekologi pesisir.
Tetapi, di lepas pantai Cape Cod, mereka semakin dekat dengan tujuan mulia tersebut.
Hanya beberapa kaki dari tempat Colarusso menyelam di dekat Pulau Uncatena, sebuah instrumen logam yang bergoyang dijangkarkan sekitar 200 kaki dari pantai.
Saat Colarusso masih menyelam, Long menjelaskan tentang alat yang mereka gunakan. Alat ini bernama instrumen Eddy covariance. Sederhananya, alat ini seperti 'mata' yang terus-menerus memantau lautan dan mengukur berapa banyak karbon yang diserap oleh tumbuhan laut.
Salah satu keunggulan alat ini adalah kemampuannya untuk bekerja dalam kondisi apapun, bahkan saat badai menerjang. Berbeda dengan para penyelam yang harus menghentikan aktivitasnya saat cuaca buruk, instrumen ini tetap bisa mengambil data.
Hasil pengukuran selama badai sangat menarik. Ternyata, saat badai terjadi, kemampuan lautan untuk menyerap karbon menurun drastis. Hal ini karena tumbuhan laut berhenti melakukan fotosintesis. Selain itu, gelombang besar mengaduk sedimen di dasar laut, sehingga banyak karbon dioksida yang terlepas ke dalam air.
Menurut Long, dengan adanya data sepanjang tahun dari instrumen ini, kita bisa mendapatkan gambaran yang jauh lebih akurat tentang siklus karbon di laut.
"Kita perlu melihat saat kondisi laut sedang tenang dan tumbuhan laut aktif menyerap karbon," kata Long. "Tapi kita juga harus melihat saat kondisi ekstrem seperti saat badai terjadi."