Kesaksian Penyintas dan Keluarga Korban Petaka 1965-1966 di Yogyakarta

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 20 Oktober 2024 | 08:00 WIB
Para peziarah terdiri dari penyintas dan keluarga korban pembantaian massal 1965—1966 dari beberapa tempat di DIY menabur kembang di Luweng Grubug, Gunungkidul. Luweng tersebut merupakan salah satu dari saksi terkelam dalam sejarah Indonesia. (Afkar Aristoteles Mukhaer)

Nationalgeographic.co.id—Tiga bus berbaris bergerak melintasi jalan yang sempit di Kota Yogyakarta menuju arah timur. Di dalamnya rombongan sekitar 100 orang yang mayoritas berusia senja menyimpan rasa penasaran akan seperti apa tempat yang akan dikunjungi, Luweng Grubug di Gunungkidul.

Perjalanan berlangsung dari Minggu pagi pada 12 Oktober 2024. Hari itu bertepatan dengan Minggu Pon yang biasanya dilakukan para lansia ini berkumpul di dalam Paguyuban Minggu Pon.

Meski bagian depan masing-masing bus berspanduk “Rombongan Wisata Pantai Gunungkidul Pagupon Sleman”, nyatanya rombongan ini bukan bermaksud untuk berwisata. Perjalanan ini mengantarkan mereka untuk berziarah sebagai penyintas dan keluarga korban pembunuhan massal 1965—1966.

“Nah ini, di sini ini! Kami pernah di sini!” seru Sulaeman (76 tahun) ketika bus melintas perlahan di depan Lapas Wirogunan, Jalan Taman Siswa. Sulaeman duduk tepat di belakang saya dan berbagi kisah pilu masa lalunya bersama teman-temannya, Ngatimah (84), dan Juadi (75).

“Kami [selama ditahan] hanya makan 56 biji jagung. Biji loh, mas, bukan jagung utuh,” lanjutnya menunjukkan ujung telunjuk dengan jempolnya. “Itu kami dikasihnya di [wadah] semir sepatu buat sehari semalam.”

Sulaeman adalah penyintas dari Gamping. Ngatimah adalah temannya sejak masa kanak-kanak yang tinggal di blok berbeda. Beberapa hari sebelum malapetaka terjadi, Sulaeman yang saat itu berusia 17 tahun dan Ngatimah berusia 25 tahun pergi menonton pagelaran kesenian di dekat rumah mereka. Mereka tidak tahu siapa yang mengadakan pagelaran. Yang jelas, mereka hanya ingin bersenang-senang menyaksikan pertunjukan.

Tiba-tiba, pada akhir Oktober, pihak kelurahan tempat Sulaeman dan Ngatimah tinggal mengirimkan surat undangan. Saat memenuhi undangan tersebut, keduanya ditangkap aparat ke berbagai tempat mulai dari Polsek Sleman sampai akhirnya ditahan di Lapas Wirogunan tanpa melalui proses persidangan.

Selama ditahan, Sulaeman dan Ngatimah baru menyadari bahwa kehadiran mereka di pagelaran kesenian itulah yang membuat mereka ditangkap. Pagelaran tersebut rupanya diselenggarakan Pemuda Rakjat, organisasi sayap pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka ditahan selama lima tahun karena dianggap berafiliasi dengan PKI yang saat itu adalah salah satu partai terbesar di Indonesia.

“Saya enggak tahu politik apalagi ideologi komunis. Enggak tahu apa-apa saya, tiba-tiba [saja] ditangkap dan dipaksa mengaku ‘kamu anggota Pemuda Rakjat, ya?’—jadi pengikut PKI-lah, begitu anggapannya,” ujar Sulaeman.

Para penyintas menceritakan pola penangkapan yang hampir serupa. Pertama kali ditangkap, mereka dibawa ke beberapa lokasi berbeda untuk ditahan beberapa hari, seperti kantor polsek dan kodim. Para tawanan kemudian dibawa lagi menggunakan truk ke Benteng Vredeburg, Lapas Wirogunan, dan Gedung Jefferson. Di sana para tawanan diinterogasi aparat terkait hubungannya dengan PKI.

Pihak militer membagi tiga golongan untuk para tahanan, yakni golongan A yang merupakan anggota pengurus PKI, golongan B untuk kelompok militer yang mendukung G30S dan organisasi pendukungnya, dan golongan C yang merupakan warga biasa tetapi diduga memiliki hubungan dengan organisasi pendukung.

Baca Juga: Intrik Inggris di Balik Tragedi Pembantaian Massal PKI 1965-1966