Kesaksian Penyintas dan Keluarga Korban Petaka 1965-1966 di Yogyakarta

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 20 Oktober 2024 | 08:00 WIB
Para peziarah terdiri dari penyintas dan keluarga korban pembantaian massal 1965—1966 dari beberapa tempat di DIY menabur kembang di Luweng Grubug, Gunungkidul. Luweng tersebut merupakan salah satu dari saksi terkelam dalam sejarah Indonesia. (Afkar Aristoteles Mukhaer)

Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

Usia Jiyem kala malapetaka terjadi berusia 15 tahun. Pada akhir Oktober, dia diminta untuk melaporkan diri di kelurahan tempatnya pernah tinggal di Gamping. “Terus dibawa ke Kodim Sleman. Lantas, dimasukkan truk lagi ke [Lapas] Cebongan ditahan satu bulan lebih enam hari,” kata Jiyem.

Selama dalam masa tahanan itu, Jiyem mendapatkan perlakuan keras dari aparat. Dia sempat diminta bertelanjang yang membuatnya merasa sangat malu. “Setelah bebas itu, saya di jalan [menuju rumah] rasanya malu. Ditanyai orang (tentang kondisinya) saat itu, malu sekali sama pucat pasi—pucat setengah—wajahnya [saya],” kenangnya.

Di rumah, ia tidak merasa bebas karena diawasi Hanra (Pertahanan Rakyat), perangkat pertahanan sipil. Pemantauan itu berakhir setelah ia menikah dengan sesama tahan politik dan melanjutkan kehidupannya di Berbah.

Mbah Gondho (83 tahun, kiri) memimpin pembacaan doa untuk para korban pembunuhan massal yang berlangsung pada 1965-1966 di Pantai Watukodok, Gunungkidul. Pantai selatan ini dipilih sebagai lokasi perziarahan karena menjadi tempat bermuaranya semua sungai di Yogyakarta, termasuk sungai bawah tanah dari gua-gua pembunuhan massal. (Afkar Aristoteles Mukhaer)

Namun, menjalani hidup selama Orde Baru sangat sulit karena status KTP-nya punya label “E.T”—tanda bekas tahanan politik. “Saya ingin nama saya dibersihkan agar anak-cucu saya itu gampang cari kerjaannya itu,” kata Jiyem.

Pada masa Orde Baru, untuk bisa berkumpul sesama penyintas akan sangat berbahaya jika dilihat orang lain. “Nanti isunya yang dibawa ‘PKI mau bangkit lagi’ atau ‘kae, kae, PKI kumpul meneh, ameh urip meneh (itu-itu, orang PKI kumpul lagi, mau hidup lagi’,” terang Mbah Pon mengenang situasi kampungnya di Godean ketika hendak berkumpul.

Mbah Pon sendiri adalah korban yang pernah dimasukkan ke Buru. Saat peristiwa 1965, Mbah Pon berusia 25 tahun dan pernah bekerja sebagai petugas AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang kini menjadi TNI AU.

Saat itu, AURI adalah satuan yang sangat dekat dengan Sukarno. Karena alasan tersebut, Mbah Pon ditahan di Lapas Wirogunan sebagai golongan B yang akan dieksekusi mati. Beruntungnya, rombongan RPKAD yang akan mengeksekusinya tewas di Wates dalam perjalanan menuju Lapas Wirogunan, sehingga Mbah Pon dipindahkan ke Cilacap sampai akhirnya dibuang ke Pulau Buru pada 1971.

Mbah Pon kembali ke Yogyakarta pada 1979 setelah Suharto didesak Presiden AS Jimmy Carter dua-tiga tahun sebelumnya. Cerita ini hanya bisa Mbah Pon bagikan kepada anak-anaknya dan beberapa teman yang dapat dipercaya.

Situasi setelah Reformasi membuat para penyintas dan keluarga korban berani berkumpul dan bercerita tanpa diskriminasi. Keleluasaan ini baru ada setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 RI, menyampaikan permintaan maaf kepada korban tragedi 1965. Gus Dur juga yang menghapus label E.T yang sempat menyulitkan keluarga korban.

Keterbukaan informasi dan mencari kebenaran sejarah juga membuat banyak anak muda, mahasiswa, dan organisasi masyarakat bergerak untuk memahami peristiwa 1965–1966 yang samar. Hal inilah yang membuat Mbah Pon dan beberapa penyintas terdorong untuk mendirikan Pagupon pada 7 Januari 2022 di Godean, Sleman.

Sampai saat ini, setidaknya ada 70 orang yang bergabung dengan Pagupon. Paguyuban ini lebih banyak bergerak dalam kegiatan sosial dan kesehatan anggota di dalamnya seperti bantuan cek kesehatan, santunan untuk meringankan beban ekonomi, pemberian kursi roda bagi yang tak lagi mampu berjalan, dan kumpul kesenian.

Baca Juga: Soe Tjen Marching: Pemerintah Harus Akui Pemerkosaan Tionghoa 1965

Jiyem salah satunya yang diajak Mbah Pon dan tertarik bergabung karena Pagupon memberikan wadah untuk bisa berkumpul melepaskan kesah masa lalu. "Saya kalau diajak, apa lagi kalau kesenian apa aja, saya mau," kata Jiyem terkekeh.

Masih banyak penyintas dan keluarga korban yang enggan untuk bergabung karena masih memendam trauma. Kondisi ini dipahami betul sehingga Mbah Pon dan teman-teman lainnya di Pagupon tidak memaksakan.

Rudy Ponyono (kiri) dan putranya Panji merupakan salah satu penggagas Pagupon. Paguyuban ini mempersatukan penyintas dan keluarga korban untuk bisa melepas keluh kesah masa lalu, saling bersosialisasi dan membantu, serta berkumpul dalam pelbagai kegiatan sejak 2022. (Afkar Aristoteles Mukhaer)

Selain Pagupon, masih ada beberapa paguyuban penyintas dan keluarga korban di Yogyakarta berdasarkan daerahnya. Masing-masing memiliki waktu tersendiri untuk berkumpul seperti Minggu Wage bagi paguyuban di Kulonprogo, Minggu Legi bagi paguyuban di Kalasan, Minggu Pahing di Bantul, dan masih banyak lagi.

Semangat Pagupon kemudian bertambah ketika Presiden Joko Widodo juga membuat Keppres No. 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu.

“Namun kami tidak berharap lebih dengan adanya Keppres,” kata Panji, putra Mbah Pon yang merupakan pengurus Pagupon. “Setelah ada Keppres, selalu diiming-imingi nanti-nanti [saja baru bisa dilaksanakan]. Saya enggak yakin Keppres itu bisa berjalan. Jangan terlalu percaya, kita punya keraguan.”

“Biarkan Pagupon ini yang muda-mudanya ini akan membawa ke mana. Pagupon ini akan fokus untuk kebutuhan cerita,” terang Mbah Pon. “Kami ini, simbah-simbah ini sudah tua. Kami hanya kumpul untuk cerita-cerita dan kumpul-kumpul lewat kegiatan.”

“Kalau ditanya kami maunya apa? Kami maunya negara mengakui dan kasih bukti nyata soal kompensasi yang sudah dijanji-janjikan,” lanjut Mbah Pon.