Kesaksian Penyintas dan Keluarga Korban Petaka 1965-1966 di Yogyakarta

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 20 Oktober 2024 | 08:00 WIB
Para peziarah terdiri dari penyintas dan keluarga korban pembantaian massal 1965—1966 dari beberapa tempat di DIY menabur kembang di Luweng Grubug, Gunungkidul. Luweng tersebut merupakan salah satu dari saksi terkelam dalam sejarah Indonesia. (Afkar Aristoteles Mukhaer)

Sulaeman dan Budi termasuk golongan C yang mendekam di Lapas Wirogunan sampai dibebaskan pada 1970. Hanya Juadi yang ditahan 1,5 tahun karena, saat itu, dianggap “masih di bawah umur” oleh aparat. Selama mendekam di penjara, mereka mendapatkan siksaan keji, di antaranya termasuk dicambuk menggunakan “alat kelamin sapi yang telah dikeringkan”.

Tahun-tahun kelam di Yogyakarta

Bus kami berhenti di area parkir Gua Jomblang, Desa Pancarejo, Semanu, Gunungkidul, setelah dua jam perjalanan. Gua vertikal ini selalu memikat wisatawan mancanegara yang dibuka pada 2007. Setelah susur sungai bawah tanah, wisatawan akan keluar lewat Luweng Grubug yang berada ratusan meter di dekatnya.

“Padahal yang indah itu di bawah Luweng Grubugnya, ada cahaya-cahaya matahari masuk yang indah, tapi yang terkenal Gua Jomblang,” kata Rudy Ponyono (80), atau disapa Mbah Pon.

Di Luweng Grubug ini para tahanan yang diduga terafiliasi dengan PKI dan organisasi-organisasinya dieksekusi. Tubuh mereka dibuang dari mulut selama pembantaian 1965–1966. Kesaksian ini penjagalan di sini pernah diungkap Paul de Blot, pastor dan dosen di Universitas Gadjah Mada yang pernah menemani tahanan, dilansir dari Rappler.

Seperti dikutip oleh KBR, sebuah kesaksian pernah diceritakan oleh seorang warga Dusun Jetis yang tinggal tidak jauh dari Luweng Grubug. Koko—bukan nama sebenarnya—mengingat bahwa truk tentara membawa tahanan sering lalu lalang di tempatnya selama 1966-1968.

“PKI itu dibawa ke Grubug dekat Gua Jomblang. Saat jam malam, saya disuruh menyalakan obor dari utara sampai selatan jalan desa. Pernah ada yang teriak ‘tolong..tolong..’ di pertigaan gardu dekat jalan masuk desa, kemudian orangnya dipukul pakai sekop,” terangnya.

Ada banyak kesaksian yang menyebutkan Luweng Grubug menjadi tempat eksekusi dalam pembantaian 1965-1966. Kesaksian lain juga menyebutkan bahwa gua vertikal yang indah ini menjadi tempat pembuangan mayat selama penembakan misterius pada 1980-an. Pada 2000-an, ketika kawasan ini hendak menjadi tempat wisata, aparat pernah menutup akses untuk (Afkar Aristoteles Mukhaer)

“Semoga yang telah meninggalkan kita dapat beristirahat dengan tenang. Jika ada yang salah selama hidup mereka, semoga diampuni. Jika ada kebenaran, semoga kebenaran itu diungkap sejarah,” harap Mbah Pon dalam sambutan perziarahan sebagai Ketua Pagupon.

Kemudian para peziarah, penyintas, dan keluarga korban yang hilang membaca berdoa bersama. Sulaeman menembang macapat berisi doa yang dilantunkan indah dalam bahasa Jawa krama. Ziarah dilanjutkan dengan tabur kembang dalam Luweng Grubug dan menanam tanaman di sekitar mulut gua.

Pada sesi testimoni, para penyintas bercerita pengalamannya yang hampir serupa dengan yang lainnya, tetapi punya pilu yang berbeda-beda. Sementara itu para keluarga korban bercerita tentang kehilangan sosok keluarga yang saat ini entah di mana jasadnya. Pasalnya, tempat eksekusi di DIY pada 1965 – 1966 bukan hanya Luweng Grubug, melainkan tersebar seperti di Luweng Ombo, Jembatan Bentar di Jalan Wates, dan Gedung Jefferson. 

Bambang (60) salah satunya yang menjadi yatim piatu saat peristiwa itu terjadi. Saat peningkapan massal terjadi, usianya masih satu tahun dan orangtuanya ditangkap tanpa pernah kembali.