Kesaksian Penyintas dan Keluarga Korban Petaka 1965-1966 di Yogyakarta

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 20 Oktober 2024 | 08:00 WIB
Para peziarah terdiri dari penyintas dan keluarga korban pembantaian massal 1965—1966 dari beberapa tempat di DIY menabur kembang di Luweng Grubug, Gunungkidul. Luweng tersebut merupakan salah satu dari saksi terkelam dalam sejarah Indonesia. (Afkar Aristoteles Mukhaer)

Baca Juga: Sengkon dan Karta, Petani Miskin asal Bekasi Korban Geger 1965

Sepanjang hidupnya, Bambang mencari identitas mereka sampai akhirnya bertemu dengan seorang guru di Sentolo yang diduga punya hubungan dengan orang tuanya. Namun, ia masih menemui jalan buntu. “Sampai saat ini, saya tidak tahu wajah orang tua saya seperti apa,” ujarnya.

Pembunuhan massal dan penangkapan asal di Yogyakarta punya perbedaan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mark Winward dalam studi bertajuk “Capture from Below: Civil–Military Relations during Indonesia's Anticommunist” di jurnal Indonesia pada 2018 mengungkapkan, penangkapan dan pembunuhan massal baru terjadi setelah kedatangan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 20 Oktober 1965. Kedatangan ini bertepatan dengan ditemukannya jasad Katamso dan Sugigyono yang diperkirakan tewas 19 hari sebelumnya.

Selain itu, mobilisasi warga sipil untuk terlibat dalam peristiwa ini tidak sebesar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penyebabnya, Winward berpendapat, tidak ada kampanye reformasi pertanahan di Yogyakarta.

PKI, sebelumnya, menyerukan reformasi pertanahan, karena selama ini banyak tanah yang dikuasai kalangan kiai. Di tempat lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, ketika peristiwa G30S pecah, kalangan santri dan kiai adalah yang banyak bergerak untuk menumpas komunis.

Keterlibatan massa antikomunis terjadi setelah Sulastomo, Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam, menyerukan keberanian menghadapi PKI. RPKAD menggelar unjuk rasa di “alun-alun dekat Keraton” yang dihadiri ribuan anggota ormas keagamaan. Dari sanalah, mobilisasi massa di Yogyakarta dimulai.

Studi Winward lainnya, bersama Siddharth Chandra di jurnal Indonesia, mendapati perubahan penduduk di 144 desa dan kelurahan Gunungkidul yang berhubungan dengan tindakan kekerasan selama periode 1965—1966. Tindakan kekerasan terjadi paling tinggi di Wonosari dan Kota Yogyakarta yang berdekatan.

Peta perubahan populasi Gunungkidul pada peristiwa 1965-1966. (Mark Winward & Siddharth Chandra/Cornell University Press)

Mereka mendapati bahwa wilayah timur laut, sudut barat daya, dan tenggara Kabupaten Gunungkidul mengalami peningkatan penduduk. Winward dan Chandra berpendapat bahwa peningkatan ini adalah zona berlindung bagi orang-orang yang melarikan diri dari Klaten dan Wonosari. 

Di masa yang penuh kekacauan seperti itu, orang dapat dengan mudah di-PKI-kan sehingga penangkapan bisa disebabkan alasan subjektif. Istri dapat kehilangan suaminya karena sang suami dituduh PKI dan dipaksa menikah oleh orang yang memberikan tuduhan tersebut. Peristiwa ini marak selama periode menegangkan tersebut, serupa yang dikisahkan Ratih Kumala dalam fiksi Gadis Kretek.

Pagupon sarana bercerita sembar menanti keadilan

Jiyem (76) tidak berani menyentuh air laut saat rombongan peziarah melarung sajian berupa nasi dan kembang di Pantai Watukodok. Tangannya bergerak membuat salib berdoa mengharapkan ketenangan kepada para korban yang telah pergi.